[2021:40] TENTANG MIMPI, BAGIAN 2 : WAKTU, KENYATAAN, DAN EVOLUSI MIMPI

Baik-baiklah pada diri sendiri.

^{Holy Cow!! Save yourself from reality!}

Ini adalah bagian ke dua dari rangkaian tulisanku bertema mimpi. Bagian pertama bisa dibaca di sini. Kedua tulisan ini berhubungan tetapi bisa dibaca terpisah.

Sampai umur tertentu, setiap manusia adalah pribadi yang mencari dirinya sendiri. Pengalaman-pengalaman selama masa pencarian inilah yang akan membentuk dirinya pada suatu saat nanti. Setiap kita adalah produk yang dihasilkan oleh lingkungan kita, dipengaruhi oleh mereka, dan paling pertama dan utama sekali adalah orang tua kita dalam banyak hal, dan dalam kasus lainnnya adalah para pengasuh kita.


Anak-anak memiliki imajinasi yang tidak terbatas. Hal-hal menjadi mungkin di dalam pikiran mereka. Karena pada tahun-tahun kehidupan tersebut, kenyataan belum sepenuhnya masuk ka dalam pikiran mereka. Jadi ketika kita bertanya dengan sepenuhnya dalam sebuah percakapan yang “serius” dengan seorang bocah yang memiliki hubungan emosional khusus yang positif dengan kita tentang apa cita-citanya, kita bisa saja berharap jawaban yang mencengangkan. Dan ketika kita kembali padanya beberapa waktu kemudian, dia sangat mungkin telah memiliki jawaban yang baru terhadap pertanyaan itu.


Itu sederhana sekali. Dan sesederhana itulah sebenarnya kenyataan (sebagai sebuah produk lingkungan) datang dan mempengaruhi pikiran dan tindak-tanduk kita.

”No one dies a virgin. Life fucks us all.” ~Kurt Cobain¹

^{Kurt Cobain saat sesi rekaman MTV Unplugged, New York, 18 November 1993. Foto oleh Frank Micelotta (Getty Images), sebagaimana terlihat di sini.}

Lalu apa yang ingin kukatakan? Begini, tulisan ini dan termasuk juga tulisan sebelumnya -dan utamanya itu- lahir dari ide utama tentang “mimpi”, atau cita-cita, keinginan untuk diwujudkan. Jadi di sini aku kembali ke masa-masa awal seseorang mulai “bermimpi”.

^{Been dreaming about kissing a mountain. Picture source}

Ketika seorang anak menjawab, “Ingin menjadi pahlawan super seperti Batman”, mungkin apa yang ada dalam pikirannya adalah memukuli para penjahat dan tentu saja dengan memakai topeng karena itu keren sekali. Dan seiring waktu, ketika kenyataan mulai mengambil alih kendali pada imajinasinya, dia akan merevisi ini menjadi, misalnya, “Aku ingin menjadi seperti Robert McCall² saja”. Tahun berikutnya mungkin dia akan berpikir, “Sepertinya menjadi detektif seperti Leroy Jethro Gibbs³ lebih masuk akal.”


Dan tahun-tahun berlalu, kenyataan menghantam semakin kuat. Lingkungan secara keseluruhan juga mengajarinya hal-hal yang akhirnya diterimanya secara sadar atau tidak sadar atau setengah sadar sebagai kesadaran dan bahkan ketidak-sadaran. Mungkin dia saat ini telah menjadi seorang penjual narkoba, hal yang tadinya justru tidak dia inginkan. Seseorang pernah berkata, “Saat aku bocah aku mengidolakan Batman. Saat ini, setelah tahun-tahun berlalu, aku rasa Joker lebih masuk akal.”


Kenapa aku mengatakan hal-hal ini? Semua hal-hal komikal ini sepertinya hanyalah nonsense. Aku akan sambung lain kali kalau ada sumur di ladang.