[2021:44] THE DIARY GAME – 12 MARET 2021 : PERJALANAN KE DIENG PLATEAU

in Indonesia3 years ago

“Hidup adalah perjalanan, bukan arah dan tujuan”, kata seorang pujangga. Aku tidak menemukan urgensi untuk membantah hal itu. Ya biar saja lah.



Ini adalah tulisan ke tiga dalam rangkaian tulisan seri perjalanku pertengahan Maret 2021. Kalian bisa membaca tulisan pertama di sini, dan bagian ke dua di sini. Tapi hanya jika kalian peduli.

Tetap pantau Steemit walau di mana berada. Ngeheheh.

Jumat, 12 Maret 2021.Simpang Lima, Semarang.


Malam tadi aku telah mematikan alarm di telepon pintarku. Kupikir karena aku telah mengikatkan diriku pada keputusan untuk berlibur dan bersenang-senang, aku tidak perlu untuk bangun awal seperti biasanya. Dan lagi pula telah kami putuskan malam tadi untuk sedikit longgar dengan agenda di pagi ini. Tetapi aku tetap terbangun sebelum pukul 06:00. Mungkin karena telah menjadi kebiasaan.

Pagi lagi.

Aku tetap di atas tempat tidur sambil melakukan ritual utamaku setiap bangun tidur: mengecek notifikasi telepon pintar dan memperbaharui info tentang beberapa hal termasuk perkembangan di beberapa pasar mata uang kripto. Lalu tentu saja, seperti kalian sudah tahu, mengecek perkembangan permainan daring yang kumainkan.


Televisi yang kubiarkan hidup semalaman sedang menyiarkan berita tentang Covid-19. Semoga saja pandemi segera berlalu, doaku. Ketika berita beralih ke masalah politik tentang kisruh suatu partai politik yang mana para anggotanya sedang saling cakar-cakaran ngotot sebagai pemilik yang sah, aku merasa saatnya mengganti saluran dan berhenti di saluran yang sedang memutarkan filem kartun. Aku lebih baik menonton ini sambil menikmati makan pagi berupa beberapa potong roti dan air mineral yang kami beli malam tadi sebelum kembali ke hotel, daripada harus memperhatikan para politisi itu.



Pukul 07:52 aku sudah berada di ruang depan hotel. Teman-teman berjanji akan turun pada pukul delapan pagi. Dan hari ini kita akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Meskipun kata temanku, masih ada beberapa tempat di Semarang yang bisa dikunjungi, tapi akhirnya kami sepakat untuk tidak berada lebih lama di Semarang, setidaknya malam tadi setelah menikmati Nasi Gandul Pak Memet, kami singgah di Kota Tua.

Masa lalu dan peradaban modern berbaur dalam suatu harmoni tertentu.

Kota Tua Semarang atau disebut juga Kota Lama, sama dengan Kota Tua di Jakarta. Yaitu suatu kawasan berisi bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda. Ini adalah pusat pemerintahan Belanda di Semarang pada masa itu. Menurut berita, Kota Tua Semarang ini pernah tidak terurus sampai pada bulan April tahun 2019 kemarin Pemkot Semarang dan Pemprov Jawa Tengah memutuskan untuk merevitalisasi kawasan bersejarah ini. Kabarnya proyek revitalisasi ini menelan dana lebih dari 160 miliar rupiah, ada yang menyebutkan angka 172 miliar rupiah. Aku rasa, sama seperti di Lawang Sewu, Kota Tua juga begitu menarik. Setiap sudut seakan merayu untuk difoto.

GPIB Immanuel di Kota Lama.

Luas Kota Tua Semarang yang telah berdiri sejak tahun 1753 ini sekitar 7,74 kilometer persegi dan menampung sebanyak 116 bangunan cagar budaya. Bangunan-bangunan peninggalan pemerintah kolonial tersebut, menurut pengamatanku, sebagiannya (kalau bukan seluruhnya) telah difungsikan untuk kegiatan bisnis utamanya oleh pihak swasta. Ada yang dipakai sebagai rumah makan atau penginapan. Dan pusat peribadatan Kristen Protestan di sini masih difungsikan sampai hari ini. Gereja GPIB Immanuel (atau oleh masyarakat sekitar disebut Gereja Blenduk) ini berumur sama dengan umur Kota Tua, dan sepanjang sejarahnya telah memiliki 96 orang pendeta yang memimpin, yang terakhir adalah seorang pendeta wanita bernama Ny. Helen G.F. Luhulima-Hukom, M.Th, yang bertugas sejak tahun 2015 silam.


Kami berada di Kota Lama Semarang sampai pukul 20:38.


Jadi pukul 08:17 kami pun bergerak meninggalkan Kota Semarang. Semua sudah merasa cukup dengan sarapan berbekal makanan yang telah dibeli malam tadi. Jadi pagi ini seherusnya kami tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Siap berangkat. Dalam perjalanan kami sempat mampir di gerai penjaja buah di pinggir jalan dan membeli beberapa jenis buah secukupnya untuk di perjalanan.

Buah lokal dan impor yang segar-segar.

Kali ini kami memilih untuk mengambil jalan non-toll. Aku sebenarnya lebih menikmati jalan non-tol, dengan alasan pemandangannya lebih menarik bagiku. Sepanjang perjalanan kali ini kami melewati kawasan pedesaan, dan pebukitan. Suasana asri dengan pepohonan yang rindang di kiri kanan jalan juga terkadang persawahan dan perkebunan selain rumah-rumah warga. Dan ketika kami melewati pusat perdagangan kecamatan, aku juga menikmatinya.

Sejuk. Walapun cerah.

Pukul 10:27 kami sudah memasuki Kabupaten Temanggung. Cuaca semakin sejuk, dan sepertinya mendung mulai menghiasi langit. Aku sebenarnya sangat menyukai hujan, tetapi dalam kondisi di perjalanan, itu mungkin bukan sesuatu yang begitu aku suka. Tapi kawanku berkata untuk tidak perlu khawatir, karena itu bukanlah hujan melainkan kabut, karena kita sudah mulai menuju dataran yang tinggi. Ah, iya, tak lama aku pun merasa seperti ada sedikit penyumbatan di telingaku. Ini pasti disebabkan oleh tekanan udara yang semakin rendah seiring ketinggian kita semakin menjauh dari permukaan laut. Tapi ketika beberapa bulir air mulai membasahi kaca mobil, kami merasa bahwa mungkin saja itu adalah hujan dan kabut. Untungnya, hujan tidak menjadi begitu lebat, dan hanya sedikit gerimis saja.

kita telah tiba di kaki gunung.

Di sepanjang kiri kanan jalan berbukit setelahnya terlihat lahan-lahan perkebunan dengan berbagai jenis tanaman. Ada kubis, kacang-kacangan, wortel, bawang, sampai kentang. Sungguh pemandangan yang indah sekali. Pukul 10:40 kami melewati gapura yang menunjukkan arah ke Desa Canggal. Saat itu kabut sudah semakin tebal.

Jarak pandang semakin terbatas.

Pukul 10:58 kami tiba di Gumuk Pasir. Di sini kebetulan ada semacam rest area dan juga base camp para pendaki yang ingin menaklukkan Gunung Sindoro. Karena kabut semakin tebal, kami memutuskan untuk beristirahat di sini. Kata kawanku, kalau saja kabut tidak setebal ini, kita bisa menikmati pemandangan yang indah sekali. Tapi bagiku, menikmati kabut seperti ini juga sebuah sensasi tersendiri. Di kem pendakian yang terletak di Dusun Cikatok Desa Cigedang ini aku memesan kopi dan nasi goreng ayam. Tadinya aku iseng saja dengan nasi goreng itu, ternyata rasanya tidak mengecewakan. Dan kopinya, kopi lokal daerah situ, kata penjaga warung, seorang perempuan muda bernama Anggun, kupikir adalah kopi jenis robusta dengan tingkat keasaman yang lumayan tinggi dibandingkan kopi-kopi arabica gayo kiriman @rayfa kepadaku selama ini.

Base camp para pendaki. Orang-orang memakai jaket, aku justru belum merasa perlu.

Pukul 11:43 ketika kabut menipis, kami melanjutkan perjalanan. Tipikal jalan pegunungan, meliuk-liuk dan mendaki. Ketika saat-saat kabut menipis kita bisa melihat pemandangan di kejauhan yang indah. Selain lahan-lahan perkebunan dan hutan-hutan, di kiri kanan jalan juga kadang kita akan melewati perkampungan penduduk.


Kami tiba di pintu gerbang kawasan Dieng Plateau pada pukul 12:26. Udara tentu saja sejuk, pada angka 16°C ketika aku periksa di aplikasi android. Dan untungnya kabut tidak setebal dalam perjalanan tadi, mungkin karena hari sudah siang. Tetapi tidak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.

Gerbang ke destinasi hari ini.

Kami sampai di penginapan dan melakukan check in pada pukul 13:24 di bawah sisa-sisa hujan yang perlahan mereda. Aku menemukan ada banyak penginapan jenis homestay di dekat tempat kami menginap ini. Homestay tempat kami menginap adalah rumah tinggal berlantai dua yang bersih dengan para pegawai yang ramah. Untuk sebuah kamar dengan satu tempat tidur, aku harus membayar sebesar 135 ribu rupiah. Itu sudah cocok sekali menurutku, meskipun segala affinity semisal odol, sabun mandi, sampo, dan sendal harus kita sediakan sendiri. Kalau handuk, aku memang selalu membawa handuk ukuran kecil dalam perjalanan seperti ini. Namun, aku merasa sedikit jengkel ketika ternyata pemanas air tidak berfungsi dengan baik. Tetapi hal itu segera ditangani oleh pegawai penginapan setelah aku mengabarkannya.

View dari balkon penginapan yang sekaligus tempat merokok.

Setelah istirahat sejenak, menikmati segelas teh pahit hangat yang aku buat sendiri dari perbekalan yang disediakan oleh penginapan, dan mandi air hangat agar semakin segar, hujan telah berhenti total. Sepertinya jadwal kami selalu selaras dengan kemauan alam dalam perjalanan kali ini. Pukul 15:29 aku telah menemukan diriku sedang berpose di depan palang nama Situs Cagar Budaya Candi Arjuna. Untuk masuk ke sini setiap pengunjung harus membayar 20 ribu rupiah. Dan harga itu sebenarnya adalah untuk 2 lokasi wisata, yaitu Candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Sayangnya kami tidak sempat ke Kawah Sikidang karena hari keburu sore, bahkan kami harus dihalau keluar dari lokasi candi karena kami terlalu asyik. Ada ramai pengunjung di kawasan Candi Arjuna saat kami sampai di sana.

Praktis, candi pertama yang kukunjungi seumur hidupku.

Mendekati pukul tujuh belas, pengeras suara berbunyi nyaring meminta para pengunjung yang masih di dalam kawasan candi untuk segera meninggalkan candi. Padahal saat itu aku baru selesai di kawasan Candi Arjuna dan hendak bergerak ke sebelahnya, kawasan Candi Gatotkaca. Tapi ya sudahlah, keberuntunganku hanya sampai di sini kali ini.


Pukul 17:34 kami sudah memesan makanan di Angkringan Pak Dhe Toegie. Kami memesan Nasi Kucing dan beberapa tusuk sate. Aku juga memesan semangkok mie baso dari warung di sebelahnya. Ini adalah kali pertama aku makan Nasi Kucing. Nasi Kucing adalah nasi dalam porsi sedikit, hanya seukuran kepalan tangan anak kecil, dengan beberapa ekor ikan teri sambal. Aku menghabiskan empat bungkus Nasi Kucing saat itu.

Nasi Kucing-nya ueeenak tenan, Rek! Satenya juga!

Setelah makan, aku menyempatkan memfoto wilayah sekitar angkringan itu. Salah satu hal yang menarik perhatianku selama di Jawa, khususnya dalam perjalanan kali ini adalah kesetiaan masyarakatnya dalam memelihara peninggalan masa lalu, khususnya warisan dari leluhur dalam berbagai bentuk: kesenian, adat istiadat, bahkan aksara Jawa yang masih bisa dengan gampang kita temukan pada plang-plang nama jalan dan bahkan kadang-kadang pada plang-plang nama kantor-kantor pemerintahan. Itu menarik sekali.

Aksara Jawa yang masih terpelihara.

Keadaan jalanan di sekitar Angkringan Pak Dhe Toegie


Demikian ceritaku tentang bagaimana hariku berlalu pada hari Jumat tanggal 12 Maret kemarin. Mungkin besok aku akan menuliskan kelanjutan perjalanan ini. Terimakasih kepada teman-teman yang telah singgah.

Terimakasih Telah Singgah. STEEM ON!

5 Tulisan Terkait (Kata Kunci : #thediarygames, #betterlife)

ThumbnailTitleDate
THE DIARY GAME – 11 MARET 2021 : SEMARANG YANG MENAWAN20210316
THE DIARY GAME – 10 MARET 2021 : HARI TERAKHIR KERJA SEBELUM LIBURAN20210315
[2021:38] BETTERLIFE THEDIARYGAME SEASON 3: HARI MINGGU (07/03) DI TANAH ABANG JAKARTA20210309
[2021:37] BETTERLIFE THEDIARYGAME SEASON 3: DARI BANTEN KE JAKARTA VIA KOMUTER20210307
[2021:22] ONCE UPON A TIME AT MALIOBORO STREET (eng) / DATANG KE KOTAMU (ina)20210209

5 Postingan Terakhir

ThumbnailTitleDate
THE DIARY GAME – 11 MARET 2021 : SEMARANG YANG MENAWAN20210316
THE DIARY GAME – 10 MARET 2021 : HARI TERAKHIR KERJA SEBELUM LIBURAN20210315
[2021:41] TENTANG MIMPI, BAGIAN 3 : PERLU EKSEKUSI20210315
[2021:40] TENTANG MIMPI, BAGIAN 2 : WAKTU, KENYATAAN, DAN EVOLUSI MIMPI20210310
[2021:39] CELEBRATING ONE MONTH OF arTeem COMMUNITY WITH A SHORT VIDEO (en) / SEBULAN KKOMUNITAS arTeem DAN SEBUAH VIDEO SINGKAT]20210309

Thanks for stopping by.

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 64956.33
ETH 3456.79
USDT 1.00
SBD 2.55