[2021:114] OSLO : SECERCAH HARAPAN DAMAI YANG KINI MEREDUP

in STEEM Literacy3 years ago

Ini BUKAN resensi filem. Jangan SALAH FAHAM.


Sumber


“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Joel Singer kepada Mona Juul, suatu hari di awal dekade 90an. Joel adalah penasehat hukum Kementerian Urusan Luar Negeri Israel pada waktu itu. Mona adalah seorang diplomat dalam Kementerian Urusan Luar Negeri Norwegia.

Mona yang hendak keluar dari ruangan pertemuan yang dirahasiakan dari pengetahuan komunitas politik internasional itu, menghentikan langkahnya, perlahan memutar arahnya dan memandang lekat ke arah Joel, “Kalau kamu adalah aku, apakah kamu tidak akan melakukan apa yang kulakukan?”

“Tidak,” jawab Joel dengan tegas, “dan karenanya aku bertanya.” Joel bekerja dengan intuisi yang tajam sebagai praktisi hukum. Dia efektif, dan langsung ke sasaran. Dalam dunianya, mungkin waktu terbang dengan cepat dan dia harus mengimbanginya.

Mona terdiam sesaat, seperti memilih kata-kata yang tepat. Perlahan bibirnya seakan bergetar saat ia berbicara pelan dengan suara yang mungkin lebih dingin dari udara Norwegia yang saat itu sedang mengalami musim salju, “Suatu ketika, aku sedang di Israel. Aku dan suamiku sedang jalan-jalan. Kami memilih jalan yang salah. Di sana, kulihat dua orang anak muda saling berhadapan, satu berseragam dengan senjata di tangan, satu lagi tanpa seragam dengan batu di tangan. Pada wajah keduanya kutangkap rasa sedih, takut, gelisah. Mereka tidak ingin berada di tempat itu. Tidak ingin menyakiti satu sama lain.”

Mona memandang orang-orang dalam ruangan itu dengan tajam seakan dia memberi waktu kepada mereka untuk mencerna kalimat-kalimatnya. Hassan Asfour, orang yang menemani Ahmad Qurei (menteri Keuangan PLO saat itu), tampak terhenyak sedikit. Ruangan yang beberapa saat lalu riuh dengan perdebatan antara wakil Palestina dan wakil pemerintah Israel menjadi hening. Mona memecahkan keheningan itu dengan, “Kalau tidak ada yang lain, saya minta ijin berlalu.”

***

Itu adalah salah satu scene dalam filem televisi berjudul Oslo (2021) yang baru rilis akhir Mei lalu di saluran televisi HBO. Adalah seperti sebuah kebetulan bahwa filem ini rilis beberapa saat setelah kekerasan kembali terjadi di Palestina dan Israel beberapa waktu lalu. Tapi itu seperti sebuah pesan bahwa pernah ada upaya diplomasi yang begitu menjanjikan bagi perdamaian yang langgeng antara Palestina dan Israel. Dan itu BISA diupayakan lagi.

Mona (diperankan oleh Ruth Wilson) dan suaminya Terje Rød-Larsen (Andrew Scott) menginisiasi sebuah perundingan rahasia antara wakil-wakil pemerintahan Palestina dan Israel di sebuah tempat yang rahasia di Norwegia. Terje adalah Direktur Yayasan Fafo pada saat itu. Ruangan perundingan itu selalu tertutup selain untuk wakil-wakil Palestina dan Israel. Mona dan Terje serta pengurus rumah hanya masuk untuk mengantar makanan dan minuman atau kebutuhan lain para “tamu” tersebut, seperti alat tulis.

Tidak banyak orang tahu tentang rangkaian pertemuan itu. Pada awalnya hanya beberapa orang saja. Seiring waktu, dengan perkembangan yang dicapai di dalam perundingan-perundingan rahasia tersebut, tim kecil ini pun meningkatkan keterlibatan orang-orang dari pemerintahan mereka masing-masing.

Mona dan Terje serta teman mereka, Jan Egeland (diperankan oleh Tobias Ziliacus), Sekretaris Negara Norwegia saat itu, mengambil resiko yang sangat besar untuk menginisiasi pertemuan semacam itu. Kata Jan saat hal ini masih berupa ide, “Kita bisa dipidana. Bahkan lebih parah dari itu.” Tapi Mona dan Terje memang sudah memutuskan untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan anak-anak muda dari dua negeri yang jauh di sana untuk terus saling bunuh dan mulai saling hidup rukun. Apa yang menjadi ide Mona dan Terje pada saat itu adalah sesuatu yang janggal dalam urusan Israel dan Palestina di mana biasanya perundingan hanya melalui satu saluran yaitu atas prakarsa Amerika Serikat.

Di dalam sebuah rumah, para wakil Palestina dan Israel bertemu. Di dalam ruangan diskusi mereka saling meneriaki dengan kata-kata kasar kepada satu sama lain. Tetapi ketika mereka di meja makan atau duduk di ruang keluarga, mereka menjadi seperti teman yang berbagi lelucon dan cerita tentang keluarga, cuaca, berbagi cerita sedih dan tertawa bersama, berbagi kerinduan akan sanak saudara yang terpisah karena perang, dan sebagainya. Di dalam “ruang perundingan”, mereka adalah para politisi yang sedang membicarakan masa depan kedua negara, dan di luar ruang itu mereka adalah para teman. “Hanya dengan memahami satu sama lain sebagai manusia-manusia, perdamaian bisa diharapkan,” kata Terje, dan, “Di rumah ini kita semua adalah teman.”

***

Perjanjian Damai Oslo (atau “Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri Secara Sementara”) tercapai pada 20 Agustus 1993, di Oslo, Norwegia. Perjanjina tersebut yang dalam bahasa Inggris disebut The Oslo Accord kemudian ditandatangani di depan dunia internasional di luar istana pemerintahan Amerika Serikat, White House, di Washington DC, pada 13 September tahun itu, oleh Mahmoud Abbas selaku wakil PLO dan Shimon Peres dari pihak Israel. Penandatanganan dilakukan di depan Ketua PLO Yasser Arafat, PM Israel Yitzhak Rabin, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, Diplomat Amerika Serikat Warren Christopher dan Menteri Luar Negeri Rusia Andrei Kozyrev.

Sumber

Perjanjian Oslo bisa disebut sebagai perjanjian damai antara Palestina dan Israel yang menjamin kemerdekaan dan hak atas tanah dan pemerintahan atas diri sendiri yang lebih luas kepada Palestina. Beberapa butir penting dari perjajian ini adalah bahwa : 1) Israel mengakui PLO sebagai organisasi yang mewakili rakyat Palestina, 2) Palestina menghormati dan mengakui keberadaan negara Israel, 3) Israel akan mengembalikan Gaza dan Jericho ke dalam kontrol Palestina, 4) Palestina menjamin aksi-aksi kekerasan terhadap Israel akan dihentikan.

Perjanjian Oslo itu kemudian bermuara pada disepakatinya perjanjian yang disebut dengan nama Perjanjian Oslo II atau The Oslo II Accord yang ditandatangani secara resmi pada 28 September 1995. Dan karena perjanjian ini ditandatangani di Taba, Mesir, dikenal juga dengan nama Perjanjian Taba atau The Taba Agreement. Dalam perjanjian damai ini, salah satu poin penting adalah menjamin berdirinya sebuah pemerintahan “self-government” sementara di kawasan Palestina, tetapi tidak menjanjikan sebuah negara Palestina yang independen.

Perjanjian ini membuat kedua pihak yang terlibat dalam upaya-upayanya menjadi senang karena akhirnya mereka bisa berharap berakhirnya kekerasan. Dan tentu saja meskipun demikian kita bisa memahami kenapa Palestian mungkin bisa merasa tidak puas karena cita-cita mereka adalah tentu saja sebuah negara yang merdeka. Dan ketidakpuasan tidak hanya ada di pihak Palestina, golongan fundamental di Israel merasa bahwa pemerintahan Rabin telah melakukan pengorbanan yang sangat besar. Dalam sebuah pawai dukungan terhadap perjanjian Oslo yang diadakan di Tel Aviv, Perdana Menteri Yitzhak Rabin dibunuh oleh ekstrimis Israel yang menentang kebijakan pemerintahannya. Itu terjadi pada 4 November 1995, hanya selang satu bulan setelah pernandatanganan Perjanjian Oslo II (Perjanjian Taba).

Kematian Rabin mengaburkan jalan damai yang sudah dibentang. Kondisi kawasan menjadi kembali seperti sebelum Mona dan Terje menginisiasi pertemuan rahasia mereka pada awal 1990an di Oslo, Norwegia.

Kita mungkin perlu Mona dan Terje lain lagi. Dan mungkin mereka memang sedang bekerja. Semoga. Tetapi, tetap saja, perjanjian damai adalah kebutuhan pihak-pihak yang sedang terlibat konflik, dari sanalah kedamaian itu bisa bermula, dari kesiapan para pihak untuk berdamai dan berbuat pengorbanan-pengorbanan agar anak-anak mereka tidak terus menerus saling menyakiti.

***

Saran Bacaan


My Introductory Post | Artikel Perkenalan Saya.


Gambar oleh @aneukpineung78.

Terimakasih Telah Singgah. STEEM ON!


Thanks for stopping by.

Sort:  

Kata kawanku yg biasa kupanggil Abonda Mento,

silakan saja orang berusaha mendamaikan, mencari solusi konflik dan sebagainya, tapi kalau Tuhan tak berkenan, mau apa? Memangnya susah buat Tuhan menghancurkan segelintir manusia gila di Israil atau menyelamatkan orang2 malang di Ghaza dan palestina?

Siklus kebencian dan kerinduan itu tak akan pernah putus sampai kiamat. Meski ada lagi nanti Salahuddin Al Ayyubi yg akan membebaskan Palestina, siklus akan berulang. Yitzak Rabin tidak diizinkan merealisasikan mimpi Mona dan Terje, supaya Kita yg di luar sini bisa terus memberi perhatian pada konflik mereka. It's a war with many interests.

Aku tidak bisa berpendapat sejauh itu, karena aku bukan ahli dalam politik apalagi hal-hal lain. Aku hanya pandai menonton filem dan menghargai usaha manusia-manusia untuk mendamaikan. :D

That's your rights ✌️ aku jarang nonton pilem karena suka bau kertas buku😁 tapi tak kurang bacaanku tentang konflik di sana. Tak pula aku melarang orang mengumpulkan Dana utk membantu atau mengupayakan perundingan. Kawanku jurnalis Perancis juga pernah bercerita ttg pengalamannya 4 tahun tinggal di Ghaza, dari ceritanya dan buku2 yg kubaca, aku jadi sepakat dgn kata Abonda Mento tadi.

Kalau Gak Bantu ya Jangan Ganggu! Itu prinsipnya. Btw, senang melihat tulisanmu ttg film👍 pilihan tontonanmu cocok buat yg suka berpikir. Aku sukanya tertawa🤣

Aku juga suka tertawa, tapi hanya kalau layak untuk tertawa. :D Sejatinya aku memang banyak tertawa. Tapi ya itu, aku menulis dengan gaya yang tidak untuk mengajak orang tertawa. Aku tidak bisa menulis artikel humor.

Perkara bacaan, aku ngga terlalu suka membaca buku. Ada beberapa alasan, tapi biar itu untuk diriku saja. Cukuplah dulu aku punya blog resensi buku berisi berbagai macam buku dari berbagai genre. Tapi itu belasan tahun lalu. Beberapa tahun terakhir, dalam hal buku, aku lebih memilih untuk menjadi kolektor saja. Ada ratusan buku dalam koleksiku. Sebagiannya sampai saat ini masih bersampul plastik. Karena memiliki buku bagus aku rasa "keren", terlepas dari apakah aku punya waktu untuk membacanya atau tidak. Hehe.

Ke belakangan aku hanya membaca buku2 dari penulis tertentu saja dan buku-buku yang menjadi perbincangan umum serta yang ada interes khusus bagiku.

Di antara buku-buku yang kubaca terakhir ini adalah Sejarah Tuhan dan Masa Depan Tuhan. Dua buku karya Karen Armstrong ini sering muncul dalam perbincangan dengan topik agama bersama beberapa orang di grup-grup facebook. Jadi aku cari dan menemukannya di tempat buku bekas di Jakarta.

Buku dengan interest khusus itu misalnya buku-buku tentang kearifan lokal Nusantara seperti Atlas Tokoh-tokoh Wayang (Rizem Aidid).

Semakin ke sini bacaanku semakin mengerucut. Kalau dulu aku bisa membaca apa saja yang aku temukan. Kurasa ini faktor umur juga.

Haha. Dasar udah tua. :D

Tentang Palestina, setelah membaca otobiografi resmi dan satu-satunya yang ditulis langsung dengan persetujuan Arafat, berjudul "Arafat: Pendamai atau Teroris" oleh Alan Hart, koresponden BBC di Timur Tengah saat itu, edisi Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Utama Graffiti, cetakan pertama pada 1989, aku sama sekali tidak punya pendapat apapun selain keinginan agar kekerasan berhenti selamanya. Seperti kamu akan setujui, masalah Palestina dan Israel adalah kompleks sekali. Dan otakku tidak cukup kompleks untuk bisa memiliki pendapat apapun tentang itu selain bahwa aku menginginkan kekerasan berhenti selamanya. :D

aku menginginkan kekerasan berhenti selamanya.

Yup..aku pun begitu, selemah2nya dayaku ya berdo'a saja.

Aku Masih sangat menggemari segala buku, tapi sdh berhenti beli sejak 3 tahun lalu. Baru akan beli lagi bila temanku penulisnya, sbg bentuk dukungan😁 jadii..bila Kau jadi terbitkan buku lelucon itu, seorang pembeli ada di sini ☝️

Kalau jadi terbit (dan kemungkinan besar kematian akan datang lebih cepat kepadaku), engga usah beli, aku kasih gratis. Aku juga beberapa kali dikirim buku oleh penulisnya langsung, kok. :D

Hahaha...itu lah beda kita dlm perkara buku kawan, aku akan memaksa beli karena diberi itu tidak asyik😁 bila kawan tak mau beli, apa kita harap dari orang lain?

Aahhh.. up to you, bila terbit, Baru Kita lanjut bicara.

Biasanya, buku yang dibeli "memaksa" kita untuk membaca dan lebih menyayanginya dibandingkan dengan buku yang diberikan secara gratis. Saya juga memiliki beberapa buku yang masih dalam sampul plastik karena belum sempat dibaca.

Sudah menonton film itu @aneukpineung78? Membaca resensi itu (meski diakui bukan resensi), saya jadi tertarik untuk menonton filmnya, apalagi ada latar politik Isreal - Palestina yang sangat konstektual dengan kondisi kekinian.

Saya sudah nonton, Bang. Film ini membangkitkan harapan kita bahwa damai bisa diupayakan. Tidak ada keberpihakan dalam filem ini, karena kalau ada maka tidak mungkin menjadi filem dengan aura damai. Bagi saya, filem ini masuk kategori bagus, sebagai sebuah filem drama sejarah politik.

Sebuah karya seni seharusnya memang dibebaskan dari kepentingan politik, meski ada juga yang berpenddapat seni juga harus membela kebenaran, tetapi kebenaran versi politik selalu rentan diperdebatkan.

Kalau ada link filmnya, bagi yaa....

Iya Bang. Keberpihakan filem ini hanya kepada perdamaian.

Bagilah link-nya @aneukpineung78.... Atau di mana bisa mendapatkannya?

Coba lihat di cinemakeren.id Bang.

Bang boleh review film The Unholy? Aku baru nonton tadi malam ..

images - 2021-06-12T092758.494.jpeg

BANH LOEN MEJAK TAMONG DALAM KOMUNITAS MOTIVASI STORY..TERIMONG GENASEH..,🙏

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 64856.09
ETH 3426.71
USDT 1.00
SBD 2.56