The street as high as the roof | Jalan Setinggi Atap |

in #opinion7 years ago (edited)

BEBERAPA kawan mengeluhkan penimbunan dan perbaikan ruas jalan di Lhokseumawe, Aceh. Selain menyebabkan jalanan berdebu, juga ada dampak jangka panjang akibat metode perbaikan jalan selama ini. Mungkin bukan hanya di Lhokseumawe, bisa jadi di daerah lain di Aceh atau bahkan hampir di seluruh Indonesia mengeluhkan hal sama.

Pembangunan jalan memang memiliki sejumlah masalah yang menyertainya. Rendah kualitas, rendah pula daya gunanya. Ada jalan aspal yang baru selesai dibangun, dua bulan kemudian sudah retak dan bahkan ditumbuhi rumput. Kontraktor atau pejabat berwenang berkilah bahwa jalanan tersebut dilindas kendaraan di atas kapasitas sehingga tak mampu menahan beban. Yang paling sering terdengar adalah alasan anggaran terbatas. Itu memang alasan klise, tapi sulit dibantah.

Entah karena pejabat di dinas terkait itu terlalu pintar atau terlalu bodoh. Kalau memang anggaran terbatas, mengapa tidak membangun jalan yang lebih berkualitas tetapi volumenya sesuai dana yang ada. Tak masalah jalannya pendek, tapi kualitasnya setara jalan tol sehingga sampai 50 tahun bisa digunakan tanpa sompel. Tahun anggaran berikutnya, ditambah secara bertahan sampai pembangunan selesai. Pola seperti itu sepertinya lebih cerdas ketimbang setiap tahun memperbaiki jalan sama. Janganlah kita seumur hidup harus membangun jalan yang sama.

Pola kedua yang sering dikeluhkan warga adalah pembangunan jalan dengan cara menimbun. Setiap ada pengaspalan jalan, selalu ditimbun dulu kemudian baru dilumuri aspal. Dua atawa tiga tahun ke depan, jalan itu sudah rusak dan harus dibangun kembali. Sebelum dibangun, harus ditimbun dulu. Begitu terus sampai-sampai ada kawan yang nyelutuk; “Lama-lama, jalanan akan setinggi atap rumah.”

Sepintas terdengar konyol. Namun dengan pola pembangunan jalan seperti itu, bukan tidak mungkin anak cucu kita nanti akan mengalaminya. Kita juga tak habis pikir, mengapa jalan itu tidak dikeruk dulu. Kalau ada dana, lebih baik dipasang balok beton agar kekuatan jalan bertambah dan tidak lebih stabil. Atau kalau memang terganjal dana terbatas, anggaran yang sudah dialokasikan untuk penimbunan lebih baik digunakan untuk pengerukan. Selain tidak membuat jalanan tetap sama dan tidak membuat rumah warga tenggelam, kekuatan jalan juga lebih stabil.

Di negara-negara maju, rumah yang dibangun tahun 1808 masih tetap bisa digunakan sampai sekarang dan tidak tenggelam dengan pembangunan jalan. Bahkan, pola pembangunan jalan di Thailand dan Malaysia juga tidak akan membuat menjangkau atap rumah. Warga juga terbebas dari banjir, selain karena sistem drainase yang lebih baik – tidak akan menjadi sarang nyamuk seperti di daerah kita karena air tak mengalir.

Sesuatu yang sepertinya sederhana, kadang butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubahnya. Kita harus sabar menunggu perubahan itu datang. Semoga dalam penantian ini jalanan di depan rumah kita tak sampai menyentuh atap. [@yijufridar]

[Souce]:
(GotongRoyong1-2.jpg)

The street as high as the roof

Several friends complained about the hoarding and repair of roads in Lhokseumawe, Aceh. In addition to causing dusty roads, there are also long-term impacts due to road improvement methods so far. Perhaps not only in Lhokseumawe, it could be in other parts of Aceh or even in almost all of Indonesia complaining about the same thing.

Road construction does have a number of problems that go with it. Low quality, low also useful. There is a newly built asphalt road, two months later it is cracked and even overgrown with grass. The contractor or the competent authority argues that the road is overrun by a vehicle above capacity so as to be unable to withstand the load. The most commonly heard is the reason for the limited budget. That's a cliche, but it's hard to argue with.

Either because the official in the related agency is too smart or too stupid. If it is a limited budget, why not build a better quality road but the volume according to existing funds. No matter the road is short, but the quality is equivalent to the highway so that up to 50 years can be used without hold. The following fiscal year, plus on hold until the construction is complete. Such a pattern seems to be smarter than to improve the road every year. Let us not for the rest of our lives build the same path.

The second pattern that people often complain about is the construction of roads by hoarding. Every paved road, always stockpiled first and then smeared with asphalt. Two or three years into the future, the road is already damaged and must be rebuilt. Before it was built, it must be stockpiled first. So much so that there are friends who are cursed; "For long time, the road will be as high as the roof of the house."

At first glance sounds ridiculous. But with the pattern of road construction like that, it is not possible our children and grandchildren will experience it. We also can not believe, why the road was not dredged first. If there is funds, it is better to install concrete beams to increase road strength and not more stable. Or if it is blocked with limited funds, the budget already allocated for hoarding is better used for dredging. In addition to not make the streets remain the same and do not make the house residents drown, road strength is also more stable.

In developed countries, houses built in 1808 are still usable today and are not submerged with road construction. In fact, the pattern of road construction in Thailand and Malaysia also will not make reaching the roof of the house. Residents are also free from flooding, as well as better drainage systems - will not be a mosquito breed like in our area because the water does not flow.

Something that seems simple, sometimes it takes years to change it. We have to wait for the change to come. Hopefully in the wait this road in front of our house not to touch the roof. [@ayijufridar]


Badge_@ayi.png

Sort:  

Perencanaan tata kota kita tidak menyeluruh, tapi dilakukan sepotong-sepotong. Tidak seperti di negara maju, seluruh fasilitas telah direncanakan dengan baik dari awal dan mereka memegang komitmen itu, pembangunannya berkelanjutan siapapun pemimpinnya

Itu karena kita tidak memiliki cetak biru pembangunan @rayfa. Sejak awal, pembangunan bukan berdasarkan kebutuhannya dengan analisis menyeluruh dari seluruh pemangku kepentingan. Pembangunan datang dari broker proyek, baik yang ada di swasta, eksekutif, maupun legislatif. Anggota parlemen main proyek itu sudah biasa. Yang tak main proyek justru dianggap aneh.

Pembangunan jalan, misalnya, dari alokasi anggaran katakankah Rp100 juta. Untuk administrasi ini itu sudah habis berapa persen, lobi sana sini berapa persen, untuk kepala dinas, pimpro, pengawas, sampai hak preman juga ada. Akhirnya, yang benar-benar jatuh ke jalan tinggal 40 persen. Bagaimana kualitasnya? Seperti kita lihat, sebulan di aspal sudah tumbuh rumput. Atau jalan penuh lubang.

Saya heran ya, kenapa kualitas jalan tidak dibangun saja setara jalan tol. Jadi sampai 50 tahun jalan tetap tahan dan dana yang ada bisa dialihkan ke pos lain. Anggaran memang selalu terbatas. Tapi, bangun dulu secukupnya sesuai anggaran yang ada, kualitas jangan dinomor 300-an. Kualitas tetap nomor satu.

Terima kasih @rayfa yang sudah singgah.

Ya begitulah, makanya diperlukan kontrol sosial dari berbagai pihak dan jika ada praktek pungutan liar silahkan dilaporkan. Saya juga berterima kasih untuk artikel dan komentar yang memberi pencerahan :)

Selama moral oknum pejabat terkait masih 'rusak', pola pembangunan jalan akan terus dilestarikan seperti itu Bang @ayijufridar. Bagi oknum - oknum ini, yang penting kwantitas proyek. Makin banyak proyek, makin besar pula peluang mengeruk fee. Kalau ini misi utamanya, tentu mereka lebih senang jalan cepat rusak walaupun usia pembangunannya baru seumur jagung. Nyan ban. 😀

Makanya, filosofi pembangunan memang harus diubah @musyawirwaspada. Pembangunan bukan untuk jangka pendek, tapi jangka panjang dan berkelanjuta serta terintegrasi dengan aspek lain, terutama ekonomi dan sosial seperti yang disinggung Bunda @rayfa.

Pertanyaannya, darimana harus dimulai? Moral oknum pejabat sebagian besar rusak. Orientasi hanya untuk fee, mungkin kita harus ganti mazhab menjadi Hanafi (fee). Hehehehe.

Di sinilah, menurut saya, element sipil seperti jurnalis, akademisi, dan NGO bisa mengambil peran untuk memperbaiki keadaan. Memang tidak mudah, apalagi di kalangan sipil juga banyak yang pragmatism economist. Tapi minimal ada yang masih baik budi di ketiga kelompok tersebut.

Sangat sepakat Bang @ayijufridar 👍. Terimakasih. Salam takzim. ☺

Di indonesia jalannya bukan di aspal tapi di cat menjadi hitam. Di aspal kurang lebih setebal 5cm makanya sebulan dipakek rusak lagi. Berbeda dengan di malaysia, mereka disana diaspal setebal 15cm. Informasi yang bagus @ayijufridar

Makanya, kalau @fauzi03 jadi kontraktor jangan begitu. Hehehehehe.

Amiiiin. Semoga tercapai :

ha..ha..jalan setinggi atap rumah. bang ai, tulis dikoran yang besar, supaya pejabat2 itu sadar, kalau perencanaan yang di buat itu tidak memihak untuk rakyat.
Memang kenyataannya persis seperti yang bang ai tulis, bisa-bisa rumah harus di bongkar untuk ditinggikan.

Pejabat kita sepertinya juga sering mendegar protes warga tentang ini @arkan18, tetapi mereka tidak mau peduli sepertinya. Kalau peduli, tentunya tidak lagi meninggikan jalan seperti yang sudah-sudah.

Mungkin jika langsung di aspal setinggi 15 cm, jalannya tidak akan rusak lagi. Sehingga tidak ada lagi perputaran dana didalamnya. Hal ini merupakan sebuah kerugian bagi para pejabat yang suka minum air sambil menyelam.

But soet-soet si umu masa bg @ayijufridar 😁

Beutoi @rejacole. Mungken awak nyan mita SBD dari postingan sot-sot. Nyoe na cheetah bak proyek, si at-at trok cheetah nyan. Hehehehehe....

Itu sebenarnya beban dari pemerintah kota lhokseumawe, seperti yang kita ketahui bersama sudah bukan rahasia umum lagi kalau pemerintah kota lhokseumawe adalah pemerintahan terkorup seindonesia, banyaknya sarana alat yang tak berfungsi dengan alasan tak ada dana operasional..
kita ambil contoh saja mobil pembersih debu jalan yang dimiliki pemko kota lhokseumawe tidak berfungsi dan tidak di ketahui keberadaannya sampai sekarang dan di tambah lagi tidak adanya keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat terkait dana yang di kucurkan untuk BLHK dan semacamnya
jangan heran sampai sekarang kota lhokseumawe masih devisit anggaran... apakah kita akan hancur dalam pemerintahan 5 tahun kedepan kita lihat saja mau jadi apa kota lhokseumawe.

Wah, saya baru tahu ternyata di Lhokseumawe ada mobil pembersih debu @khaidi. Kenapa tidak pernah difungsikan, ya? Saya pernah lihat mobil pembersih debu di Banda Aceh, sumbangan dari Pemerintah Turki. Jalanan jadi bersih dan sehat. Tidak seperti di Lhokseumawe,; kering, berdebu, tidak sehat. Ada pula orang lari di pinggiran jalanan kota yang menurut saya tambah tidak sehat.

Bagaimana ini @iskandarpcc, @jaff, dan kawan jurnalis yang lain?

Pengelolaan pemerintahan yang baik bisa dilihat dari kualitas layanan publik. Terima kasih @khaidi.

Kalau memang ada patut di pertanyakan .. ada apa dan kenapa tidak di fungsikan .. wate ta kalon kota gob, ta Jak bak jalan Pih Mangat na bak Kaye Lom .. di tanyoe bak Kaye Tan, Abe yg le.. njan payah telusuri .. bek abeh peng Ngon blou tapi Hana fungsi ..

Di kuta tanyoe, bak kaye yang kana geukoh. Sabab nyan bak kaye Tuhan pula @iskandarpcc.

Hahaha .. yg barou Pih tan pula .. yg na pula pingkui

Nyan keuh nyan Nyak Ih....

Aceh Utara kiban?

Hana terpantau @iskandarpcc. Tapi kalau memang perlu di tinggikan karena raw an banjir, harus menyeluruh dan terintegrasi dengan saluran pembuang agar tidak masuk ke rumah warga.

Hampir semua pengerjaan jalan di Aceh dilakukan seperti itu, Bang @ayijufridar. Dan saya sangat sering mengkritik rekan2 saya para perencana di Instansi terkait. Kata mereka, itu sudah standarnisasi dalam proses pengerjaan proyek jalan. Entahlah, glak kita-kita Bang.. hehe

Kalau memang standarnya seperti itu, maka standarnya itu yang harus diubah karena malah merugikan masyarakat dan negara @bahagia-arbi. Setiap tahun harus ada anggaran itu perawatan dan perbaikan jalan. Kalau kualitasnya bagus, sekali bangun bisa dipakai sampai anak cucu, tentunya dengan memperhatikan banyak aspek seperti struktur tanah, curah hujan, dll (dan lupa lagi).

Yah begitulah segaja dibikin gampang rusak biar ada proyek berkelanjutan buat mereka... he..he.. :)

Makin sering rusak makin bagus sebab ada dana untuk perbaikan ya @happyhoenix. Kalau rusak berkelanjutan, anggarkan lagi tahun berikuutnya. khirnya, 10 kilometer jalan dibangun sepanjang abad, hehehehehe... Salam Merdeka!

Sekali merdeka, merdekaaaaa sekali...!

sekarang pekerjaannya asal jadi bang @ayijufridar.
yang penting proyek sudah selesai dan uang bisa di ambil.
masalah kualitas tidak ada sama mereka.

Makanya, tokoh muda di kecamatan seperti @amryksr harus ikut mengawasi kualitas proyek di gampong, jangan gampang dikibulin le kontraktor.

Tapi banyak proyek sekarang diserahkan langsung ke gampong setempat. Logikanya, punya sendiri pasti kualitas dijaga. Pengalaman di sejumlah gampong di Lhokseumawe, kondisinya tidak begitu. Punya kampung sendiri juga asal jadi.

Proyek yang diserahkan dan dikelola oleh gampong sendiri itu dari anggaran dana desa bg @ayijufridar.
Tetapi kalau dari kontraktor ya mereka sendiri yang mengerjakannya tanpa melibatkan gampong itu sendiri.
dari gampong cuma kaloen-kaloen mantoeng.
Mereka hanya mengejar laba semata, tidak memikirkan kualitas dari pengerjaan.
Soe mantoeng kontraktor akan terjadi lage nyan.
itu tidak dapat di pungkiri bg @ayijufridar

Maka jih, nyoe Dek @amryksr jeut keu kontraktor euntek, bek lage nyan beuh, hehehehe...

Kabereh nyan bg.

Great post you earned a new follower from @thefollower -_- Like money? Read my blogs for more!

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58450.19
ETH 2652.63
USDT 1.00
SBD 2.43