Short Story | Soul Dagger

in zzan3 years ago (edited)

Cerpen | Belati Berjiwa


Oleh: Jun Imaginer
10 menit baca


Darahnya bercipratan ke muka James Hetfield, kaos Metallica di tumpukan baju kotor lainnya di samping mesin cuci di dapur. Korban kedua malam itu. Suara pecahan jendela tanpa jerjak membangunkanku dari tidur di sofa ruang tamu depan TV yang masih menyala. Kudapati si pencuri itu sedang berusaha kabur atau baru saja menerebos masuk, aku tak begitu ingat lagi.

Entah apa yang membuatku berani menerjangnya, menarik hoodie nya yang longgar agar tidak kabur. Sebelum sempat ku sasarkan kepalan tinju ku ke rahangnya, sempatku melihat dia meraih potongan kaca karna panik. Aku mundur mengelak. Semua terjadi begitu cepat, erangan dan teriakan saling dorong pecahan kaca ke arah dada.

Belati itu tergeletak disana, diatas meja dapur, belum sempat ku pajang. Sebisanya kutahan berat tubuh sikeparat itu dan sisa kekuatanku cukup ku arahkan ke lengan kiri, mencoba menggapainya sekuat tenaga. Kuhujam belati ke belakang tubuhnya. Selang tak lama dorongannya melemah. Kami berdua rubuh, aku kelelahan, dia mungkin sedang meregang nyawa.


"What's in the box? WHAT'S IN THE FUCKING BOX?!". Suara lirih adegan film tengah malam mengejutkanku, mengembalikanku ke realita. Setelah pertaruhan nyawa aku dan pencuri yang sudah mampus itu. Aku mencoba mencabut belati dari belakang tengkuknya.


Roman-dagger.jpg
Ilustrasi oleh Ancient Origins

Belati usang yang kutawar dengan harga murah di tempat lelang masih tergenggam erat di tanganku. Hangatnya darah melemaskan otot jemari dan ceceran otak yang tersangkut di punggung belati menetes di lantai dapur. Ada kesadaran asing yang mencengkram dari balik tulang punggungku. Terpancar dari serat-serat kayu pegangan belati di tanganku. Mulai dari ujung jari merasuk ke ulu hati dan berputar-putar disana sejenak. Berhamburan kumpulan potongan suara, kenangan, penyesalan dan urusan duniawi yang belum terselesaikan.

Bercabang ke seluruh ujung tubuhku, membanjir kenangan akan kehidupan setiap orang yang pernah tewas oleh belati di tangan pemiliknya dari berbagai generasi di masa lalu.

Yang pertama mencapai otak ku terurai dengan sendirinya dari satu neuron ke jaringan saraf lainnya. Aku belajar berbicara bahasa Tamil. Aku menghayati adegan kehidupan masa lampau yang indah sepotong demi sepotong. Tubuhku lemas, lutut gemetar, aku jatuh tersungkur, lenganku sempat menahan beban tubuhku di atas mesin cuci. Terdengar suara bising mesin yang mulai berputar. Aku tergeletak di lantai mengoceh dengan kosakata Tamil kuno yang beberapa detik lalu tidak berarti apa-apa buatku.

Berjam-jam berlalu dalam ritual prosesi jiwa-jiwa kuno bertemu denganku terselubung di dalam alam bawah sadar. Aku merasa seperti sedang menyapa orang asing di hajatan seseorang yang tidak terlalu kenal. Aku menunggu di halaman disamping ayunan dari ban bekas tergantung di bawah pohon tua. Berjabat tangan dengan barisan teman lama, rekan kerja dan sanak saudara mereka yang tidak ada habisnya. Aku mengingat wajah mereka melalui sentuhan tangan ini mempelajari rahasia terdalam mereka.

Si penyusup itu masih terbujur kaku di sana. Tidak seperti pencuri lainnya, ini adalah kali pertama dia melakukan aksi nekat ini. Dia ketakutan setengah mati dan berakhir mati dengan konyol berhadapan denganku. Tidak ada yang terucap dari kenangan yang sampai padaku. Baginya mungkin belum saatnya. Mungkin saja nanti,i saat ia benar-benar meninggalkan kehidupan rapuh yang fana ini menuju kehidupan selanjutnya. Aku kehilangan semua jejak ruang dan waktu.

page break hijau.png

Sinar matahari masuk melalui jendela dapur. Prosesi tadi berakhir. Aku mencium bau otak dan darah yang berserakan di seluruh ruangan, menghangat seperti lava panas dari berkas sinar mentari pagi yang keemasan.

"Apa ada lagi yang tersisa?" Saya bertanya ke belati. "Tidak", pikirku. Masih tersisa satu lagi. Satu roh lagi yang tidak merasuk di tubuhku seperti yang lain. Yang ini berbeda. Roh ini lebih tua dari yang lain – jauh lebih tua.

Aku memberikan semacam isyarat. Aku merasa seperti seorang ahli sekarang, seseorang dengan kebijaksanaan ribuan tahun. "Datanglah padaku", kataku, biarkan aku mengenalmu. Izinkan mulai saat ini aku menjadi tuanmu, mengemban roh mu seperti aku mengemban roh-roh terdahulu lainnya dalam diriku.

Belati itu bergerak. Ia ingin mendekat tetapi tidak tahu caranya. Alih-alih bergerak, roh tua itu hanya ingin bangkit, bukan tertanam dan sirna menjadi kenangan. Roh tua itu mengisyaratkan padaku, dengan rasa sakit akan kepedihan dan kesedihan yang telah menyiksanya selama berabad-abad lamanya.

"Bangkitlah", kataku. Sebuah ikrar.
"Sesuai perintahmu, tuan"

Dari persemayamannya di ulu hati ku, roh tua ini mengirimkan sebuah imaji berbentuk sulur, pada awalnya menjulur ke bawah, kemudian melengkung ke atas, menjalar dan melekat pada kontur sistem saraf ku dan saling bertautan. Pola nya terasa akrab, saat serat-serat ini bercabang dan tumbuh bercabang, membungkus jiwa bagai kepompong dan mengelupas seketika.

"Apa itu tadi?" Aku bertanya walaupun aku tau bentuknya. Apa nama nya?

"Vēr"

"Jangan, jangan pakai bahasa Tamil, pakai bahasa ibu ku"

"Akar, tuan". "Ya"". Itu tadi adalah akar. Dan saat mereka mencapai otak ku, menjadi jelas siapa roh terakhir ini. Saya tahu mengapa ia tetap bersemayam dan terkubur dalam, seperti yang telah dilakukan sejenisnya selama jutaan tahun. Imaji tadi menjawab penasaranku atas pancaran kehidupan yang terpancar melalui semua akarnya.

"Hamba yang pertama ditebang. Hamba adalah satu dari instrumen lainnya"

Air mata membasahi pipiku. Perasaan sakit ini yang saya rasakan sekarang seperti milik ku sendiri; bahkan lebih dari milikku, jika itu mungkin. Rasa bersalah yang ditanggung oleh senjata pembunuh yang terpenjara dalam lini masa yang tak ada habisnya. Kehidupan setiap korban berkumpul dan menyatu di sini, di bawah naungannya. Mereka tumbuh seperti buah. Roh tua harus menyaksikan dan mengalami apa yang telah dilakukan oleh tubuhnya sendiri.

"Tatu", aku menamainya, seakan-akan satu jenis kayu terkuat bisa menjadi sebuah nama. Ia menerima lintas terjemahan spesies yang kasar ini.

"Hamba Tatu, tuan", "Dengan sebutan apa hamba memanggil tuan?"

"Manitar", jawabku. Yang berarti manusia, kuanggap cukup pantas.

"Manitar, tuanku", kata Tatu, "kembalikan instrumen pembunuh ini keasalnya. Satukan kembali cabang ini dengan yang lain. Hamba mohon akhiri derita ini."

Tatu merasakan ketakutan dan kekhawatiran ku. Kenangan kelam pemegang belati berdarah ini telah menjatuhkan banyak korban semenjak waktu bermula. Aku bahkan tidak perlu mengatakannya. Aku juga ingin menebus dosa ku. Walau tanpa sengaja dan membela diri, aku telah menumpahkan darah anak manusia. Seketika, kami tidak perlu lagi harus berkata apapun satu sama lain. Ini akan menjadi komunikasi paling murni yang pernah kami berdua lalui.

"Saya akan menunjukkan jalannya, tuan."

Saya mengisi backpack hiking ku yang sudah tersimpan lama diatas lemari. Ku isi apa saja yang menurutku kubutuhkan dalam perjalanan nanti. Apa saja yang tidak muat kedalam tas ku masukkan ke dalam mobil. Begitu aku sampai di dekat perbatasan. Aku harus mencari jalan pintas menghindari portal pos penjagaan. Mayat yang terbujur kaku ini harus ku buang terlebih dahulu, atau ku biarkan saja disini membusuk. Si keparat ini masih saja menyusahkanku.

Aku paham menjelaskan ini pada Tatu juga akan sia-sia. Dia tidak paham tentang kebiasaan manusia ini untuk mengubur sesama umat manusia lainnya yang telah habis umurnya ke liang lahat. Bagi Tatu, mayat berdarah ini hanyalah kayu gelondongan, benda mati ini cukup tetap berada di tempatnya yang nantinya akan beregenerasi memunculkan ekosistemnya sendiri. Menurutnya menyela siklus alam itu hal yang bodoh.

Aku menelpon temanku dikepolisian, untung saja mailbox yang terdengar. Aku menjelaskan situasi yang kualami sesingkat mungkin. Pesan terakhir memintanya untuk tidak perlu repot-repot mencari keberadaanku. Aku akan menghilang, pergi jauh dan tak ingin menyusahkan departemennya. Aku ingin temanku percaya dan yakin aku tak bersalah. Salahku hanya mengabaikan jalur hukum.

Saat satu bagian dari dalam diriku berbicara, bahagian lain, pengetahuan yang menumpuk dan saling tumpang-tindih menyatu bergabung bersama dalam petualangan pencarian asal mula semua ini yang akan menjadi akhir bagi setiap benang kusut kehidupan yang telah dilalui belati ini.

Bahkan si pencuri malang ini, roh nya yang belum utuh masih terkatung-katung diantara dua dunia, menunggu dan hanya diam menyimak disudut gelap. Suatu saat nanti, roh nya dan jiwa ku akan saling berhadapan, saling bertukar kenangan bagaikan bersaudara.

Esok hari, setelah aku siap dengan mantap untuk berangkat dengan belati kuno kuletakkan didalam kotak kontainer dashboar mobil. Aku meninggalkan rumah untuk selamanya, mencari titik awal mula dari tragedi aneh ini, mencari Vēr yang sebelumnya tak pernah kutahu keberadaannya di penjuru dunia yang luas ini. Tatu, Belati Berjiwa dari akar pohon kuno Vēr yang belum pernah ku lihat sama sekali, tetapi akan selalu ku dengar sepanjang perjalananku nanti.

Tamat.

Imajinasi Membuat Hidup Berarti
--Jun Imaginer--

gif jun steemit.gif

Sort:  

Demi Tuhan, cerita fiksi habis kubaca...aku suka gaya bercerita mu...tapi aku tak suka pembunuhan pada jenis apapun..

Oya...kondisimu di paragraf empat, baris ke tujuh, kayaknya karena kamu belum makan...😂😂

paragrap ke 4? hah, apa ku telah perbuat.

hahahaaha, kaget aku ah

ohya bang @pieasant, pas ku baca lagi. intro awalnya malah ngga ada insiden. ada yang belum apanlupanku tulis gitu.

udah ku edit dan ku tambah sedikit diawal.

Hasil reward nanti kita cetak jdi buku, novel karya jun imaginer, ak yakin novelnya nanti akan melampaui novelnya George RR Martin....

Cakeeep...

cetakan pertama, nanti dilembar pertama tulisan tegak bersambung.

Dipersembahkan untuk @lord-geraldi yang mewujudkan mimpi dan imajinasi saya.

Alaaamaoy

Demi apapun, sumpah ini cerpen luar biasa bagus
Semoga menjadi novel

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 61728.21
ETH 2680.80
USDT 1.00
SBD 2.56