Harmoni Anomali (2)

in #fiction6 years ago (edited)


Anomali

Sebelumnya
Tamarindus Indica berjajar memagari tepi aliran sungai. Aku memarkir tunggangan di samping kios rokok, menanti 5 unit labi-labi dari arah terminal Keudah tuntas melintas, agar aman kami berdua menyeberang menuju dermaga tujuan.

Tangisnya sudah mulai reda. Tersisa sedu yang sesekali menyentak di dada, mengguncang tubuh mengkalnya. Saat menyandarkan tubuh di besi pagar dermaga, ia menatapku, memaksa diri tersenyum. Senyum yang gagal, tapi membuatku berpikir nakal karena gigi taringnya begitu selaras dengan garis senyum di paras bujur-telur itu. Jemari lentiknya masih menggenggam gumpalan tissue. Aku akan rela menjadi korban gigitan taring seindah itu. Terutama jika menggigit bahu kiriku sambil mencakari sekujur badanku dengan 10 kukunya, nyalang dan jalang. Ah... segera kutepis angan cabul dengan mengalihkan tumpuan perhatian pada bilur sisa cambukan tangis disembab wajah dan lembab kelopak matanya.

"Kau kenapa, Nong?" tanyaku membuka. Sejak mengenalnya dalam sebuah helat pendakian Seulawah, aku dan sang Dara menyepakati ber-aku-kau dalam menyapa. "Tak ada tuan dan hamba di antara kita, mengapa pula harus menyebut diri sendiri sebagai budak dengan diksi 'saya'," paparnya saat itu. "Lebih nyaman dan memangkas jarak", katanya meyakinkan. Kami nyaris tak butuh waktu untuk sepakat. Gam dan Nong menjadi diksi tambahan sebagai kata ganti orang kedua di antara kami.

Ia menjawabnya dengan kerlingan mata ke arah 3 unit boat putih milik Kodam Iskandar Muda yang bertambat di arah seberang agak ke hulu.

"Hei...," cecarku penasaran. "Kau bisa bikin ini jadi lebih gampang kalau segera cerita," sambungku.
Perempuan di hadapanku menunduk, ia malah sibuk menggesekkan kedua ujung sepatu kets-nya. Sepatu yang terinjak penyet di bagian tumit itu adalah satu keganjilan lain yang kusuka dari cara berpakaiannya selain jeans, kemeja dan jilbab yang selalu menjuntai hingga ke pinggang.

"Ayolah..." desakku. Sepertinya aku harus menyerah menggunakan teknik tanya-jawab untuk mendapatkan penyebab keinginannya untuk mengakhiri hidup. Sungguh janggal seorang perempuan setegar karang yang ingin menyudahi hidup. Pasti ada sesuatu yang melampau batas pertahanan imannya. Kuputuskan untuk menggunakan teknik khusus, diam menunggu jawab. Kebanyakan gadis yang kutemui membenci pertanyaan. Setiap pertanyaan akan dijawab singkat seperti tanpa minat.

Jurus terakhirku mustajab. Tak sampai 2 menit ia sudah menunjukkan gestur akan bercerita. Dimulai dengan mengubah posisi tubuh hingga lebih condong ke arahku.

"Kuharap kau mau mendengar hingga tuntas. Jangan pernah menyela," ujarnya lirih bersyarat.
"Hmmm..." gumamku menyepakati. "Tapi tunggu dulu," selaku. Kuraih tangan kanannya merenggut gumpalan tissue yang telah kusut-masai.

"Kertas ini sudah terlalu hancur untuk ditambahi kehancuran," ujarku menggoda. Ia menanggapi dengan senyuman yang lebih baik dari sebelumnya beserta cubitan kecil di pangkal lengan, karena sadar aku telah mengusilinya. Aku mengaduh meski menikmati. Jika 2 tahun lagi aku masih bergaul dengan perempuan ini, alamat diri bakal menjadi masokis, pikirku. Cuma dia yang boleh mencubit tanpa boleh aku membalas. Sebelum hari ini, cuma cubitan pula sentuhan fisik yang boleh di antara kami. Aku menyebutnya cubitan kontrak baku, sebab berlaku sepihak seperti kontrak pembayaran listrik, tagihan air dan telepon. Setidaknya aku yakin telah menjauhkannya beberapa meter dari hasrat bunuh diri.

Tepat ketika gumpalan tissue lusuh yang kucampakkan mendarat di dasar tong sampah, ia mulai bersuara.
"Aku menyadarinya beberapa tahun terakhir. Ada semacam perasaan aneh ketika melihat lawan jenis. Aku merasa menginginkannya tetapi beda dengan keinginan yang kutangkap perempuan lain di sekitarku," matanya menerawang jauh melintasi waktu meski menatap ke arahku. Aku tak tahan untuk tak menyela karena sudah menduga kemana arah penjelasannya. Kuhela nafas dan mengangkat tangan memberi tanda, tapi mata dan wajahnya sontak berubah dengan paras 'biar-kuselesaikan-cerita-ini'.

"Tubuhku memang perempuan," lanjutnya, "Tapi aku merasa diriku adalah lelaki. Parahnya lagi, aku lelaki gay yang terjebak dalam tubuh perempuan," ia melepaskan napas panjang penuh lega. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
"Aku sudah menduga sejak kalimat pertama penjelasanmu," jawabku. Rasa lucu dan penasaran atas kehendak Sang Penggerak Semesta membuat aku tak dapat menahan mimik tawa ganjil yang tertahan dalam tubuh.

"Bagaimana mungkin?!" sergahnya tak percaya. "Kau pasti cuma berupaya berempati saja," ia berkata seolah memvonis. Tak terima dengan sikapku yang seolah selalu berpihak padanya. Aku paham ia merasa apa yang dirasakan dan dialaminya adalah sesuatu yang salah dalam pandangan banyak orang. Mungkin dalam benaknya aku sekedar memahami kawan dan menerima apapun adanya kondisi jiwa orang-dekatku.

"Kau boleh saja tak percaya. Tapi sebelum kujemput kau di warkop tadi, aku baru menerima curahan hati seorang lelaki yang merasa diri perempuan. Parahnya lagi, dalam keperempuanan yang terjebak dalam tubuh lelaki, ia adalah seorang lesbi," paparku meyakinkannya. Ia menanggapi dengan mulut menganga, wajah terperangah dan berekspresi 'sepertinya-aku-tak-jadi- bunuh-diri'.

"Ah... nggak percaya aku, Gam..." sergahnya. "Membayangkan dua hal yang sesungguhnya rectoverso sebuah anomali saja sudah nyaris mustahil. Apalagi ketika rectoverso itu kau temukan dan langsung berpadu dalam hitungan menit saja!" ia makin tak percaya dengan penjelasanku. Aku paham betul ketakutannya. Ia ingin tampak normal di hadapan khalayak dalam anomali jiwanya tanpa hendak menipu siapapun yang menjadi pasangannya. Persis seperti sang Jejaka. Aku tahu pasti.

"Ya sudah. Begini saja. Aku belum menceritakan pengakuan kawan lelakiku itu pada orang lain. Aku juga belum menceritakan hal yang kau paparkan kepadanya. Begini saja. Aku telpon dia supaya merapat kemari. Kau tanya sendiri. Atau kalian bicarakan saja apa yang sedang terjadi dengan kalian berdua. Lalu kita bicarakan kelanjutannya. Bagaimana?" tanyaku menantang.

"Tunggu dulu," bantahnya. "Aku mau bertemu lelaki itu, tapi ada yang harus kutuntaskan dengan kau, Gam..." katanya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Kita," jawabnya singkat.
"Maksudmu?"

"Ya. Kita. Selama ini kita telah melewatkan hari yang tak sedikit. Bersama, Gam... bersama. Kupikir aku bisa menjadikan kebersamaan kita ini lebih serius. Selama ini kita nyaman betul dengan hubungan tanpa embel-embel pacaran, soul-mate, kekasih hati. Kita membiarkan diri dalam aliran yang indah. Lalu hari ini tiba. Aku akan kehilangan kau, Gam. Aku yakin kaupun begitu," berondongan alasannya memang masuk akal. Ada sakit yang akan kuidap. Akan tiba kosong yang akan kuhadap setelah melepasnya dengan sang Jejaka. Sedikitpun aku tak pernah mencoba mempercandai duka ini dengan berupaya berseloroh soal ratusan hari yang telah kami lalui berdua.

"Itu tak terlalu penting," jawabku lemah. Terbayang sudah bagaimana mencari perempuan seantik dan secantik dia. Aku butuh seorang 'dia' lagi agar hidup tak menjadi kosong. Namun tetap tak dapat kuterima 'dia' yang seperti dia akan mampu mengisi hampa perginya. Kini giliran aku yang kelabakan membayangkan masa depan.

"Aku tak mungkin menawarkan diriku yang ini untuk kau, Gam," ujarnya. "Ini tak adil. Kau boleh menerima diriku jika tak begini adanya aku," tuturnya lirih.

"Nong... sejak awal kedekatan kita, aku sudah bilang, lebih kusuka benar yang perih ketimbang dusta yang indah. Aku akan belajar menerima ketiadaanmu. Aku yakin cuma intensitas yang akan berkurang. Selebihnya aku tetap 'Tong Sampah' dengan volume yang cukup luas menerima keluh-kesahmu," aku mengucapkannya dalam satu tarikan napas untuk memberi kesan meyakinkan padanya. Meski aku tahu ia paham betul, aku bukanlah pembohong yang baik.
Ia memperkenalkan istilah 'buang sampah' untuk curhat. 'Tong sampah' lantas menjelma sebagai satu dari selaksa panggilan anehnya untukku.

Aliran sungai yang sedang berwarna sanger melintas lepas menuju muara tempat boat nelayan bertambat di sisi hilir jembatan Peunayong. Bayang dedaunan menimpa permukaan kulit lengannya yang kemerahan berhias bulu halus. Menimbulkan pola tajuk daun asam jawa yang berjajar rapi. Seekor walet meliuk terbang menyambar permukaan air sungai. Mengembalikan benakku kesini, di hadapannya.

"Aku tak punya pilihan yang paling masuk akal selain rela atas perginya. Sungguh menyakitkan mengenalmu di masa depan cuma sebatas kawan. Padahal aku kerap mengkhayalkan kita berdamping di pelaminan," keluhku lirih.
Tanganku segera meraih handphone. Mencari sebuah nama dalam daftar dan menekannya. "Genk... bisa merapat ke dermaga dekat pembibitan sebentar?" ujarku dengan nada harap. Sebuah jawaban mencukupkan hubungan telepon. "OK. Kutunggu..." pungkasku.

Berselang menit saja hingga sang Jejaka tiba. Aku tak perlu memperkenalkan mereka karena keduanya selingkar pergaulan di kampus.

"Ada apa, Bang?" tanya sang Jejaka. Rautnya separuh bengong melukis bimbang dari dalam.
Aku menjawab panjang, mengulang penjelasan sang Dara yang membuat sang Jejaka terperangah.
"Serius ini, Bang?" rasa tak percaya melingkupi nada suaranya.
"Buktikan saja setelah kalian tinggal berdua nanti. Yang penting hari ini aku sudah menuntaskan sebuah masalah paling ganjil yang pernah kuhadapi cuma dalam hitungan jam," pungkasku.

Usai mengkalibrasi keadaan, aku minta diri. Sebisa mungkin kutegakkan langkah meninggalkan sepasang sobat paling ganjil yang kupunya. Sepasang insan yang tak kuingin hilang dari lingkar hidupku meski seorang di antaranya pernah kujadikan harap sebagai pendamping.

Bersambung lagi...

Sort:  

bg Tamarindus Indica bukannya boh me??? :D

Tepat sangat, Bro...

Kelindan intriknya menarik dicermati. Terutama soal rasa jiwa yang terjebak.

Terimakasih, sudah singgah dan membaca. Jangan lupa baca bagian pertama juga.
Saleum...

ketika berjalan lurus lalu kau harus berputar 360 derajat maka kau akan kembali ke pangkalan semula, begitu adanya anomali yang tertera. 360 tidak menjadi 0 walau berada di tempat yang sama karena dia sudah memulai perjalanan dan membawa pengalaman walau harus kembali ke tempat semula...

Kurasa aku rela keluarkan SBD yang lebih banyak untuk menghimpun ceritamu ini bg. sayangnya kau dan aku hanyalah pemula, ikan kecil di antara ikan yang besar, tapi tunggu saja! kita adalah ikan kecil yang beracun.

wak kalau ke bireuen bilang ya. nanti kita ngopi

Keren.. suka dengan pemilihan katanya .. *lanjut baca cerita sebelumnya :D

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 65092.40
ETH 3470.06
USDT 1.00
SBD 2.50