Tradisi Membaca Orang-Orang Nusantara

in #writing7 years ago (edited)


Source: wikimedia.org

Ketika berbicara tentang "membaca", maka banyak "kritikus" akan membandingkan kebiasaan membaca orang Indonesia dengan orang Jepang, Amerika atau Eropah. Lalu muncullah pernyataan, bahwa orang Indonesia malas membaca.

Benarkah separah itu kita?
Ataukah sebenarnya kita ini hanya kehilangan tradisi membaca?

Baiklah. Mari kita dengar suara sejarah yang mengatakan, bahwa:

untuk memperoleh salinan suatu naskah atau kitab, orang -orang di Nusantara Klasik (Campa dan Melayu) tidak segan-segan melepaskan sebuah gerobak penuh padi untuk mengupah seorang penulis menyalinnya

Dari disertasi etnolog G. Moussay ini membuktikan sebenarnya bangsa kita telah lama memiliki minat baca dan belajar yang begitu tinggi. Lahirnya padepokan-padepokan, pesantrian-pesantrian (pesantren) atau sangga-sangga di masyarakat "lama" pun berangkat dari motivasi "membaca" dan meng(k)aji kitab-kitab dan naskah-naskah. Bukankah kita juga telah lama memiliki kosa kata pustaka, kitab, tambo, aksara, tulis dan baca jauh sebelum kata “buku” dan “literasi” datang.

Teknologi merekam juga sudah lama kita miliki, dengan adanya aksara-aksara kuno yang dipergunakan dalam tradisi menulis. Saatnya kemudian tradisi ini semakin canggih dengan diterapkannya modifikasi aksara Arab yang disebut dengan aksara Jawi atau Arab-Melayu, yang bisa lebih “membunyikan” fonologi orang-orang Nusantara.

Bahkan untuk tempat-tempat yang tidak mengenal aksara, mereka masih mampu mempertahankan kebiasaan membaca ini dengan tradisi tutur. Minangkabau misalnya, mereka telah berhasil mempertahankan dan mengabadikan “sejarah“ melalui tradisi bakaba.

Buku mahal saat itu karena memang langka dan produksinya yang sulit. Buku hanya buat dengan tulis tangan dan jika dicetak menggunakan sistem kuno, yakni litografi (cetak batu) yang rumit dan lama, serta dengan biaya yang sangat mahal.

midden sumatera veth 67.jpg
Source: Veth, P. J. Midden Sumatera, Reizen En Onderzoekingen Der Sumatra-Expeditie 1877-1879. Leiden: E. J. Brill. 1882. (buku koleksi pribadi)

Tahukah kita, jika banyak diceritakan bagaimana seorang "sarjana" sanggup menempuh perjalanan jauh, menahan perih lapar dan haus, pakaian tercabik-cabik badai, onak dan duri hanya untuk melihat sebuah buku atau kitab yang ia dengar kabarnya ada berada di negeri yang jauh, lalu dengan menangis bahagia ia mendapat kesempatan bisa membacanya dan menyalinnya dengan penuh ketekunan.

Membaca adalah tradisi asali kita.
Mari kita kembali bercermin ke tradisi "membaca" orang-orang Nusantara.
Kita hari ini telah dipersiapkah jauh di masa lampau oleh leluhur dengan literasi

Tidak benar kita malas membaca, tetapi bisa jadi sebuah proses sejarah telah membuat kita melupakan tradisi itu! Namun, saya tetap yakin, tradisi itu tidak benar-benar dilupakan. Semoga

Baca Juga:

  1. Apalah Arti Seekor Lebah
  2. Mengenang Ketika Kota Kami Di-Make Over Kabut Asap
  3. Lela Rentaka Rejang
  4. Bertanya Tentang Kebudayaan Kepahiang
  5. Balada Pasung (Menuju Indonesia Bebas Pasung 2019
Sort:  

Membaca adalah gudang ilmu kata orang

membaca adalah membongkar-bongkar gudang ilmu

Ulasan yang penuh dengan sejarah, membuka wawasan kita akan sejarah masa lampau. Thanks for sharing it.

Terima kasih juga Mas. Senang rasanya jika memang ini memberi manfaat...
Salam takzim...

Ada yang bilang, itu dulu. Sekarang? Kita harus menjawabnya dalam sebuah tulisan baru. Ha ha ha

Setuju, Bang... wkwkwkwk
Pokoknya membaca, menulis dan menulis

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 62938.05
ETH 2552.06
USDT 1.00
SBD 2.63