Disergap Penunggang Kuda
LEMBAH Lemur hari itu sedikit dingin. Kabut yang menggelayut di puncak Seulawah mulai berpindah tertiup angin. Seekor rusa jantan menggosok-gosokkan ujung tanduknya ke seonggok batu yang menyembul di antara rerumputan hijau. Mamalia seukuran sapi ini kemudian menyeruduk batu tersebut. Entah apa yang dicari.
Rusa jantan itu kemudian berpindah. Meloncat-loncat tak karuan laksana sedang berdansa dengan bayangan. Nun jauh di tepian hutan, beberapa rusa betina menatap tingkah si jantan dewasa. Mereka sesekali merumput dan memakan pucuk-pucuk daun yang hijau. Seekor betina kemudian tertarik dengan tingkah rusa jantan di padang. Sang betina itu pun mendekat.
Ilustrasi rusa by Pixabay
Rusa jantan yang sedari tadi bergerak tak karuan mulai menundukkan kepalanya. Sebagian tanduk yang panjangnya separuh badannya itu menyentuh tanah. Sementara ujung tanduk lainnya seperti menggapai langit. Rusa itu tiba-tiba berdiri di atas dua kaki belakang. Dia seperti sedang menunjukkan otot-otot kekar dan ukuran badan yang jauh lebih besar dibandingkan rusa betina di pinggiran hutan tadi.
Rusa betina yang kian mendekat kemudian berhenti. Betina dengan buntut putih itu memandang ke sisi lereng Lemur. Demikian juga si rusa yang berhenti memamerkan gerakan tubuhnya bak seorang binaraga. Dari kejauhan terlihat serombongan pria berkuda mendekat. Rusa jantan bertanduk indah itu mencoba melindungi sang betina, tetapi malang satu anak panah menembus paha kanan binatang herbivora tersebut.
Si jantan menjerit. Rusa tertatih dan mencoba melarikan diri ke arah pepohonan. Sayang, dari sayap utara beberapa pria berkuda menghadang laju rusa jantan ini. Hewan tersebut mencoba menanduk seekor kuda hitam yang memimpin kawanan. Perlawanan rusa ini berhasil. Kuda hitam itu tersuruk, sementara penunggangnya terjerembab ke tanah. Kuda-kuda yang lainnya berhenti. Menghentak-hentakkan kaki belakang dan menggertak rusa dengan dua kaki depannya.
Sang rusa tak memperlihatkan rasa takut. Meski terlihat pincang, rusa itu kembali menyerang beberapa kuda yang menghalangi jalannya. “Crasssh…”
Seekor kuda terluka kena tanduk rusa. Seseorang dari kawanan tersebut kembali melepaskan anak panah ke arah rusa yang terluka. Kali ini, mata panah menembus leher rusa tersebut. Darah segar muncrat. Rusa terhuyung kemudian rubuh di kaki kuda putih.
Melihat rusa sudah tak berdaya, seorang pria turun dari pelana. Dia menghunus pedang dan dalam beberapa detik mengarahkan ke leher rusa jantan. Kepala rusa dengan tanduknya yang indah itu terpisah dari badan. Rusa betina yang tadi terpesona dengan tarian rusa hanya menatap dari balik pepohonan. Hewan ini kemudian mengeluarkan suara pelan dan kembali menuju kawanannya yang telah lama menjauh dari padang.
Mat Guci yang sedang asyik memotong rumput di lereng Lemur mencoba mengintip dari balik batu besar. Dia terkejut dengan suara ringkikan kuda dan jeritan rusa yang terluka. Bocah ini kemudian memicingkan mata. Mencoba melihat identitas para penunggang kuda dengan jelas.
“Aduh, pasukan kerajaan,” kata Mat Guci kepada diri sendiri.
Bocah ini lantas menjauh. Dia bergegas ke arah Brahim Naga yang masih tidur pulas di bawah pohon jambu mede. Seorang penunggang kuda melihat Mat Guci. Pria tersebut mencurigai tingkah Mat Guci dan mengikutinya dengan berjalan kaki. Dari jauh, giliran Mat Guci yang diintai penunggang kuda.
“Ayah, bangun. Ada pasukan kerajaan di lereng sana.”
“Hemm… berapa orang?”
“Sekitar enam orang ayah. Tapi ada beberapa orang lainnya di dekat hutan. Saya tidak tahu berapa jumlahnya,” kata Mat Guci lagi.
Brahim Naga dengan serta merta meraih kelewang. Dia meminta Mat Guci untuk pulang. Namun, Mat Guci memaksa untuk bertahan di sana. Brahim mengambil bekal buah-buahan yang disediakan oleh Mat Guci. Dia membungkusnya dalam sarung dan memanggulnya.
Bunyi kaki kuda kian mendekat sebelum Brahim Naga selesai berkemas.
“Hei… kamu siapa? Kenapa buru-buru pergi?” Teriak seorang penunggang kuda. Dia menggantungkan potongan-potongan bambu yang disusun rapi sehingga menutup dada dan perutnya. Pria tersebut memegang tombak.
Di belakang pria itu menyusul beberapa penunggang kuda lainnya. Di antara mereka ada yang memegang busur dan juga kelewang.
“Maaf tuan, kami sedang mencari rumput untuk pakan ternak di sini. Kami dari tadi memang hendak kembali ke rumah,” kata Brahim Naga membelakangi pria berbaju kuning
“Kenapa kamu tidak memperlihatkan wajahmu?”
“Oh, maaf tuan. Saya tidak berani menatap tuan-tuan dari istana,” kata Brahim Naga.
“Hmm… Sepertinya aku mengenal kamu,” kata si penunggang kuda putih yang tiba-tiba mendekat.
“Mungkin tuan salah mengenali orang. Saya hanya seorang penggembala,” kata Brahim Naga lagi.
Si penunggang kuda putih turun dari pelana. Dia mendekat dan mencoba memegang pundak Brahim Naga.
“Crassss…”
Satu anak panah tiba-tiba melesat dan nyaris menghujam ke kepala si penunggang kuda putih. Orang yang menjadi sasaran terkejut. Dia menghunus kelewang dan siap menyerang Brahim Naga.
Tak hanya penunggang kuda putih yang terkejut. Brahim Naga dan Mat Guci juga terhenyak dengan serangan tersebut. “Siapa itu?”
“Kalian jangan mengganggu mereka. Mereka hanya rakyat biasa. Perkenalkan, aku Seuman Badeuk. Pang cut dari pasukan Brahim Naga,” ujar pria yang kemudian memperlihatkan dirinya dari balik pepohonan kelapa.
Mendengar nama tersebut membuat wajah rombongan pria berkuda ini pucat pasi. Nama yang disebut-sebut itu merupakan mimpi buruk bagi prajurit kecil seperti mereka. Namun, tidak untuk si penunggang kuda putih.
“Kurang ajar. Dasar pemberontak, habisi dia,” teriak si penunggang kuda putih. Prajurit yang mendapat perintah bergegas menyerang Seuman Badeuk. Namun, tiga di antara mereka justru tumbang setelah leher mereka ditembus belati-belati kecil.
“Jangan buru-buru, di sini masih ada Cage. Rekan setia Seuman Badeuk yang juga prajurit kepercayaan Brahim Naga,” kata pria yang berjongkok di atas salah satu cabang pohon ketapang di arah barat.
Si penunggang kuda putih kini terlihat gentar. Dia mencoba menjauh dari tempat tersebut. Namun, Brahim Naga menghentikan langkah pria itu. “Maafkan dua lelaki itu, saya Brahim Naga. Pimpinan mereka, siap menerima hukuman atas tingkah bawahan saya,” kata Brahim Naga.
Dari kejauhan, beberapa penunggang kuda yang sedari tadi bersembunyi di balik pepohonan menampakkan diri. Mereka kemudian melepaskan beberapa anak panah ke arah Seuman Badeuk dan Cage.
Mat Guci yang sedari tadi mematung kemudian mengambil batu. Dia melempar ke arah salah satu penunggang kuda. Kena. Orang yang ditimpuk tersungkur dan mengeluarkan darah segar. Brahim Naga yang melihat kejadian tersebut mencoba melindungi Mat Guci. Sementara si penunggang kuda putih berlari ke arah tunggangannya.
Tiga pemanah kini menyasar Brahim Naga dan Mat Guci. Sementara lima lainnya memburu Seuman Badeuk dan Cage. Mat Guci meraih sebatang kayu dan memutar-mutarnya. Beberapa anak panah meleset dari sasaran. Sebagiannya malah menancap di kayu yang dipegang Mat Guci. Brahim Naga terkekeh. Dia kini yakin dengan kemampuan bela diri Mat Guci. Brahim Naga selanjutnya memburu si penunggang kuda putih yang mencoba melawan dengan sebilah kelewang.
Nyaris Brahim Naga terkena tetakan benda tajam itu. Dia berhasil menahan serangan mendadak tersebut menggunakan bungkusan bekal buah-buahan. Akibatnya buah jamblang, jambu mede, pisang dan keranji berserakan ke tanah. Brahim Naga mengeluarkan sumpah serapah seraya mengayunkan kelewang ke arah penunggang kuda putih. Orang yang diserang terseret beberapa langkah, tetapi mampu menangkis sabetan kelewang Brahim Naga.
Seorang pria bercelana hitam mencoba menerjang Brahim Naga dari belakang. Namun pria itu justru tersungkur karena serangannya dipatahkan Brahim Naga. Pria bercelana hitam itu mencoba bangkit, tetapi sayang kepalanya telah berpisah dari badan. Tetesan darah segar mengalir dari kelewang Brahim.
Penunggang kuda putih jadi gentar. Dia kemudian bergegas menaiki pelana dan memacu kuda menjauh dari lokasi pertarungan. Brahim mencoba mengejar, tetapi langkahnya kalah cepat dengan kuda putih. Pria yang diburu menghilang dari pandangan Brahim.
Baca juga: Bertemu Si Bulu Merah
“Sial…” Brahim mengumpat dan berbalik menuju beberapa penunggang kuda lain yang sedang menyerang Mat Guci. Baru beberapa langkah mendekat, terdengar suara ringkikan kuda dari jauh. Seseorang penunggang kuda coklat mendekat seraya menenteng kepala manusia.
“Gedubrak…” Pria tersebut melempar potongan kepala tersebut di kaki Brahim Naga.
“Hampir saja, ya?” Tanya penunggang kuda coklat yang ternyata adalah Rungkhom.
Brahim tersenyum. Sementara Mat Guci yang sedang melayani pertarungan tangan kosong melawan prajurit istana, baru saja mematahkan tangan dua lawannya. Sang lawan meminta ampun yang membuat Mat Guci menahan pukulan pemungkas ke arah kepala lawan.
Beberapa meter dari sana, Cage dan Seuman Badeuk masih bermain-main dengan lawannya. Para prajurit istana tersebut kemudian menyadari kalau mereka kalah jumlah. Nyali mereka menciut. Tapi sayang, nyawa para prajurit itu justru melayang di tangan belati Cage. “Bruukkk…”
Tubuh para prajurit itu jatuh satu persatu. Seuman Badeuk mengumpat. Dia belum berhasil membunuh satu pun lawannya.
Kabut mulai meninggalkan lembah Lemur. Sementara matahari kian rebah ke arah barat ketika Rungkhom mengikat tangan dua prajurit, yang menyerah saat melawan Mat Guci.
“Siapa bocah sakti ini?” Tanya Rungkhom.
“Ini anakku. Mat Guci,” kata Brahim Naga.
Baca: Kisah Kematian Si Tangan Kanan
Rungkhom menepuk-nepuk bahu Mat Guci. “Pantas, sigap dan cekatan seperti panglima,” kata Rungkhom.
Mat Guci hanya diam. Dia kemudian berlari ke arah rusa yang baru saja dibunuh para penunggang kuda. Kepada rusa malang itu, Mat Guci kemudian berkata, “si pemenggal kepalamu sudah dipenggal oleh teman ayahku.”
Brahim mencoba mengikuti Mat Guci. Matanya terbelalak saat melihat rusa jantan yang mati di depan Mat Guci. “Kamu membunuhnya?”
“Tidak ayah, mereka yang membunuhnya,” kata Mat Guci seraya menunjuk para penunggang kuda yang bernasib sial hari itu.
Brahim kemudian memanggil Seuman Badeuk. Dia meminta pria tersebut untuk menguliti daging rusa tersebut untuk bekal makanan. Brahim juga meminta Seuman menyisakan paha kiri rusa untuk dibawa pulang Mat Guci. Namun, bocah itu menolak.
“Tidak ayah. Saya tidak memakan daging yang tidak disembelih dengan layak,” kata Mat Guci.
“Maksud kamu?”
“Aku tidak dapat menjelaskannya ayah. Nanti saja ayah tanyakan pada Pang Amin saat kalian bertemu,” kata Mat Guci.
“Bagaimana dengan ibumu? Apakah dia juga tidak mau memakan daging rusa ini? Lalu bagaimana dengan orang-orang di dekat rumah? Apakah mereka juga tidak mau menyantap daging ini?”
Mat Guci menghela nafas panjang. Dia lupa dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Akhirnya Mat Guci menerima satu bagian daging rusa untuk dibawa pulang. Dia juga meminta Brahim memberikannya tanduk rusa yang bercabang tersebut.
“Tanduk ini mungkin dapat dipergunakan,” kata Mat Guci.
“Aneh…” Brahim menggaruk-garuk kepala dan memandang anak lelaki yang ditinggalnya selama lima tahun itu.[] bersambung...
Catatan: Tulisan ini merupakan serial fiksi yang saya garap dalam satu bulan terakhir. Tulisan-tulisan sebelumnya juga telah dipublikasi di blog ini dengan judul Petarung Cilik, Pulau Volcano, dan Lereng Lemur. Baca juga tulisan pertama berjudul Pawang Harimau, dan cerita sebelumnya; Kisah Kematian Si Tangan Kanan.
Posted from my blog with SteemPress : https://abigibran.000webhostapp.com/2018/09/disergap-penunggang-kuda
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by boynashruddin from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.