Memoar Matahari Terbit #8: Menggembala

in #indonesia6 years ago (edited)

hari-hari-para-gembala.jpg
Ilustrasi. Sumber

Aktivitas ini memang sangat identik dengan anak-anak desa. Aku beruntung, di suatu fase di dalam hidupku, pernah begitu dekat dengan alam. Pernah merasakan menjadi penggembala. Pernah dikejar-kejar sapi jantan yang sedang berahi.

Kampung kami, Lorong Pelita, yang menjadi salah satu kepingan puzzle di Desa Padang Peutua Ali, adalah desa dengan kontur berbukit-bukit. Tidak ada sawah di sana, tidak ada sungai, melainkan hanya parit-parit kecil dengan air yang sangat minim. Yang jika kamu hendak mengambil airnya, harus diciduk dengan gayung agar tidak keruh. Hm, sudah terbayang kan berapa kedalamannya? Parit ini menjadi sumber utama untuk ketersedian air bagi warga. Ketika musim penghujan airnya melimpah dan itu sangat menggembirakan hati. Itu artinya, kami bisa membilas kain tanpa perlu menimba air.

Waktu masih kecil dulu, setiap kali melihat sawah aku sering merasa takjub. Timbul pertanyaan di dalam hati, oh, bagaimanakah rasanya bermain di sawah, membenamkan kaki di lumpur, mencabut benih, atau menancapkan benih-benih ke dalam lumpur yang sudah dibajak. Tapi sudut hatiku yang lain segera membisikkan kengerian. Lumpur-lumpur sawah itu adalah sarang lintah, dan pematangnya adalah tempat pacat berdiam diri. Menunggu mangsa sambil menyaru untuk diisap darahnya. Membayangkan semua itu membuatku merinding dan bergidik ngeri.

Kelak ketika kami pindah, dan rumah kami berada di tengah-tengah sawah, kengerian itu sempat menghantui. Suatu pagi saat sedang menyapu halaman, tiba-tiba kakiku dihinggapi binatang tidak bertulang belakang yang disebut pacat itu. Aku menjerit, menangis, memanggil-manggil ayah sampai berlari-lari panik, saat ayah datang pacatnya sudah tidak ada lagi. Kalau mengingat-ingat itu, rasanya sangat konyol hehehe.

Di bukit-bukit yang berisi kebun kelapa itulah kami menghabiskan waktu untuk bermain, sambil menggembala lembu. Kami tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya pucuk-pucuk pohon. Aku pernah merengek-rengek pada ayah agar dibelikan seekor lembu atau kambing agar bisa ku-angon atau peurabe alias kugembalakan. Pasalnya beberapa teman yang lain selepas siang pergi menggembala dan pastinya sangat menyenangkan. Memenuhi permintaanku, ayah membelikan seekor lembu warna hitam yang gemuk dan 'baik budi'. Sebagai gadis kecil yang masa kanak-kanaknya sakit-sakitan karena penyakit asma bawaan, bisa bermain di hutan bersama teman-teman adalah kegembiraan tiada peri.

anak anak pencari kayu bakar.jpg
Ilustrasi anak-anak pencari kayu bakar. Sumber

Sejak si hitam hadir, hari-hariku terasa lebih berwarna dan menyenangkan. Area bermain menjadi lebih luas, tak hanya di seputar kawasan rumah saja. Setiap hari sepulang sekolah, setelah makan dan istirahat, aku bergegas membereskan rumah. Mencuci piring, merebus air, menyapu rumah. Setelah itu barulah pergi menggembala bersama teman-teman. Waktu itu kami punya aturan tak tertulis, selesaikan dulu pekerjaan rumah baru boleh bermain.

Makanya, jika ada teman yang datang ke rumah dan mengajak bermain, sementara rumah masih berantakan, si teman dengan sukarela membantu beres-beres. Itulah potret kami anak-anak desa, selalu mengutamakan kebersamaan. Selalu mengutamakan hal-hal yang perlu diutamakan.

Ada beberapa areal yang menjadi kawasan kami menggembala. Kawasan perbukitan di kebun milik Wak Him salah satunya, ini yang jaraknya paling dekat dengan rumah kami. Paling cuma beberapa ratus meter saja dari rumah. Ini adalah areal kebun kelapa yang banyak ditumbuhi kacang-kacangan, hidangan lezat bagi lembu-lembu kami. Sementara hewan piaraan kami itu meurabe, kami manfaatkan untuk bermain-main. Biasanya kami main sembunyi-sembunyian, atau main ayun-ayunan yang terbuat dari daun kelapa. Kalau sudah lelah kami memetik buah kelapa dan meminum airnya yang segar.

Beberapa pohon kelapa yang rendah dan daunnya bisa kami jangkau, ujungnya kami belah jadi dua dan disimpulkan, sekadar bisa menjadi dudukan bagi tubuh kecil kami. Lalu teman kami yang lain mengayun-ayunkan, begitulah terus menerus sampai semua mendapat giliran. Kalau sudah bosan bermain, kami mencari kayu bakar untuk dibawa pulang. Inilah cara lain bagi kami anak-anak desa menyenangkan hati orang tua. Bermain sambil bekerja, bekerja sambil bermain.

Di lain waktu kami menggembala di dekat kebun Wak Pardi. Kebun ini lebih jauh lagi. Memiliki bukit kosong yang lumayan tinggi dan luas. Bukit ini ditumbuhi ilalang, menjadi lokasi favorit kami untuk main perosotan dengan pelepah kelapa. Siapa pun yang pernah menikmati masa kecil di era tahun 90-an, kurasa pasti pernah melakukan hal yang sama dengan kami. Ketika ilalang itu sudah rata dengan tanah dan licin karena terus menerus kami jadikan area bermain 'ski', beberapa waktu kemudian akan tumbuh tunas-tunas baru yang hijau dan segar. Inilah saatnya kami melepas lembu-lembu kami di areal tersebut. Aduh, melihat lembu-lembu itu mengunyah rumput yang demikian segarnya, membuat kami pun seolah-olah menjadi lapar.

anak desa.jpg
Ilustrasi anak-anak desa. Sumber

Ada bukit lain yang lokasinya cukup jauh, namanya Lhok Jeuruweng. Pernah juga kami menggembala sampai ke sana. Areal ini menjadi lokasi bercocok tanam bagi orang tua kami. Sekarang saya tidak tahu lagi seperti apa rupa-rupa Lhok Jeuruweng ini. Kata ibu, di sini sudah menjadi areal perkebunan sawit milik orang-orang kaya. Dulu, sambil menggembala kami juga sering main rumah-rumahan.

Saat menggembala, yang paling seru dan mendebarkan adalah ketika ada warga yang sedang berburu babi hutan. Kami paling takut pada yang namanya babi rusak, yaitu babi yang sudah terkena tombak pemburu tapi dia berhasil lolos. Nah, babi rusak ini lantas menjadi sangat beringas. Setiap kali mendengar ada yang berburu babi, saya menjadi yang paling cemas, sebab dari semua kawan-kawan cuma saya yang tidak bisa memanjat pohon. Memanjat pohon bercabang saja susah, apalagi pohon kelapa. Sepupu saya Rina paling jago memanjat pohon kelapa ketika itu.

Maka di suatu hari, saat kami menggembala di kebun Wak Him, dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara anjing mengaing-ngaing. Kami semua menjadi panik, teman-teman mulai mengamankan diri dengan memanjat pohon kelapa. Saya? Cuma bisa den-den alias melompat-lompat panik meminta mereka turun. Dalam hati saya membatin, jika kami jadi korban babi rusak itu, biarlah menjadi korban ramai-ramai.

Tiba masanya si hitam harus dijual, ayah kemudian membeli seekor lembu jantan putih dengan postur lebih gagah. Mukanya tampak juwah alias sangar. Aku agak takut dengan lembu ini. Suatu sore selepas hujan, saat ibu sedang sibuk di dapur, aku pamit untuk menggembala ke kebun kakao. Aku pergi seorang diri sambil menggiring lembu itu. Sampai di bukit, aku duduk sambil memperhatikan lembu itu mengunyah rumput-rumput. Lalu tiba-tiba lembu itu menjadi sangat agresif, dia mengamuk dan berlari mengejarku.

Kupikir sore itu aku sudah mati atau terluka ditanduk lembu jantan itu. Aku berlari sekuat tenaga dari bukit untuk menyelamatkan diri. Tujuanku adalah mencari jalan untuk pulang, kalau lembu itu nanti hilang, biarlah dia hilang. Beruntungnya aku berpapasan dengan ayah yang hendak pergi menggalas ke desa lain. Melihatku lari terbirit-birit ayah segera turun dari motor dan mengejar lembu sialan itu. Aku tidak ingat, apakah waktu itu aku menangis atau tidak. Tak lama kemudian ayah menjual lembu sangar itu.[]

Baca juga cerita sebelumnya di sini:

Memoar Matahari Terbit #7: Sego Among-Among

Memoar Matahari Terbit #6: Kuda Kepang

Memoar Matahari Terbit #5: Salamun

Memoar Matahari Terbit #4: Guru-Guru Kami

Memoar Matahari Terbit #3: Aku Sudah Sekolah?

Memoar Matahari Terbit #2; Gadis Kecil di Keranjang Rotan

Memoar Matahari Terbit #1; Padang Peutua Ali

Sort:  

Aku terharu membaca ceritamu Tuan, sebab aku pun mantan gembala. Sering menjemput sore sembari menemani kambing di padang luas😖

kita sama-sama anak desa pak hehhehe

ndak pcya aku dirimu prnah menggembala 😂😂😂

ya, kalau dilihat dari jari jemariku yang lentik, aku memang cocoknya jadi tuan putri hahahahah

ya, beutoi that nyan.. nyan hana long dawa meubacut pih beh 😂😂😂

Top artikelnya, mengingatkan saya pada rabe leumo dulunya saat masih sekolah. Mencuri rumput Nek Lah dan ketahuan sampai lari dikejarnya. Sadep pun tertinggal ... hahahha

hhahhahahah.....ya Allah ternyata lebih menyeramkan ya Bang....

Hebat tulisannya masih bisa mbca yg orisionil

Terimakasih, Pak. Sedang berusaha membekukan kisah masa lalu....

Dekat sama Alam? Mbah dukun haha

mau kusemburrrrrrrrr hahhahaha

Tulisan yang sangat menarik dan membangkitkan memory kita ke masa2 indah dan penuh kenangan
Terimakasih
Salam
@iskandarawe

Heheee iya pak, trims yaa

memoar banget ni

Kami penasaran sama memoar Bang Azhar....

memoar itu apa ihan

Aku punya cerita jatuh dari sapi ketika gembala

Aku pernah ditapis oleh si hitam di pipi, mungkin dia geli aku elus elus

sewaktu kecil pernah punya ternak kambing juga sapi, tapi ga pernah menggembala, hanya memberi rumput saja dari luar kandang

itu saja pasti sangat berkesan ya Bu?

Mantap bang. Saya juga terpancing untuk membuat memoar masa kecil.

ayoooo buat.....

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58115.81
ETH 2623.89
USDT 1.00
SBD 2.42