Memoar Matahari Terbit #3: Aku Sudah Sekolah?

in #indonesia7 years ago (edited)

IMG20180208200033.jpg
Penampakan tamat SD. Dengan rambut klimis dan sebeng samping

Usiaku belum genap lima tahun saat Ayah dan Ibu mengenalkan aku pada seragam putih merah. Bahkan aku belum tahu apa itu sekolah, meski aku sudah tercatat sebagai salah satu murid di Sekolah Dasar Negeri Padang Peutua Ali. Soal ini, punya cerita khusus di baliknya. Saking khususnya aku tidak sedikit pun lupa pada setiap potongan yang terjadi selama enam tahun menjadi murid di sekolah itu.

Ketika keadaan mulai kondusif, warga mulai berani kembali ke Padang Peutua Ali. Itu artinya segala sendi kehidupan harus bergeliat sebagaimana mestinya, termasuk aktivitas belajar mengajar. SD Negeri Padang Peutua Ali yang kondisinya sudah gosong, dan sebagiannya sudah menjadi puing-puing mau tak mau harus kembali difungsikan sebagai pusat aktivitas belajar mengajar.

Maka para warga dan guru-guru di sana mencari akal. Anak-anak yang usianya belum cukup seperti aku terpaksa disesuaikan umurnya. Semata-mata demi sekolah itu mendapat jumlah murid yang sesuai sebagai syarat berdirinya sebuah sekolah. Termasuk aku, umurku harus dimundurkan enam bulan.

Aku masih ingat, di hari pertama sekolah aku begitu riang. Memakai baju putih berlengan pendek dengan simbol Tut Wuri Handayani di salah satu lengan. Memakai rok warna merah kembang, dasi merah, dan sepatu hitam dengan kaus kaki putih. Ibu membelikan aku tas selempang warna biru tua motif garis-garis. Beberapa buku dan peralatan menulis terselip di dalamnya. Pensil, cat, penghapus, crayon. Aku girang sekali pokoknya

Tapi ternyata modal girang saja tidak cukup. Untuk menjadi seorang murid sekolah, dibutuhkan kecakapan lain. Paling sederhana misalnya bisa memakai dasi sendiri dan mengikat tali sepatu dengan benar. Aku sama sekali tidak bisa melakukannya.

Jika kuingat-ingat lagi masa awal-awal aku bersekolah di SD, ceritaku mirip-mirip dengan Ishaan dalam film Taare Zamen Par yang dibintangi Aamir Khan.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Ibu harus memeriksa semuanya dengan baik. Memastikan sepatu yang kupakai tidak terbalik. Ya, waktu itu aku belum bisa membedakan mana kiri dan mana kanan. Ibu juga harus memastikan tali sepatuku terikat dengan benar, karena aku tidak bisa mengikatnya dengan baik. Bahkan dasi dan topi. Sampai-sampai salah seorang guru di sekolah sudah bisa membaca 'tanda-tanda', jika dasi atau topiku miring, itu pasti karena Ibu tidak terlibat.

Aku juga sama sekali belum mengenal huruf ketika awal-awal masuk sekolah. Parahnya, aku bahkan sukar membedakan antara huruf yang satu dengan huruf yang lain, angka yang satu dengan angka yang lain. Salah satu guruku, Pak Syahdan, mengatakan kalau aku punya bakat menulis huruf Cina. Berbeda sekali dengan anak-anak sekarang yang sudah mengenal huruf dan angka, bahkan sudah bisa membaca saat masuk SD. Saat itu, aku masih bingung membedakan antara 'm' dengan '3'. Masih bingung antara 'p' dengan 'd' atau 'b'. Aku menulis huruf 'i' menjadi 'y'.

Beberapa tahun lalu di sebuah acara keluarga, aku kembali bertemu dengan Pak Syahdan. Dia masih ingat perkara huruf Cina zaman baheula itu. Dia meledekku. Katanya, jika teringat betapa dulu aku tak bisa mengenal huruf, sulit memercayai kalau sekarang aku bekerja dan bergulat dengan dunia literasi. "Pokok jih asai ka hana roeh mak ih, ka meuri, tupi ka singet, dasi ka singet."

Ibu juga pernah mengungkapkan hal yang sama. Katanya, setiap pagi ia selalu cemas memikirkan aku. Kapanlah aku ini bisa memakai sepatu dengan benar hahaha. Tapi berkat ketekunan Ibu, aku bisa mengenal huruf dan membaca dalam waktu yang cepat. Aku tak pernah tinggal kelas. Yihaaa!

Itu hanya sekeping fragmen yang paling berkesan di hidupku. Nyaris tak bisa kulupakan. Aku bahkan pernah pipis di celana saking tak kuatnya menahan sesak di dalam kantung kemih yang sudah penuh. Itu adalah hari di mana aku merasa jam pelajaran begitu sangat lama. Padahal sebagai murid kelas satu, kami sudah harus keluar kelas pada pukul sepuluh pagi. Karena kami harus berbagi ruang kelas dengan murid kelas dua.

Aku masih ingat betul denah sekolah kami ketika itu. Letaknya di atas bukit. Dengan halaman luas di bawahnya. Pagarnya berupa kawat duri namun sudah compang-camping di sana sini, diselipkan dengan pohon teh-tehan. Dari enam kelas sebelumnya, hanya tersisa tiga kelas.

Bangunannya semi permanen, dengan setengah dinding atasnya berupa kawat. Mirip kawat bronjong untuk membungkus batu-batu di tubur sungai. Atapnya dari senang. Lantainya dari semen, yang sewaktu-waktu ketika musim hujan bisa berubah sangat kotor karena lumpur-lumpur dari sepatu para murid. Di ruang itulah saban harinya kami belajar.

Di bilah kiri ada bangunan lain yang dimanfaatkan untuk rumah dinas guru. Pun di bilah kanan, ada beberapa rumah yang seharusnya dimanfaatkan sebagai tempat tinggal para guru. Tapi dibiarkan kosong. Hanya beberapa saja yang terisi. Rumah kosong itu, plus reruntuhan bekas sekolah yang hancur, menjadi tempat kami bermain ketika jam istirahat berlangsung. Kami bermain bongkar pasang dan main jitong alias sembunyi-sembunyian di rumah kosong dan semak belukar di dekat sekolah.

Saat aku naik kelas empat, tiga ruang kelas yang baru selesai dibangun. Itulah saat-saat di mana kami harus membuka sepatu di dalam kelas. Saat-saat di mana kami para murid bisa belajar dengan nyaman. Bebas dari debu. Tegel yang dingin. Dan ruang kelas yang bersih. Saat-saat di mana terasnya bisa kami gunakan untuk bermain karet, main serimbang batu, atau bermain gambar.[]

Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini:

https://steemit.com/indonesia/@ihansunrise/memoar-matahari-terbit-2-gadis-kecil-di-keranjang-rotan

https://steemit.com/indonesia/@ihansunrise/memoar-matahari-terbit-1-padang-peutua-ali

Sort:  

bismillah

ini non-fiction kan ?

Yess.... itu memoar @killythirsk :-)

nice story telling, i for one had no writing skills

Jangan berkecil hati, you can do it, hanya perlu latihan kontinyu, melalui Steemit semua proses itu menjadi lebih mudah. Believe it. :-)

jazaakumullahu khoir, i will practice

Ya Allah seperti membaca halaman awal laskar pelangi

Hai Bang Rully... sudah aku follow yaaa....

Ijazah tahun berapa tu? :D

coba tebakkkk hahahahha

Cerita yg bagus ihan. Narasinya benar2 berhasil membawa pembaca dibawa ke lokasi dan waktu saat peristiwa berlangsung..

Kembali ke era jadul hahhaahha

Masa sekolah yg Indah :)

alamaaak jadi rindu SD ku yang dl.. tapi kini SD itu sudah terlalu "maju"
tak ada lagi sumur tempat timba air. tak ada lagi tanah lapang tempat kami masuk pelajaran olahraga.
tak ada lagi sawah dan ilalang yang menjadi lahan main sepulang sekolah dengan hadiah seekor ikan laga

SD mana bang?

Menariknya, kisah ini berbenang merah dengan film Taare Zamen Par itu, ya

Itu artinya ada jalan ketemu Aamir Khan wkwkwkkw

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58309.71
ETH 2617.30
USDT 1.00
SBD 2.42