LITERASI FOLKLOR (BAGIAN II)

in #busy7 years ago

Screenshot_5.jpg

Saat menyaji bersama Kak D. Kemalawati

Tentang Naskah Drama (Remaja)

Sepanjang pengalaman saya dipercaya sebagai juri untuk pementasan-pementasan teater di Bengkulu, khususnya teater berbasis sekolah atau remaja, peserta secara umum miskin terhadap kenaskahan. Hampir semua peserta biasanya memilih untuk menulis naskah sendiri.

Naskah drama merupakan sebuah karya sastra. Bahkan, beberapa ahli sastra dan kritikus sastra meletakkan posisi naskah drama sebagai salah satu puncak sastra tulis di samping puisi! Menulis naskah drama adalah sebuah proses kreatif dan perenungan, pekerjaan serius yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai sastra dan alat-alatnya. Terlihat dari penggarapan oleh sahabat-sahabat muda kita, naskah drama sepertinya tak lebih jadi dari sekedar hand-out sutradara.

Naskah merupakan ciri khas teater modern.

Jadi, akan sangat gegabah kalau meletakkan posisi naskah drama hanya sebagai sebuah outline untuk merencanakan sebuah pementasan. Apalagi ada beberapa naskah yang sempat kita baca, teknik penulisannya hampir sama saja dengan menulis cerpen. Pada akhirnya pun, baik sutradara maupun pemain akan mengalami kesulitan sendiri menyesuaikan naskah mereka dengan pementasan.

Ada naskah yang setting peristiwanya menurut naskah adalah Tanah Rejang, tetapi di dalam pementasannya tidak ada tanda sedikit pun yang memberitahukan kepada penonton, bahwa peristiwa itu terjadi di Tanah Rejang. Ada tokoh dalam naskahnya bernama Lalan dan Mengkurung, tetapi dalam pementasannya tidak disebutkan atau tersapakan dalam dialog nama-nama tersebut, jadi tokoh-tokoh dalam pementasannya tidak bernama. Ada pula pada sebuah yang menyebutkan nama kerajaan Batu Datar dan Penanjung, namun pementasannya tidak ada tanda yang memberitahu kita bahwa kerajaan itu bernama A atau B.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa penulisan naskah drama masih seperti menulis cerpen atau novel. Dan, hampir keseluruhan naskah ditulis seperti itu, yang kemudian menjadi anakronis dan tidak memiliki kaitan yang proyektif dengan pementasannya. Sebuah pementasan hanya akan masak, jika berangkat dari sebuah naskah drama yang teruji melalui perangkat-perangkat sastra, seperti kode budaya, kode bahasa dan kode-kode sastra itu sendiri (akan kita bicarakan di bagian selanjutnya)

Naskah yang baik selalu menjadi jaminan bahwa separuh pementasan akan baik.

Untuk itu, akan lebih baik pada kelompok-kelompok pemula jangan memaksakan diri untuk menulis naskah sendiri, tetapi cari dan pakailah naskah-naskah yang telah ada. Kita bisa saja kemudian menyadur dan mengadaptasinya sesuai dengan lingkungan, budaya atau kemampuan kita, yang dilakukan dalam sebuah kegiatan yang harus dilakukan pra-pementasan, yakni bedah naskah. Selanjutnya, mulailah belajar dan berlatih untuk menulis naskah drama dengan lebih baik lagi.

Pengembangan Kisah
Kata Legenda:

Seekor harimau dibunuh oleh orang-orang kampung yang dipimpin oleh seorang ginde (kepala kampung). Harimau yang mati itu kemudian dikuliti, kulitnya lalu dijadikan untuk kulit bedug. Sementara dagingnya ditumbuk dan ditebar di jalan. Sedangkan kepalanya dipasang ujung tombak dan dipasang di depan rumah ginde. Beberapa malam kemudian, mulai terjadi peristiwa hilangnya orang-orang. Ditemukan ceceran darah di beberapa sudut desa. Selanjutnya, terjadilah serangan besar dari harimau yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban manusia. Serangan besar yang tak tertahankan itu membuat masyarakat di Semidang Bukit Kabu kemudian mengungsi meninggalkan desa-desa mereka.

9Teater-Semidang Bukit Kabu.jpg
Harimau betina bernama Sembiyan dibunuh orang-orang kampung (Semidang Bukit Kabu)

Kata Naskah Drama:
Naskah ini berangkat dari kisah "hancurnya" beberapa desa di wilayah/marga Semidang Bukit Kabu (Kabupaten Bengkulu Tengah sekarang), karena serangan balas dendam sekelompok besar harimau, setelah tubuh harimau betina itu dikoyak tombak dan pedang orang-orang dusun yang dipimpin oleh seorang ginde (kepala kampung).

Setelah pembunuh itu, dilanjutkan dengan hal-hal yang dianggap tabu dan penghinaan bagi harimau, yakni dengan kepala harimau itu dipasang di gerbang dusun, dagingnya ditumbuk dan kulitnya dijadikan gendang. Harimau betina yang masih muda itu masuk ke dusun adalah untuk bertemu dengan pengasuh yang bernama Bentua. Semidang Bukit Kabu pun kemudian hilang di balik kabut. Sisa orang-orang yang mengalami prahara itu telah hijrah untuk menyelamatkan diri lalu bertebaran dan memulai kehidupan baru di desa Nanti Agung, Karang Indah, Talang Karet dan Padang Lekat (kesemuanya di Kabupaten Kepahiang).

Namun, hingga hari ini kisah terbunuhnya Sembiyan (yang dipercaya sebagai nama harimau betina yang dibunuh itu), sepertinya belum akan berhenti. Fragmentasi dan rusaknya ekosistem akibat perluasan perambahan hutan secara liar, juga pembukaan perkebunan (sawit dan karet) dalam skala besar yang mengakibatkan menyempitnya habitat harimau, telah melanggengkan konflik harimau vs manusia ini.

Untuk apa harimau (Panthera tigris sumatraensis) dilestarikan? Apakah demi cerita buat anak cucu, atau demi keseimbangan rantai makanan, atau demi apa? Bisa jadi aktivitas pelestarian harimau pun akan jadi semacam penegasan atas obyektivikasi manusia terhadap alam, bahwa memang harimau tidak lagi sebuah mitologi, namun telah menjadi salah satu bagian proyeksi penguasaan manusia atas alam. Untuk itukah? Jawabannya -bagiku- sederhana saja, alam tidak akan menciptakan dirinya untuk kedua kalinya. Kita tidak bisa menciptakan harimau, jika harimau punah tak ada jaminan Allah akan menciptakannya lagi.

Selain itu, harimau adalah salah satu ujian bagi manusia terhadap konsep keadilan. Sanggupkah manusia berbagi, di saat yang sama perkembangan kemanusiaan terus menuntut eksplorasi dan eksploitasi alam. Keberadaan harimau di muka bumi ini lebih tua usianya dibandingkan manusia yang ada kemudian, lalu dijadikan sebagai pemimpin di bumi dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Maka, berikanlah juga keadilan dan rahmat itu untuk Sembiyan.

Walau bukan sebuah naskah yang bermuatan kampanye lingkungan hidup, karena naskah/pementasan Semidang Bukit Kabu adalah murni sebuah karya seni, namun inilah cara kami berbicara, cara kami berprihatin dengan mengangkat sebuah peristiwa yang telah membekaskan puing-puing keangkaraan, lalu jadi prasasti yang mengabadikan runtuhnya kesombongan manusia ketika rasa bijak terhadap alam telah hilang.


Menyusun Ulang Detail Folklor

Legenda-legenda secara umum tidak mendetail pengisahannya, bahkan bisa dikatakan “miskin” alur, peristiwa dan wawasan, jika kita ukur dengan konsep kesastraan hari ini. Legenda lebih banyak berpusat pada “tokoh”, sehingga dengan sentralistik ini menjadikan tokoh-tokoh lain dan peristiwa-peristiwa di luar tokoh itu sering tidak dikisahkan. Konflik-konflik pada umumnya berlatarbelakangkan violensi atau pelanggaran.

Namun, bukan berarti detail-detail tersebut tidak ada. Legenda menyimpan detail kisah dalam bentuk detail euherisme, alegoris dan personifikasi. Euherisme adalah detail catatan peristiwa “bersejarah” yang dilebih-lebihkan, detail alegoris berhubungan dengan fenomena alam, sedangkan detail personifikasi berhubungan cara memandang "sesuatu" sebagai "seseorang" atau bukan benda belaka.

Namun, dalam kertas ini, yang lebih difokuskan adalah detail-detail yang tersembunyi atau imanensi di dalam teks, karena akan menyangkut untuk pengembangan kisah menjadi sebuah naskah drama.
Detail-detail tersembunyi pada legenda menyimpan koneksi enigma yang timbul dalam sebuah wacana.

Secara hermeneutis, enigma itu memberikan pertanyaan-pertanyaan: siapakah mereka? apa yang terjadi? halangan apakah yang muncul? bagaimanakah tujuannya? apa yang terjadi pada orang-orang lain? dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bersifat ontologis lainnya.

Inilah tugas ahli sejarah, interpretator termasuk penulis naskah untuk melacak, lalu melakukan reproduksi dengan memunculkan dan mentransendensikan detail-detail atau ekspresi-ekspresi yang tersembunyi itu.

William Dilthey menyatakan, bahwa makna verbal dari suatu teks atau masa lalu adalah sesuatu yang dimaksud oleh pengarangnya, namun secara hermeneutis, pembaca akan menangkap ekspresi-ekspresi tertentu yang ditampilkan oleh teks tersebut. Beberapa ekspresi tersebut tersembunyi jauh di dalam teks, sehingga memerlukan referensi dan kegiatan interteks untuk bisa muncul sebagai sebuah peristiwa yang dialogis. Sementara Hans-Robert Jauus menyatakan, bahwa karya sastra bukanlah sebuah obyek yang berdiri sendiri dan memancarkan wajah yang sama kepada setiap pembaca dalam tiap periode. Karya sastra bukanlah sebuah monumen yang mengungkapkan esensinya yang abadi dalam sebuah monolog.

Seorang penulis naskah drama harus percaya bahwa legenda yang dihadapinya memiliki enigma dan peristiwa-peristiwa tersembunyi, di mana kisahnya akan ikut berevolusi bersama gerak zaman, gerak manusia dan kemanusiaan (wirkungsgeschichte). Menulis naskah drama tanpa dapat menemukan realitas dengan detail-detail pengalaman yang tersimpan dan tersembunyi dalam data-datanya yang berupa teks itu, maka sebuah legenda hanya akan menjadi sebuah artefak, dan –maaf, hanya akan menjadi konsumsi bagi anak-anak yang tak lebih dari beberapa lembar kertas untuk menulisnya.

Karena itu juga, menulis naskah drama yang berangkat dari legenda harus bisa lebih dari sekedar pendokumentasian legenda itu. Menyusun legenda ke bentuk naskah drama adalah kegiatan mengkonstruksikan sebuah budaya yang berlangsung pada satu kurun waktu tertentu, yang berusaha untuk diekspresikan secara visual, menghidupkan kembali sebuah peristiwa dan mementas ulang manusia-manusia dengan segala problematikanya.

Lalu, apakah ini tidak berarti kita akan mengubah legenda tersebut?

Ekspresi-Ekspresi tersembunyi dalam Lalan Belek misalnya, tidak ada dalam cerita apa yang dilakukan oleh pihak kahyangan ketika Lalan tidak pulang, tidakkah raja marah kepada saudara-saudaranya, bagaimana pula cerita kehidupan Bujang Mengkurung bersama Lalan di dunia? Bagaimana pula tanggapan orang-orang desa terhadap Bujang Mengkurung yang berhasil memperistri seorang bidadari?

Sementara ekspresi-ekspresi tersembunyi dalam Semidang Bukit Kabu, misalnya bagaimana kemarahan harimau-harimau ketika mendengar salah seorang anggota mereka dibunuh dengan cara hina. Kita bisa membayangkan sebuah rapat akbar para harimau itu yang penuh emosional, hingga kemudian membuat keputusan untuk memberikan balasan yang kejam pula kepada manusia-manusia di Semidang Bukit Kabu. Tidak terceritakan dalam legenda bagaimana bentuk ketegangan masyarakat menerima balas dendam harimau, sementara kita juga bisa mengira-ngira bagaimana haru birunya orang-orang itu kemudian harus memutuskan meninggalkan desa mereka, menuju tempat baru untuk menyusun sejarah baru pula.

Suasana legenda yang kurang dialogis ini juga merupakan ekspresi tersembunyi. Ketika Raja Mawang memutuskan untuk menyingkirkan Serindang Bulan dari istana, apakah tidak terjadi perdebatan dalam keluarga. Bagaimana suasana debat itu, apa yang saja yang dikatakan oleh raja, para pangeran dan permaisuri. Ini tidak adalah dalam legendanya!

Ekspresi-ekspresi tersembunyi inilah yang harus dimunculkan oleh seorang penulis naskah. Penulis mencoba menjawab enigma arus waktu. Konflik dalam teks asli harus benar-benar hadir. Kemarahan dalam teks asli bukan lagi peristiwa verbal, tetapi benar-benar menjadi peristiwa visual, yang kita saksikan dalam arus waktu kita hari ini.

Ini artinya kita tidak mengubah legenda, bahkan justru memperkaya legenda itu sendiri. Dengan memunculkan teks-teks atau ekspresi-ekspresi tersembunyi itu, maka verstehen atau interpretasi seorang penulis naskah drama bukan lagi menghadapi sebuah teks, namun ia benar-benar berada dalam arus peristiwa dalam teks tersebut. Setidaknya kita mencoba menjawab secuil enigma dari masa lampau dengan cara kita berdialog melalui ruang waktu hari ini.


Jelas, kawan-kawan, ini memang kerja keras!


(Bersambung)

Emong Soewandi, guru di SMKN 1 Seberang Musi, Kepahiang-Bengkulu. Lahir di kota kecil Curup, Provinsi Bengkulu, ayah dari 1 orang putri dan 2 orang putra. Bergiat di Teater Petak Rumbia Bengkulu. Menulis esai, puisi, naskah drama dan makalah sastra/budaya untuk beberapa seminar di Bengkulu, Palembang, Riau, Jakarta dan Bogor. Puisi-puisi telah diterbitkan dalam beberapa antologi Indonesia dan Malaysia. Juga sempat menerima Beasiswa Prestasi dari Kemendikbud untuk penulisan naskah drama, 2012. Menerima bebeberapa penghargaan: Departemen Kehutanan atas karya-karya bertema lingkungan hidup, 1994; Penghargaan seni “Bengkulen Award” dari Gubernur Bengkulu, 2007; Penghargaan budayawan dari Gubernur Bengkulu dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-40 Provinsi Bengkulu, 2008; dan Guru SMK Berprestasi Tingkat Provinsi Bengkulu Tahun 2014

Baca Juga:

  1. Literasi Folklor (Bagian I)
  2. Tradisi Membaca Orang-Orang Nusantara
  3. Mengenang Ketika Kota Kami Di-Make Over Kabut Asap
  4. Lela Rentaka Rejang
  5. Bertanya Tentang Kebudayaan Kepahiang
  6. Balada Pasung (Menuju Indonesia Bebas Pasung 2019

SALAM
Lambang.jpg

Sort:  

Saya perhatikan kecenderungan sebagian pegiat teater di Indonesia lebih suka mementaskan naskah dari penulis asing, ketimbang membuat naskah sendiri. Saya tidak tahu apakah ada semacam ketidak-pedean, atau sekedar ingin gagah-gagasan. Celakanya, terkadang tafsir mereka terhadap naskah asing itu tidak kena. Seharusnya, kita lebih banyak menggali persoalan lokal dan diungkapkan ke dalam karya teater.

Di teater aku sendiri, Petak Rumbia, telah lama dibangun tradisi untuk menulis dan mementaskan naskah drama yang diangkat dari folklor atau persoalan lokalitas. Salah satu motivasinya, ya untuk menjawab bahwa hal-hal yang bersifat legenda pun di balik kesederhanaan ceritanya pada dasarnya juga memiliki pesan besar dan universal, hal yang sering dianggap hanya ada banyak pada naskah2 penulis asing.

Semoga Sanggar teater Petak Rumbia bisa mengembangkan naskah dengam karakter lokalnya lebih ditonjolkan. Sukses dan semangat terus.

Aamiin. Semoga kita semua tabah dan selalu memiliki kekuatan dalam pengabdian kepada kesenian.

Mentas folklor 😍

siaaaap...... :D

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 59702.71
ETH 2542.73
USDT 1.00
SBD 2.54