CERPEN | JANGAN BILANG KE MEREKA KAU BISA MELIHAT

in Steem SEA3 years ago (edited)
25 % reward postingan ini akan didonasikan ke @steem.amal

CERPEN | JANGAN BILANG KE MEREKA KAU BISA MELIHAT

Oleh: Jun Imaginer
Jumlah: 1.243 kata


Kala Masa Kegelapan bermula, aku kira cuma aku saja yang mengidap "penyakit" ini. Kalau di coba ingat-ingat lagi, aku dan orang disekelilingku pada awalnya menganggap KEBUTAAN MASSAL ini sebagai sebuah penyakit, sejenis varian virus baru. Mungkin hanya kebutaan sementara, tidak permanen. Mungkin nanti akan ada obatnya, semacam vaksin, semua penyakit ada obatnya, kan?.
Sial nya tidak.

Kira-kira sekitar 2 bulan lalu. Malam itu aku terbangun karena lapar, mata kubuka, gelap gulita. Tak ada seberkas cahaya sedikit pun. Aku mencoba berkedip berkali-kali, tapi percuma. Kukira cuma mimpi, sebelum aku rebahan kembali, aku sadar ini bukan mimpi karena suara gaduh dari tetangga dari balik pintu apartemen. Apa ini pemadaman listrik serentak. Aku berjalan keluar sambil mengangkat tanganku menjadi penahan agar tidak menabrak apa yang ada di hadapanku, entah bagaimana lay-out ruangan tergambar jelas di kepala. Tapi tetap saja kelingking kaki kanan ku menabrak sudut dinding sekat. "Anjing!".

Akhirnya aku berhasil keluar, aku memegang palang besi pembatas setinggi pinggang, tepat di lorong depan pintu apartemenku di lantai 4. Tak terlihat apa-apa, hanya terdengar suara teriakan dimana-mana.

Ada yang menabrak bahuku, aku tersungkur, "Woy!" aku berteriak kaget. Tak ada kata maaf, terdengar langkah kaki berlari menjauh. Mungkin karena tersungkur tadi tanpa sengaja aku mendongak ke atas, menatap langit malam. Sepintas aku melihat dalam gelap berkas sinar kemerahan memenuhi mataku, perasaan ini seperti menatap matahari langsung dengan mata tertutup. Warna merah, lalu menjadi orange, biru, kemudian meredup kelam, kembali menjadi kegelapan total. Ditengah itu semua yang bersisa hanya jeritan histeria dalam kegelapan. Semua panik, aku juga sama.


Masa awal pandemi kebutaan massal ini bermula. Beradaptasi dalam kegelapan amatlah sulit. melakukan rutinitas sederhana seperti mencari makanan di kulkas, memasak di dapur atau urusan di kamar mandi menjadi tantangan harian yang tak bisa dielakkan.

Dibalik hiruk pikuk dunia yang sedang kacau. Informasi kondisi dunia luar kuperoleh dari radio antik yang semula hanya sebagai aksesoris pemanis ruangan di samping TV. Radio itu kuperoleh karena menebus hutang temanku untuk membayar uang sewa apartemennya. Aku tak tahu bagaimana nasibnya sekarang.

Siaran radio yang mengudara hanya ada di satu frekuensi. Setiap hari hanya memutar rekaman lagu-lagu klasik, mungkin dari sisa-sisa koleksi piringan hitam yang bisa ditemukan oleh siapapun di belakang studio radio itu. Setiap malam, bisa jadi siang atau pagi entahlah sudah lama aku kehilangan jejak waktu di masa pandemi buta ini, dia selalu menyiarkan pengumuman yang sama. Rekaman suara yang mengajak para korban untuk mengungsi ke pulau kecil yang tak jauh dari dermaga. Tapi untuk sampai ke dermaga itu butuh waktu 5 jam mengendarai mobil dari apartemenku.

Sebelum pandemi, aku belum pernah sekalipun menyentuh setir mobil, aku tidak punya kendaraan, jika perlu ke suatu tempat, aku cukup naik kereta api bawah tanah atau kendaraan umum. Aku tidak butuh mobil, maka aku tidak butuh belajar berkendara. Dan sekarang mereka minta aku untuk menyebrang pulau, "Aku BUTA, gila! Gimana caranya aku bisa kesana!?"

Aku lebih memilih tetap didalam apartemen ku saja. Kepribadian introvert yang dulu kuratapi kini menjadi keunggulan bagiku untuk mampu bertahan hidup tanpa interaksi sosial. Persediaan makanan cukup untuk beberapa bulan, sebelum akhirnya aku harus memberanikan diri keluar mencari atau lebih tepatnya menjarah swalayan yang sudah terabaikan oleh pemiliknya. Kurasa tak ada lagi yang peduli dengan norma-norma itu.

Entah sudah berapa lama, untungnya kehilangan satu indra meningkatkan panca indra yang lain. Lambat laun, dalam keterisoliran mengurung diri dari dunia luar, aku makin menguasai hidup dalam kegelapan dengan mengandalkan indra suara dan sentuhan. Aku belajar merasakan lokasi dan ukuran objek sekitar dari pantulan gelombang suara. Ujicoba awal dari hentakan kaki, tepuk tangan, semakin mahir cukup bersiul dengan nada tinggi yang menjadi gema yang ditangkap kembali menjadi vibrasi dan terpatri menjadi visual tiga dimensi dalam kepalaku.

Persediaan makanan sudah habis, apapun cara kulakukan untuk menghemat porsi makanan, pada akhirnya juga akan terkuras tak bersisa. Sudah saatnya aku keluar dari sini. Seperti yang kubayangkan, dunia luar saat ini seperti di film-film zombie, mobil-mobil berserakan di tengah jalan, ada yang terbalik, penyok menabrak tiang lampu jalan, ada yang tersisa menjadi bangkai rongsokan, mungkin karena hangus terbakar. Banyak juga pecahan kaca berserakan hampir di semua blok pertokoan.

Tampak segelintir orang berhamburan di jalanan, menyeret kaki mereka berjalan tak tentu arah, aku tak yakin mereka memiliki keahlian ekolokator sepertiku. Aku berjalan menjauh, menghindar agar tidak berpapasan sehingga mereka tidak merasakan kehadiranku.

Aku masuk ke swalayan pertama yang kutemui, loncat dari dinding kaca yang sudah terbuka lebar. Setelah berhasil masuk aku berteriak "ADA ORANG... didalam?" suaraku pelan di akhir teriakan, menggema ke seluruh ruangan. Menyesal entah kenapa aku menjerit. Tidak ada jawaban, untung saja, aman.

Ransel ku isi penuh dengan makanan kaleng, mie instan, cracker, minuman soda, apa saja. Aku tak ingin berlama-lama keluyuran diluar. Persetan dengan kadaluarsa, akan ku cek satu persatu setiba aku kembali ke apartemen.

"Hey Joe !"
Aku tersentak terkejut, kaleng-kaleng jatuh berserakan, seketika kuraih ransel kupeluk erat.

"Si, si,siapa...disana?" terbata-bata aku membalas jawab, mencari sumber suara tadi.

"Joe, ini aku Aurora, teman sekampus dulu. Masih ingat kan? Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya dengan nada antusias.

"Biasalah..." Aku menjawab dengan tawa kecil, jawaban yang bodoh.

Aku mencari-cari sosok Aurora dalam kenangan masa lalu jauh sebelum pandemi kebutaan massal ini terjadi. Dia, Aurora, sosok wanita modis, berambut lurus kecoklatan terurai dibahu, tingginya semampai, beberapa centi lebih tinggi dariku, mendekap teksbook di dadanya yang kenyal, berjalan di koridor kampus bak model diatas catwalk. Banyak lelaki mengaguminya termasuk aku, dia juga akrab dengan mereka. Lelaki kuper introvert sepertiku cuma bisa mengagumi pemandangan sensual itu dari jauh.

"Dia kok bisa kenal aku ya?" pikirku dalam hati.

"Dimana kau tinggal? Ikutlah denganku" Tangannya meraih lenganku. Aneh, sentuhan tangannya yang kusangka lembut, terasa licin berlendir. Reflek instingku menarik tanganku karena kaget.

Tiba-tiba, pundakku memanas, sekujur tubuhku berkeringat. Ada perasaan sakit yang luar biasa dibalik bola mataku. Aku meraung, menjerit kesakitan. Inginnya aku jatuh pingsan karena tak kuat menahan penderitaan ini. Hingga saat rasanya aku benar-benar akan mati, ada sesuatu yang keluar dari pelupuk mataku sesuatu yang sudah lama sekali hilang dan terlupakan. AIR MATA, membasahi mataku beriring mengikis rasa perih tadi, mengalir deras membasahi pipi dan kaos yang melekat dibadan. Aku berlari menabrak pintu kaca keluar dari swalayan.

Aku belum siap mengalami pengalaman baru tadi, sama hal nya dengan semua orang belum siap menghadapi kebutaan massal dulu.

"Kau baik-baik saja, Joe?" suara nya mendekatiku. Aku tersungkur di pedestrian.

Lambat laun, ketimbang dibutakan oleh kegelapan malah sekarang aku dibutakan oleh seberkas cahaya terang. Perlahan mencoba menyesuaikan sinar yang ditangkap oleh mataku. Tubuhku bergetar tak karuan, terasa kehangatan dan lembab berasal dari mataku menjulur keseluruh tubuh.

Aku bisa MELIHAT kembali

Aku melihat pantulan wajahku dari potongan kaca yang tergeletak di jalan. Aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Aku mengangkat wajahku. Melihat pemandangan sekitar. Ada coretan tulisan, dimana-mana, di dinding gedung dihadapanku, di kap mobil, di badan jalan, di poster dan selebaran yang ditiup angin. Semua dengan kalimat yang sama...

JANGAN BILANG KE MEREKA KAU BISA MELIHAT

Apa maksudnya? MEREKA siapa?

Sesaat kemudian, sekilas aku merasakan kehadiran sosok berdiri di depan toko menghampiriku.

"Joe..."
"Hey Joe!"

Aku berpaling ke belakang menatap Aurora. Itu bukan Aurora, makhluk menjijikan itu seumur hidupku belum pernah kulihat sama sekali, bahkan di film Hollywood sekalipun.

"Ayo ikutlah bersamaku, Joe"

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku bergetar ketakutan. Vokal suara manusia itu entah bagaimana bukan berasal dari mulutnya. Monster itu berkepala besar, hanya ada satu bola mata besar memenuhi wajahnya. Tentakel disamping tubuhnya yang gempal bergerak menyeret meninggalkan jejak licin berlendir yang menguap di udara.

Dadaku sesak. Aku menelan dahak.
Buru-buru aku mundur. Kabur.
Aku lari tunggang langgang.
Tanpa melihat kebelakang.

link reading jun.png


Terima kasih atas dukungan dan apresiasi Genk Steemian Wilayah Pantai Timur Aceh yang tergabung dalam Team Support Steemit (TSS)


Mungkin Anda juga suka

Cerita Pendek | Mencari Jalan Pulang - Alien Milyarder Bagian 1

Cerita Pendek | Mencari Jalan Pulang - Alien Milyarder Bagian 2

Cerpen | Belati Berjiwa
Sort:  

Eh wak, keren kali yg bawah, jadi kayak blog² gitu.. mangtabbb...

stelan ganteng 😎

Mantap, jangan bilang ke mereka aku udah baca ya.. 😁

Aku juga gak bilang ke mereka kalo uwak @arieffadly gak bilang² ke mereka

 3 years ago 

"Jun..."
"Hey Jun!"

Ganas, bernas.... 🤩🤩🤩🤩

"Jack..."
"Hey Jack!"

jalan lari sudah ku turie

Ohya, aku lupa buat note mention TSS.
aku edit nambah dikit nih.
izin copy quote @mc-jack ya...

 3 years ago 

Wkwkkwkw gak boleh lupa itu wak... biar nger gimana gitu. Hahaha

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 65670.18
ETH 2575.33
USDT 1.00
SBD 2.65