[2021:28] LORD OF GRAVED RING [eng] / BUKAN PENGUASA CINCIN [ina]

in Motivation Story3 years ago (edited)

English

It was just another common day in my life, I'm now freezing that moment here on Steemit.

Carving.



Last weekend I visited Kota Tua in Jakarta. Kota Tua Jakarta was once known as Old Batavia (Dutch: Oud Batavia) and in the 16th century European sailors dubbed it the Gem of Asia and also Queen of the East. I will write more about Kota Tua Jakarta next time. I am currently going to focus on one small thing that I experienced while visiting the Kota Tua Jakarta area yesterday.

Some of the collections.

In Kota Tua, there are many food vendors in the overhang as well as souvenir traders. Not far from the main area of Kota Tua, there is a souvenir stall selling metal rings made of various materials such as titanium, white steel, aluminum alloy and some others.


I stopped there and then looked at the roadside stall left by its owner without daring to touch anything. Soon the owner came hurrying. He's a man in his early 30s. His arms were covered in tattoos. Even though the tattoo wasn't too flashy for me to notice it still caught my attention for a moment. I didn't really pay attention, but I saw it was like a certain batik pattern.

It was sunny but not that hot.

He was a friendly young man, liked to talk, and laughed a lot. Besides that, he likes to ask questions about me to get to know me better as a customer for his services and goods. After finding out that I was Acehnese, he said something that actually made me amused, “Oh. The Acehnese are handsome and beautiful, right, Brother? " Either he was making a statement or tried to collect my approval.

I laughed shortly to appreciate his words then I said, "Ah, really?"


"Yes," he replied with a serious expression, "Many Acehnese have come here. All are beautiful and handsome, ”he continued.


“Except me,” said I.


He laughed a little loudly. "And like to joke," he said at the end of his concise laugh.


"Seriously," said I, "I think it's the place. This place makes everyone look beautiful."

Samples.

I chose a black ring. I've always liked black stuff, apart from orange, of course. We can just buy a ring without being engraved, and of course the price is a little different but this time according to him I was lucky because he would eliminate the price of the engraving. It was an attractive offer even though in the end I still chose to pay without the discount.


After determining what characters to engrave and where to engrave them, he prepared the carving tool, an electric engraver powered by an accumulator the size of a standard motorcycle accumulator. While waiting for him to carve, we continued to talk about several things, about the weather, rain and floods in Jakarta (Kota Tua is flood free area by the way), and some recommendations of food to have there.

Carefully, will you?

He finished carving, I looked at the result. "Good," I said. He said thanks. Then I continued, "It must have taken you some times learning to be able to carve this good on such a small medium."


He confirmed. "I studied for months. I engraved on almost any media I found." Then he showed me a paper clipper which was full of engravings. "This is one of my learning victims, Brother." I don't know why would he need a paper clipper when selling rings but I decided to just ignore that. Or maybe, he has been telling this story over and over to his customers.


"You know what," he said, "I was once scolded by a woman who felt my carving was too ugly." He took a moment to laugh at the memory. He continued, "Then I apologized to her, I said at that time, that I was still studying and that she could exchange the ring for another one if she did not like my work. But then she felt sorry for me." Again he laughed, laughing at things that really weren't funny in my opinion. But I think, it’s not funny things that always make people laugh.

I reached into my pocket to get some money to pay for the ring. As he took the money he continued, “There you are, Brother. There are all kinds of human models in this world. I have met many people at my trading table, with their various uniqueness, even though those meetings were only took a few moment." I was not surprised, with his penchant for talking on and on, he could feel that way.


"Were you mad at that woman?" I asked.


"Which woman?" He asked. Then for an instant he realized, "Oh! Who said my carvings were bad? No, Brother, nope!" He replied. “The woman was telling the truth. After that I really felt like I had to learn to carve better because I didn't want to disappoint anymore buyers in the future." He handed me some change, "The bad comments made me better in carving on rings." I refused the change because I had given the exact amount of money without taking the discount offer.

It fits good in my finger.

I said thanks. He did the same. That was when we introduced each other's names. The young man introduced himself as Iwan. The full name is more complicated than that but still a common name in the repertoire of Indonesian names.

Thanks For Stopping By.

Bahasa Indonesia

Ini hanyalah cerita tentang suatu hari di hidupku, kusimpan di sini.

Mengukir di atas cincin, seperti ada pepatahnya.



Akhir pekan kemarin saya mengunjungi Kota Tua di Jakarta. Kota Tua Jakarta pernah dikenal dengan nama Batavia Lama (bahasa Belanda : Oud Batavia) dan pada abad ke 16 oleh para pelayar Eropah dijuluki Permata Asia dan Ratu Dari Timur. Saya akan menulis lebih banyak tentang Kota Tua Jakarta pada lain kesempatan. Saya saat ini akan berfokus pada satu hal kecil yang saya alami saat berkunjung ke areal Kota Tua Jakarta ini kemarin.


Di Kota Tua banyak pedagang makanan di emperan juga pedagang cinderamata. Tidak jauh dari areal utama Kota Tua, ada sebuah kios cinderamata yang menjual cincin-cincin logam dengan berbagai macam bahan. Ada titanium, baja putih, aluminum alloy dan sebagainya.

Meja display.

Aku berhenti di situ lalu melihat-lihat kios pinggiran jalan yang ditinggalkan pemiliknya itu tanpa berani menyentuh apapun. Tak lama pemiliknya datang dengan tergopoh-gopoh. Dia seorang anak muda pada usia awal 30an menurutku. Sepanjang lengannya kiri dan kanan dari pergelangan ke siku, dipenuhi tato. Meskipun tatonya yang tidak terlalu mencolok untuk kuperhatikan namun itu tetap saja menangkap perhatianku sejenak. Aku tidak terlalu memperhatikan, namun kulihat itu seperti corak batik tertentu.

Hari yang cerah tapi tidak panas.

Dia seorang anak muda yang ramah, suka berbicara, sering tertawa. Selain itu suka bertanya tentang aku untuk lebih mengenal aku sebagai pelanggan jasa dan barangnya. Setelah tahu aku orang Aceh, dia berkata sesuatu yang sebenarnya bikin aku geli, “Oh. Orang Aceh ganteng-ganteng dan cantik-cantik, ya, Bang?” Antara dia membuat pernyataan atau menagih persetujuanku.


Aku tertawa sekilas untuk menghargai kalimatnya tersebut lalu kataku, “Ah, masa?”


“Iya,” jawabnya dengan mimik yang sungguh, “Banyak orang Aceh yang datang ke sini. Semua cantik-cantik dan ganteng,” lanjutnya.


“Kecuali aku,” kataku.


Dia tertawa agak keras. “Dan suka bercanda,” katanya di ujung tawanya yang ringkas.


"Tapi menurutku," kataku lagi, "Tempat ini mengeluarkan sisi baik semua orang sehingga mereka terlihat menarik."

Sampel.

Aku memilih cincin berwarna hitam. Aku memang selalu suka barang-barang berwarna hitam, selain tentu saja oranye. Kita bisa membeli cincin saja tanpa diukir, dan tentu saja harganya sedikit berbeda tetapi kali ini menurut dia aku sedang beruntung karena dia akan menggratiskan harga ukirannya. Itu tawaran yang menarik meskipun pada akhirnya aku tetap memilih untuk membayar tanpa potongan harga itu.

Mulai diukir.

Setelah menentukan karakter apa yang akan diukir dan di bagian mana akan diukir, he mempersiapkan alat ukirnya, alat ukir elektrik yang dijalankan dengan tenaga baterai basah seukuran akku standar sepeda motor. Sambil menunggu dia mengukir, kami terus berbicara tentang beberapa hal, tentang cuaca, hujan, dan banjir Jakarta. Tapi Kota Tua memang bebas banjir.


Setelah selesai mengukir, aku melihat hasilnya. “Bagus,” kataku. Dia mengucapkan terimakasih. Lalu sambungku, “Untuk bisa mengukir sebagus ini di atas media yang sekecil ini tentu belajarnya tidak sebentar.”


Dia mengiyakan. “Saya belajar berbulan-bulan,” katanya. Saya mengukir di atas media apa saja yang saya temukan dan bisa saya ukir.” Lalu dia memperlihatkan kepadaku sebuah paper clipper yang penuh ukiran. “Ini salah satu korban belajarku, Bang.” Aku tidak tahu kenapa dia memerlukan paper clipper saat berjualan cincin tapi aku memutuskan untuk mengabaikan saja hal itu. Jangan-jangan, pikirku, dia memang selalu mengulang cerita ini pada setiap pengunjung lapaknya.


“Abang tahu,” katanya kemudian, lalu melanjutkan, “Saya pernah dimarahi seorang ibu yang merasa ukiran saya terlalu jelek.” Dia mengambil waktu sesaat untuk ketawa mengenang hal itu. Sambungnya, “Lalu saya minta maaf pada beliau, kata saya waktu itu, bahwa saya masih belajar dan dia boleh menukar dengan cincin lain jika dia tidak berkenan dengan hasil kerja saya tadi. Dia malah jadi kasihan sama saya.” Kembali dia tertawa, menertawai hal yang sebenarnya tidak lucu menurutku. Tapi memang benar, orang tertawa tidak selalu pada hal-hal yang lucu.

Aku merogoh kocek untuk membayar cincin yang sudah selesai. Saat mengambil uang itu dia menyambung, “Begitulah, Bang. Ada macam model manusia di dunia ini. Saya telah menemui tidak sedikit orang di meja dagangan saya ini, dengan berbagai keunikannya masing-masing, padahal pertemuan-pertemuan itu hanya sesaat saja.” Aku tidak heran, dengan kegemaran dia berbicara terus menerus, dia bisa begitu.


“Kamu merasa marah pada ibu itu?” Tanyaku.


“Ibu mana?” Tanyanya. Lalu sekejap dia sadar, “Oh! Yang bilang ukiran saya jelek? Tidak, Bang,” jawabnya. “Ibu itu mengatakan hal yang sebenarnya. Setelah itu saya benar-benar merasa harus belajar mengukir dengan baik karena saya tidak ingin lagi mengecewakan pembeli.” Dia menyodorkan padaku beberapa lembar uang kembalian, “Komentar buruknya yang memacu saya menjadi lebih baik.” Aku menolak kembalian itu karena aku telah memberikan uang pas tanpa harga diskon.

Terasa pas di jariku.

Aku mengucapkan terimakasih. Dia juga melakukan hal yang sama. Saat itulah kami saling memperkenalkan nama masing-masing. Anak muda itu memperkenalkan diri sebagai Iwan. Nama lengkapnya lebih rumit dari itu tapi tetap sebuah nama yang umum dalam khazanah nama-nama orang Indonesia.

Terimakasih Telah Singgah

Reading Suggestion / Saran Bacaan

5 Related Articles / 5 Tulisan Terkait

ThumbnailTitle / JudulDate / Tgl
[2021:20] PAYAH! TIDAK ADA MOTIVASI SAMA SEKALI20210208
[2021: 18] SOCRATES DAN JOHA : ADA DUKANYA20210204
[2021:13] KUTIP SANA KUTIP SINI : BUKAN MOTIVASI20210201
[2021:12] MOTIVASI DIRIKU SENDIRI SAJA DULU20210129
[2021:10] LAHIR, MENDERITA, DAN MATI20210126

5 Latest Articles / 5 Postingan Terakhir

ThumbnailTitle / JudulDate / Tgl
MOVIE TALK : KALASHNIKOV AK47 (2020) [eng] / TENTANG FILEM KALASHNIKOV AK47 (2020) [ina]20210221
[2021:26]PHOTOS FROM THE MARKET (eng) / FOTO-FOTO DARI PASAR (ina)20210219
[2021:25] THIS TIME TO THE SUN (eng) / KALI INI TIDAK KE BULAN LAGI, TAPI KE MATAHARI (ina)20210219
[2021:24] PICTURES FROM THE GBK MAIN STADIUM (eng) / FOTO-FOTO DARI SUGBK (ina)20210218
TUTORIAL : HOW I DRAW MY EDITORIAL PICTURES (eng) / BEGINI CARAKU MEMBUAT GAMBAR PENGANTAR ARTIKEL (ina)20210211

Thanks for stopping by.

Sort:  

Rupanya anda suka jalan-jalan di kota tua yang banyak hantunya, kalau batu cincin minta saja sama si oom @steemadi, dia punya banyak koleksi, mantap sekali motivasi yang anda uraikan, terimakasih telah berbagi

😁 ya pak Guru. Saya bukan penggemar batu. Itu kebetulan saja sebagai cinderamata. Maklum baru pertama kali ke Kota Hantu. Hehe. Terimakasih sudah singgah.

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.034
BTC 63960.62
ETH 3142.95
USDT 1.00
SBD 3.95