[2021:48] KESIMPULAN BERBEDA PADA SUDUT PANDANG BERBEDA
Setia pada tujuan.
Catatan : 5% dari berapapun yang diterima oleh artikel ini diberikan kepada akun @msofficial sebagai upaya penguatan komunitas.
“Orang sukses adalah orang-orang biasa yang memiliki fokus seperti laser.” ~ Bruce Lee
Aku pernah membaca sebuah cerita tentang seorang pria kaya yang pada suatu sore membawa anaknya jalan-jalan melewati desa di mana di sana dihuni oleh orang-orang miskin.
Sebenarnya telah berkali-kali mereka melewati batang jalan yang membelah desa tersebut. Tapi kali ini sambil mengendarai mobilnya, si pria kaya menunjuk ke arah rumah-rumah kayu sederhana yang halamannya kebanyakan ditanami sayur mayur, serta orang-orang yang kebetulan ada di sana dengan kesibukan masing-masing, dan berkata kepada anaknya, “Kamu lihat keadaan orang-orang ini? Apa yang kamu pikirkan?”
Si bocah, seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun, berkata dengan analisa di luar ekspektasi orang normal pada anak berumur demikian, “Kita punya seekor anjing, mereka punya lima. Kita memiliki kolam renang dan mereka memiliki sungai. Pada malam hari kita menyalakan lampu-lampu, mereka memiliki bintang-bintang. Kita membeli makanan dan mereka menanam makanan mereka sendiri. Kita membangun dinding-dinding dan pagar-pagar untuk melindungi kita dari ancaman-ancaman, dan mereka memiliki teman-teman yang siap saling melindungi.”
Hal pertama yang menarik perhatianku dari cerita ini, terlepas dari pesan moral utama yang vulgar yang mungkin bisa ditangkap oleh siapa saja dengan nalar yang tidak harus mengkilap, adalah, apa tujuan si pria kaya bertanya demikian kepada anaknya? Apakah agar anaknya menyadari betapa beruntungnya dia, atau betapa kayanya mereka? Tapi untuk apa? Untuk mengajarinya rasa syukur? Atau kebanggaan?
Cerita yang kubaca itu kurasa memiliki cacat yang lumayan mengganggu pikiranku. Terlebih ketika kemudian diakhiri dengan memaksa pembaca menyetujui pesan moralitas tertentu, bahwa uang atau kekayaan bukanlah segalanya, tetapi rasa syukur. Nah di sinilah masalahnya. Si bocah, ironisnya, menurutku justru tidak mampu mensyukuri keadaan dan garis nasibnya. Ketika dia berkata. “Terimakasih, Ayah, engkau telah tunjukkan betapa miskinnya kita,” terus terang aku tidak tahu ke arah mana pikiran si bocah lelaki itu. Kekecewaankah? Atau justru sebaliknya? Optimisme?
Baiklah. Narasi cerita tersebut diakhiri dengan pesan bahwa uang bukanlah segalanya. Aku tidak akan mempermasalahkan kalimat tersebut apalagi mengadu dengan kalimat “tapi hampir segalanya butuh uang”, atau “menangis di dalam Ferrari tentu berbeda dengan menangis di dalam bemo”, misalnya. Semua kalimat itu benar dalam standar kebenarannya masing-masing dan dalam kekhususan situasinya masing-masing pula.
Dan kalian, teman-temanku para pembaca, juga merdeka untuk menterjemahkan cerita itu secara partikular atau keseluruhan tulisan ini secara umum untuk sampai pada kesimpulan apa saja. Nilai-nilai moral yang kita yakini masing-masing tentu bisa memandu kita mengambil pelajaran-pelajaran, tinggal masalahnya adalah bagaimana sifat dan kecenderungan dari nilai-nilai moralitas yang kita yakini itu.
on twitter : https://twitter.com/aneukpineung78a/status/1376167202672406528