[SteemiTrip #2 - 1st KSI National Meet Up] Karena Sesungguhnya Kita Semua Adalah Kampungan

in #meetup6 years ago (edited)

Menjadi kampungan adalah momok yang paling menakutkan bagi sebahagian kita. Kepindahan domisili dari kampung ke kota seringkali juga berarti dihapusnya identitas lama dan segala sesuatu yang berhubungan dengan desa. Kampungan, bagi sebagian orang ibarat kurap di pantat yang sedapat mungkin ditutupi bahkan jika mungkin di hilangkan agar tak menjadi aib bagi dirinya dalam pergaulan di kota besar.


Hawa sejuk langsung saja menyergap kami saat tiba di Sapu Lidi, sebuah resto sekaligus resort bernuansa pedesaan yang terletak di kawasan Cihideung. Disana, balai-balai tempat duduk menikmati hidangan berjajar rapi di tepi sawah jadi-jadian yang sengaja dibuat bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana desa.

Gemericik air dari sungai –yang juga buatan- semakin menambah syahdunya suasana di tempat yang dibangun dengan material daur ulang tersebut. Beberapa anak kecil tampak seru berlarian di atas pematang sawah sementara ia punya orang tua asik berfoto ria dengan sekalian keluarga. Semuanya larut dalam tamasya ala kampung dengan pemandangan sawah yang hijau membentang.

IMG_20180217_151325.jpg

Secara konsep, Resto Sapu Lidi yang menurut informasi dari @mariska.lubis dibangun oleh seorang seniman bernama Bob Doank itu ku akui sangat luar biasa. Bob berhasil menghadirkan pengalaman juga menghidupkan lagi kenangan tentang indahnya suasana desa ditengah kawasan yang tak jauh dari hiruk-pikuk kota. Masuk ke Resto tersebut rasanya seperti melalui lorong waktu kembali ke masa lalu. Masa dimana sawah yang terhampar belum digantikan dengan komplek perumahan yang sebahagian besar dihuni oleh orang-orang yang tak akan pernah sudi dituduh kampungan.

Menghadirkan sawah buatan bagi orang-orang kota mungkin berhasil mengembalikan pengalaman masa lalunya yang indah di desa. Tapi bagiku, anak kampung yang pernah hidup bersisian dengan persawahan, hal itu tentu memberi sensasi yang berbeda.

Hingga akhir tahun 2000-an, kawasan desa Peunyeurat yang menjadi tempat tinggalku masih dikelilingi oleh sawah yang membentang. Saban musim tanam tiba, aku punya tugas tambahan yaitu menghalau ular air yang kerap menyelinap kedalam rumah melalui celah-celah pintu di malam hari. Saat itu, sekeliling rumahku masih berupa sawah tadah hujan yang di garap warga setempat. Tempat aku dan teman-teman menghabiskan waktu memancing ikan gabus di sore hari sepulang mengaji.

IMG_20180217_153557.jpg

Aku masih ingat betul saat-saat dimana ayah dan ibu kerap marah-marah saat mendapati aku yang berlumur lumpur disekujur tubuh. Saat itu tentu saja belum ada iklan deterjen yang dengan pongahnya mengatakan bahwa berani kotor itu baik. Saat itu mesin cuci juga belum sefamiliar sekarang. Ibuku masih harus menggunakan kedua tangannya untuk mencuci baju saban hari. Dan sawah adalah tempat yang tak ramah sebab semakin sering aku main kesana maka akan semakin banyak cucian ibu setiap harinya.

Namun saat ini, terutama setelah Tsunami dimana banyak orang berbondong-bondong membangun pemukiman sejauh mungkin dari bibir pantai, sawah-sawah itu tak lagi ada. Di petak-petak tanah yang dulunya adalah sawah, kini telah ditanami dengan rumah-rumah. Di sekitar rumahku kini hanya ada dua petak tanah kosong yang belum di jejali bangunan apapun. Sisanya, rumah-rumah beton berpagar tinggi kini telah terpacak di sana. Dihuni oleh orang-orang yang entah bagaimana rupanya sebab jarang sekali menampakkan diri dari balik pagar rumahnya yang menjulang tinggi.

IMG_20180217_153254.jpg

Perihal lenyapnya sawah di kampungku juga sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran para pemilik sawah yang tak ingin anaknya merasakan apa yang ia rasakan. Menggarap sawah ditengah terik mentari bagi mereka bukanlah suatu masa depan yang gemilang. Pekerjaan serupa itu hanyalah bagi mereka yang tak berpendidikan dan tergolong pekerjaan yang kampungan menurut sudut pandang orang-orang kota. Maka tak heran, petak-petak sawah yang telah berjasa menghidupi mereka dari generasi ke generasi pada akhirnya dijual sebagai modal sogokan untuk mendapat pekerjaan. Petani tua itu, tak pernah ingin anak-anaknya terlihat kampungan sebab bekerja menggarap sawah di desa. Masa depan bagi mereka adalah soal seragam yang dipakai saban pagi dan soal gaji yang diterima berkala tiap awal bulan.

Anak-anak petani itu, yang sebagian besar teman kecilku kini telah hidup di pelbagai kota besar di Indonesia. Mereka kini umumya bekerja sebagai karyawan macam ragam jawatan. Ada juga yang berseragam Polisi atau Tentara. Mereka berubah menjadi masyarakat urban yang menyandang status sosial sebagai warga kelas menengah di kota-kota besar di Indonesia. Mereka inilah, yang akan dengan mudah terpantik kenangan masa lalunya jika mengunjungi tempat-tempat seperti Sapu Lidi ini. Meski hanya buatan, areal persawahan kini terhampar di depan mata setelah sekian lama hanya menjadi penghuni ingatan dalam kepala.

IMG_20180217_151334.jpg

Oleh karena itu saat aku, @zeds, @homalamba, @fooart, @aiqabrago, dan teman-teman punggawa @apache13 diajak oleh @mariska.lubis mengunjungi Sapu Lidi beberapa waktu lalu usai kegiatan Meet Up nasional KSI di kota Cimahi, hal tersebut sedikit menggelitik pikiranku. Disaat pengalaman menikmati suasana persawahan pura-pura sebagai sebuah destinasi tamasya bagi warga kota, nun jauh disana sawah yang sebenarnya kini hanya tinggal cerita. Saat sebahagian orang menolak dituduh kampungan dan berusaha keras menyesuaikan diri dengan gaya hidup di kota, orang-orang kota justru sedang menikmati makan siang mereka di tepi sawah layaknya petani di desa.

Parahnya lagi, di satu sisi petak-petak sawah yang sebenarnya kini telah ditanami dengan bangunan beton mewah sebagai pertanda kemajuan zaman, di sisi lain sawah jadi-jadian dipadati pengunjung sebagai tujuan darma wisata dan menghasilkan pundi-pundi rupiah. Menyadari hal ini aku jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah kita sebagai putra-putri ibu pertiwi memang terlalu senang untuk berpura-pura? Sok nge-kota padahal sebenarnya kita berasal dari kampung, dan sok mencintai kampung padahal menganggap mereka yang ada di sana sebagai orang yang kampungan. Menjual petak-petak sawah sebab kita anggap di sana tidak ada masa depan, dan berbondong-bondong menuju sawah buatan untuk mengenang keindahannya. Bukankah itu sesuatu yang gila? Alahom keuh!

IMG_20180217_113227.jpg

Simak Juga Cerita Sebelumnya:

Part 1: [SteemiTrip#2 - 1st KSI National Meet Up] Halo-Halo Bandung!

Part 2: [SteemiTrip#2 - 1st KSI National Meet Up] Bahar Malaka; Seniman Cimahi Yang Rendah Hati

Sort:  

Sayang yah... Sawah itu sebenarnya sangat berarti bagi negeri kita...

Benar mba. Udah beberapa generasi sektor agraris menjadi tumpuan hidup bangsa. Tapi sekarang di tinggal karena alasan modernisasi dan kemajuan zaman. Sapu Lidi membuka wacana dikepala ku betapa pertanian seuatu saat bisa menjadi sebatas tempat tamasya, atau parahnya lagi cuma jadi legenda.

membuat sawah buatan untuk mengenang keindahannya

Kekuatan bisa membuat perbedaan.

Perbedaan juga bisa menciptakan kekuatan

Setuju.
Perbedaan yang dibalut cinta kasih hehehehe

Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by senja.jingga from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.

If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 65702.61
ETH 3485.24
USDT 1.00
SBD 2.51