Memoar Matahari Terbit #2; Gadis Kecil di Keranjang Rotan

in #indonesia7 years ago (edited)

motor@bukalapak.jpg
Keranjanganya bukan model seperti ini, tapi cukuplah untuk mengilustrasikannya. Foto diambil dari bukalapak.com

Tahun 1990

Usiaku belum genap lima tahun ketika itu. Tidak banyak yang bisa kuingat pada masa-masa sebelum itu. Kecuali beberapa potong fragmen saja. Misalnya, di suatu sore yang cerah, Ibu memakaikan aku baju terusan kembang selutut. Berwarna putih dengan kombinasi hijau. Rambut panjangku dikucir dua. Aku menonton permainan voli di halaman rumah Wak Baren yang luas.

Namun ada satu fragmen yang tidak mungkin kulupakan. Kenangan itu telah berubah menjadi piringan hitam, kapan pun aku ingin memutarnya, tinggal kutekan tombol on di memori ingatanku. Lalu muncullah gambar-gambar bergerak tentang sepasang gadis kecil di dalam keranjang rotan di jok sepeda motor Ayah. Kepala mereka menjulur-julur. Mirip kepala kura-kura yang melongok-longok keluar dari cangkang untuk melihat situasi. Gadis kecil di dalam keranjang itu adalah aku dan sepupuku, Rina.

Keranjang itu biasa digunakan Ayah untuk menggalas. Biasanya yang diisi di sana cabai atau biji kakao. Tapi hari itu digunakan untuk mengangkut manusia-manusia mungil. Sementara yang lainnya keluar dari kampung sambil berjalan kaki.

+++
ilustrasi liputan6.jpeg
Ilustrasi diambil dari liputan6.com

Pagi menjelang siang hari itu, aku sedang asyik bermain ayunan di samping rumah. Tiba-tiba datang Kak Isah dan Bang Pudin, lari terbirit-birit dengan keringat jagung membulir di wajah mereka. Melihat kondisi mereka aku jadi ketakutan. Panik. Pun Ibu, yang sedang memegang pisau mengupas mancang untuk kami. Kak Isah adalah sepupuku, anak kedua dari kakak Ayah. Sedang Bang Pudin adalah anaknya Wak Ren. Masih kerabat jauh kami juga.

"Rumah sekolah dibakar!"

Kata Kak Isah masih terngiang-ngiang di telingaku sampai hari ini. Aku berusaha mengingat-ingat, beberapa malam terakhir rumah kami selalu ramai. Ada topik-topik tertentu yang dibicarakan sambil berbisik-bisik. Orang tua kami sepertinya memang sudah menduga-duga sesuatu. Dan kabar rumah sekolah yang dibakar itu adalah puncak dari desas-desus itu.

Siapa pun yang pernah tinggal di Aceh pasti tahu, tahun 1989 adalah awal dari pemberlakuan Darurat Operasi Militer di Aceh. Operasi ini dibentuk untuk memburu gerakan sipil yang ketika itu disebut Gerakan Pengacau Keamanan oleh pemerintah. Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang gelap bagi rakyat Aceh. Di setiap pelosok terdapat pos tentara. Bahkan sudah dimulai jauh dari sebelum itu.

Ibu segera menyuruh Kak Isah dan Bang Pudin ke Lhok Jeuruweng. Di sanalah ladang-ladang warga Lorong Pelita ketika itu digarap. Mereka membuka kebun, menanam cabai, kacang kuning, sayuran. Ayah, Wawak, dan beberapa warga bertani di sana. Aku menduga Kak Isah dan Bang Pudin pastilah menggunakan jurus terbangnya hari itu. Karena jarak dari desa ke Lhok Jeuruweng lumayan jauh.

Ibu segera mengemasi barang-barang. Cuma baju, karena tidak ada aset penting lainnya yang bisa diselamatkan.

Itulah pengalaman pertamaku menjadi pengungsi. Di usia yang belum genap lima tahun. Di usia yang seharusnya aku masih mengorek-ngorek tanah mencari binatang undur-undur dengan tenang tanpa waswas. Kami mengungsi ke kampung nenek di Keude Dua.

Dari dalam keranjang, dengan perasaan senang --karena bisa naik motor-- bercampur takut, aku berusaha melihat ke sekeliling. Setelah melewati turunan bukit kecil di depan rumah Yahwa Leman, sampailah kami di depan SD N Padang Peutua Ali di Lorong Pelita. Saat itulah mulut kecilku terganga. Ketakutanku menjadi-jadi. Jantungku berdegup-degup. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Aku melihat gumpalan asap hitam menebal seperti melesak-lesak mencari jalan keluar dari dalam gedung sekolah. Lidah api menjulur-julur. Merah!

Kampung Keude Dua, yang menjadi tujuan kami untuk menyelamatkan diri ketika itu, pun tak jauh lebih aman. Kondisinya mencekam. Sangat mencekam. Rasa-rasanya dunia tempat kami berdiri ketika itu diselimuti monster besar berjubah hitam.

Kondisi itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian suasana kampung berangsur normal. Ayah dan Ibu, dan sejumlah warga lainnya kembali pulang ke Padang Peutua Ali. Tapi setelah itu kusadari ada yang berubah dari desa itu. Separuh warganya yang berasal dari suku Jawa memilih tak kembali lagi.

Kematian Lek Momo yang tragis setelah ditembak orang tak dikenal menjadi trauma bagi mereka. Rumah-rumah mereka ditinggalkan begitu saja dalam keadaan kosong. Belakangan, beberapa di antara mereka memberanikan diri untuk pulang. Dengan harapan kondisi yang sama takkan terulang lagi.[]

Baca kisah sebelumnya di sini:
https://steemit.com/indonesia/@ihansunrise/memoar-matahari-terbit-1-padang-peutua-ali

Sort:  

Awesome and very beautiful picture and artical.don.t mind lool...Whereis the match between the forehead and the lungi?
Both can be opened at any time!
Pasha Months Opening Forehead,
And if you open the lungi, the destruction.

Kita harus meramaikan steemit dengan kisah nyata seperti ini. Sungguh jalan perjuangan melalui literasi adalah jalan juang kita bersama

Saya sepakat dengan @andrianhabibi. Salam kenal :-)

Cerita pilu nan menarik kala konflik bersenjata melanda Aceh.

rasa-rasanya sayang kalau dilewatkan begitu saja, Bang. Makanya Ihan tulis, semoga bisa memberi warna berbeda...

Oo ini ya cerita desa yang sudah tak berpenghuni yang diceritakan hari itu?

Kami jadi sedih. Teringat masa-masa yang tidak ingin dikenang itu

kalau di banda mungkin tidak semencekam di desa ya, De? Tapi ya tetap saja, awal ke banda tahun 2002-2003 masih terdengar letusan-letusan...

Tahun 1990. Milea udah masuk SMA, kak. Kakak masih ngorek-ngorek tanah. :D

huhhhhh makanya aku nggak ketemu dilan.

kisah yang luar biasa, semoga kisah seram ini takkan pernah terulang

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58092.92
ETH 2616.63
USDT 1.00
SBD 2.43