Komunitas dan Kepenulisan
Suatu ketika seseorang berkata di hadapan saya. Ia berbicara serius. Ketika itu saya bis amelihat bahwa ia memang seseorang yang berpengetahuan luas. Tak hanya itu, dalam keadaan diam saja, ia tampak cerdas dan berpengatahuan. Apa lagi ketika ia berbicara masalah serius seperti saat itu.
Ia berbicara tentang konflik. Sesuatu yang saya ingin mengetahui secara mendalam. Katanya, dalam kehidupan sosial, konflik adalah sebuah keniscayaan. Hal ini, katanya, dikarena orang-orang yang kita temui punya riwayat kehidupan yang berbeda.
Ada yang sejak dilahirkan dibesarkan di tengah komunitas masyarakat nelayan. Mereka hidup secara turun temurun di sana dengan kebiasaan dan ritme kehidupan mereka sendiri.
Satu lagi adalah masyarakat yang lahir dan dibesarkan di kota besar. Orang ini juga didik dan terbiasa hidup dalam atmosfer yang pekat dengan kompetisi. Tak ada waktu untuk bermain, seperti cepatnya roda kehidupan di sana berputar.
Nah ketika keduanya bersatu, tentu saja mereka punya pola pikir, sikap dan cara mengambil kesimpulan yang berbeda. Mungkin cara mereka duduk, berjalan, berdiri dan berbicara juga berbeda.
Lantaran perbedaan yang kontras itulah, potensi konflik muncul. Apa lagi ketika keduanya dihadap-hadapkan untuk mengambil sebuah keputusan bersama. Tentu saja di A akan berkata seperti keinginannya yang tumbuh dari kebiasaan ia hidup dan belajar.
Demikian pula si B akan melakukan dengan cara berbeda sesuai dengan bagaimana ia diajarkan dan dibiasakan sejak ia masih berusia dini.
Karena itu, penting bagi orang di atasnya untuk belajar memahami bagaimana mengelola konflik. Karena tak mungkin itu dientaskan secara total. Maka konflik yang ada harus dikelola.
Untuk itu ada pembelajaran khusus. Bahkan soal mengelola konflik ini jadi bahasan mereka-mereka yang kerap diutus untuk bertemu dengan suatu kelompok masyarakat yang jadi target pengembangan.
Katanya, konflik ini juga punya teori. Teori-teori penyebab konflik. Di antaranya adalah Teori Hubungan Masyarakat, Teori Negosiasi Prinsip dan Teori Identitas.
Tapi jangan tanyakan secara mendalam pemahaman teori-teori itu. Saya sudah lupa ketika orang yang saya katakan di atas menjelaskannya.
Yang jelas, saya sepakat dengannya, konflik tak bisa dihindarkan untuk tak pernah bersentuhan dengan kita sebagai makhluk sosial. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita mengelola konflik.
Bukankah komunitas kita juga terdiri dari beragam tipe orang? Karena itu jangan heran jika ada riak atau konflik kecil di dalamnya. Itu amat sangat lumrah.
Yang penting kita mau sama-sama belajar bagaimana melatih keterampilan untuk memahami cara bersikap, bertindak dan menghadapi konflik.
Karena semua ini bertujuan agar kita bisa hidup bahagia.
Dari kutipan di atas saya pernah mendengar "tanyoe seu bansa,seu indatu, peumulia tanoh droe"
Tapi apa yang terjadi semua seperti nyanyian burung di pagi hari,siang sunyi melimuti.
Begitu juga dengan "peubeda aneuk droe,aneuk tiri" semua itu adalah masalah dari lika-liku kehidupan.
Sebagai manusia kita harus menyadarinya