Memoar Matahari Terbit #4: Guru-Guru Kami

in #indonesia7 years ago

guru.jpg
Ilustrasi dari Google

Aku masih ingat Pak Suwanto. Salah satu guru favorit di SD Negeri Padang Peutua Ali. Wajahnya bulat, putih, dengan kumis tipis di atas bibir. Perawakannya tidak pendek, tidak tinggi, tidak kurus, tidak gemuk. Sepintas mirip pesinetron Dwi Yan. Cukup enak dipandang mata. Istrinya, Bu Tresni, juga tak kalah cantiknya. Namanya saja tresni, mungkin diadopsi dari kata tresno yang bermakna cinta.

Entah dari mana mereka berasal, yang pasti kami bersyukur, di sekolah kami yang di pelosok itu ada guru setampan Pak Suwanto yang mau mengabdi di sana. Beliau mengajar pelajaran olahraga. Seingatku, satu-satunya jenis olahraga yang pernah kami pelajari di sekolah adalah kasti. Itulah era sinetron Haryati dan Keluarga Cemara masih tayang di satu-satunya chanel televisi Indonesia.

Guru kami yang lain, namanya Pak Rohimin. Tak kalah tampan. Perawakannya tinggi, atletis, putih. Posturnya seperti aktor Attalarik Syah. Rambutnya rebah ke samping, seperti gaya rambut @hayatullahpasee. Beliau ini guru sekolah merangkap guru rohani. Kalau ada acara maulid dan Isra' Mi'raj, sering diminta mengisi ceramah agama.

Istrinya -yang tak pernah kami tahu siapa namanya- juga tak kalah cantiknnya. Biasanya dipanggil Bu Siti, merujuk pada nama anak pertamanya, Siti. Mereka punya tiga anak; Siti, Prio, Dewi. Cantik dan tampan. Bahkan Prio pernah menjadi idola kami saat itu. Pokoknya hati akan berbunga-bunga kalau 'diejek' ceweknya Prio. Masa berkabung tiba ketika Pria melanjutkan sekolahnya ke SMP.

Pak Rohimin ini rumahnya di Kampung Pintu Rimba, jauh dari kampung kami. Tapi ia juga menempati salah satu rumah guru di kompleks sekolah. Suatu hari pulang sekolah, ia membonceng Prio di jok belakang sepeda motor bebeknya yang berwarna merah. Naas, kerbau Pak Abu, yang keliaran dan kebuasannya sudah terkenal se antero kampung, menyodok Prio dengan tanduknya.

Ada juga Bu Il. Nama lengkapnya Lailan Qadri. Beliau sudah menjadi almarhumah. Posturnya kecil mungil, dengan rambut agak ikal sebahu. Mulutnya kecil, sesuai dengan bentuk wajahnya yang oval. Anaknya Rosnah dan Dewi. Rosnah ini sampai SD masih suka mengemut jempolnya, sampai kecil dan kisut. Suami Bu Il namanya Lek Man, aku tidak tahu siapa nama aslinya. Lek Man ini adalah suami sekaligus teman bertengkar Bu Il. Kami pernah mendengar kabar mereka bercerai, tapi kemudian rujuk kembali. Tapi mereka tetap bersama sampai Bu Il menutup mata karena komplikasi diabetes.

Saat SMP, aku dan sepupuku Rina kost di rumah ibu tirinya Bu Il di Kompleks Asrama Koramil Idi Rayek. Itu adalah masa-masa di mana Bahasa Jawa menjadsenjata kami untuk mengerjai anak ibu kost. Kejahilan masa remaja yang menyenangkan.

guru.jpgi
Ilustrasi dari Google

Lalu ada Bu Ru. Nama lengkapnya Rubiah. Badannya agak gemuk. Kulitnya gelap. Wajahnya terdapat 'beberapa' bekas jerawat. Suaranya besar. Dengan postur yang seperti itu dan sedikit kebingkengannya ia cocok sekali mengampu mata pelajaran matematika. Kalau tak buat PR atau tak bisa kerjakan soal-soal, tak segan-segan ia menjewer atau menarik kulit perut kami. Ini guru yang paling kutakuti selama aku bersekolah SD. Belakangan aku menyadari, beliau sebenarnya sangat baik. Aku takut karena sampai detik menuliskan memoar ini, aku masih tak paham cara mengerjakan soal-soal pecahan.

Bu Ru ini punya suami yang tampan. Namanya Bang Khaidir alias Bang Idir. Orangnya tinggi, putih, rambut agak keriting dan bibir sedikit dower. Kegantengan, rambut, dan bibir dowernya ini menurun pada anak-anaknya Eka dan Dedek. Tapi Dedek juga mendapat sedikit warisan judes dari ibunya.

Ada juga Bu Ani. Posturnya pendek gemuk, tapi putih seperti porselain Cina. Beliau modis. Suaminya Bang Amat, tinggi besar seperti Mithun Cakhaborti. Kalau pulang ke Idi Rayek, sesekali masih sering bertemu Bu Ani atau Bang Amat, khususnya di bulan puasa karena mereka berjualan kue-kue kering. Bu Ani inilah yang mengajarkan kami tari ranup lampuan. Dan sejak saat itu aku sadar, kalau disuruh menari aku bisa mendadak berubah jadi robot. Bu Ani pernah keseleo lidah, mengatakan 'aer' menjadi 'ayer'. Hi hi hi.

Ada juga Bu Juleha, tapi tak begitu lama mengajar di sekolah kami. Sehingga tak ada kesan yang bisa kuingat tentang dia. Dan seorang guru perempuan bernama Bu Nur, yang ketika itu masih gadis, menjalin cinta dengan seorang pria dari Kampung Simpang Damar. Suatu ketika pria itu menitipkan surat untuk Bu Nur melalui ayahku. Bersebab kesal karena ia pernah mengatakan sesuatu untuk rambutku yang saat itu berkepang dua, aku dan sepupuku Rina membaca surat cinta itu. Itu terjadi di bukit di depan rumah Wak Leman. Kami tertawa-tawa membaca isi surat itu. Saat itu aku kelas empat SD.

Kepala Sekolah kami namanya Bu Irianti. Beliau orang Minang, suaminya Pak Herman. Mereka ini tidak dikaruniai anak, tetapi mengasuh tiga anak dari keluarga mereka. Rumahnya di Asrama Koramil Idi Rayek. Setiap hari Bu Irianti dengan sepeda motor bebeknya menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Idi Rayek ke Padang Peutua Ali. Kalau hujan, bisa dipastikan ia tidak ke sekolah karena jalannya berubah menjadi kubang kerbau.

Saat itu Bu Irianti punya toko pakaian. Seluruh warga di kampung kami adalah langganannya. Bisa dibayangkan omset yang didapat saat menjelang hari raya dan awal tahun ajaran baru? Berkat tustel manualnya pula para orang tua kami bisa berhemat biaya agar tidak ke kota untuk membuat pas foto yang akan ditempel di ijazah. Saat kami SMP, beliau juga 'menampung' beberapa anak dari Padang Peutua Ali. Dia tipikal orang Minang sejati, banyak usahanya, termasuk kost-kost-an.

Sayangnya, Bu Irianti dan Pak Herman sekarang sudah bercerai. Aku masih sering bertemu dengan Pak Herman setiap kali ke Medan. Rumahnya bertetangga dengan rumah bibiku.

Mungkin ada guru-guru lain yang bertugas di sekolah kami, tapi selain yang kusebut di atas aku tidak ingat. Manalah sanggup memoriku menampung banyak sekali kenangan masa lalu. Mengapa pula aku menuliskan tentang mereka di dalam memoarku ini? Karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar bisa digugu dan ditiru. Mereka yang bukan sekadar mengajarkan baca tulis dan berhitung. Para orang tua kami juga sangat menghormati mereka.

Aku ingin menukilkan bagaimana kami anak-anak kampung menghormati para guru. Enam tahun setelah kami tercatat sebagai murid SD, tibalah masa yang disebut dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional alias Ebtanas. Kami sudah khatam buku panduan Ebtanas, RPUL, dan RPAL. Ketika Ebtanas berlangsung, pengawasnya berasal dari sekolah lain. Nah, di hari terakhir Ebtanas inilah kami para murid diberikan kesempatan untuk berucap terimakasih. Guru di sekolah kami mengatakan, wujud terimakasih itu boleh dalam bentuk apa saja. Asalkan ikhlas.

kelapa tua.jpg
Ilustrasi foto dari rebanas

Maka jangan heran ketika esoknya para murid ke sekolah dengan membawa apa saja yang bisa mereka bawa. Sayur-sayuran, kelapa, ayam, pisang. Aku sendiri membawa dua buah kelapa. Aku ingat, setelah pulang dari sekolah sehari sebelumnya, aku pergi ke kebun di belakang rumah Wak Inem. Tak terlalu jauh dari rumahku.

Di sana ada tiga pohon kelapa hibrida yang buahnya sangat lebat. Beruntung, ada beberapa yang sudah tua dan jatuh ke tanah. Aku mengambil dua buah. Kukupas kelapa itu, aku tarik kulitnya sedikit, kupilin-pilin sehingga berbentuk tali agar bisa digandeng dengan kelapa yang satunya lagi. Semua kulit kelapa itu aku buang dan tersisa sedikit saja. Persis seperti potongan rambut masa kini yang semuanya dibotakin, cuma tersisa sedikit jambul di bagian depan. Aku juga mencari pakis yang tumbuh di semak-semak untuk diberikan kepada guru pengawas.

Saat pecah konflik kedua di tahun 1999, SD Negeri Padang Peutua Ali kembali mati suri. Para warga kembali kocar-kacir. Seperti dikejar-kejar gergasi Buto Ijo. Kami meninggalkan desa dengan cara teramat tragis.[]

Note: memoar ini sengaja saya tulis sebagai bentuk penghormatan tertinggi saya kepada para guru di mana pun mereka berada.

Sort:  

Gargasi.. Teringat seorang raksasa manis terbuat dari batu di film upin ipin

ada pula raksasa manis ya Kak? Kalau bahasa Acehnya disebut geugasi. Tukang pajoh aneuk miet, maka jih bek brok-brok akai hahahah.

Hahaha lon tuan hana brok akai... Cuma malas tidur siang..

Kuat sekali ingatan mu ihan, salut sampai mampu menulis kembali nama2 guru SD mu, bukankah itu sudah lama sekali. Artikel yg indah

Kata orang, cuma ada dua hal yang akan diingat dengan baik oleh memori kita, kenangan yang paling indah, dan kenangan yang paling buruk atau nightmare. Alhamdulillah, Ihan punya pilihan yang pertama hheheeh. Jadi walaupun lama tak mau hilang dari ingatan. Terimakasih sudah membaca, Bang. #girang

Edisi ingat bu guru malam ini ya :)
Aku jadi terbayang "wajah" buku RPUL dan RPAL. Kala itu keduanya menjadi suatu hal yang wajib untuk para murid, hehehe

Hahaha.... Ingat yang bisa diingat aja, kan nggak mungkin ingat Cutlem wkwkwk... M

Hafal ya Han. sampe ke anak-anaknya pula. Kalo kakak, guru SD itu palingan hafal wajah aja ... nama udah lupa :D

Hahahhaha..... iya kak, karena interaksi antara guru dengan muridnya bagus, begitu juga interaksi guru dengan orang tua murid, sehingga merasa seperti keluarga.

Ah, keluarga cemara, film favorite.

Baca cerita ini macam membaca absensi visualisasi tokoh saat mau bikin komik atau film gitu. Detail banget kak.

Hal yang unik di sini adalah kakak selalu menyematkan kata tampan walau referensi fisik si tokoh beragam. Bahkan si rambut ikal dengan bibir doer pun ganteng, melawan standardisasi ganteng kekinian ala-ala korea.

Hahahahha dower is sexy kalau dilihat dari sudut pandang berbeda.

Memang selalu enak baca tulisan @ihansunrise, tapi seri memoar ini paling lezat. Suka banget! berharap nanti jadi sebuah buku, supaya selalu bisa dilihat di rak, gampang diambil dan dibaca lagi dibaca lagi

Harapan Ihan juga begitu, Kak. Sudah lama ingin ditulis, tapi sok sibuk hana meupeu cap. hehehhe

Ayolah Han, wujudkan. Kk inden buku Ihan itu deh! kenang-kenangan macam ini betul-betul lezat dibaca. Bernas!

Lon teuingat cit padum2 droe guru sd lon ahhaa. Guru sejarah kamo hei watei nyan mak lampir. Ahahahha. Lakab ini kami timpa ke dia karena dia guru sejarah, dan killer. Sebanrnya nama beliau, bu Azimah ahahaa. Satu lagi, wali kelas dua, yang kami panggil bu Rambo karena kalau telat masok abis keluar main2, kena tarek jambang ampe kami jerit2. Padahal namanya bu Ernita 😆😆😆

Oman, peusaheh yaa??? Padahal semalam udah japri... thanks Pilo.

Wah, keren ya kids jaman old, begitu menghormati gurunya bahkan masih ingat sampai sekarang. Harusnya kk kirimkan tulisan ini ke mereka.

Hahhahaa rambutku dibilang sebeng.
images (17).jpg

Kalau di kampung kami namanya Galagasi. Raksasa pemakan anak-anak.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58309.71
ETH 2617.30
USDT 1.00
SBD 2.42