Harmoni Anomali

in #fiction7 years ago (edited)

ANYA.png

Menurutku pasangan yang sedang saling bertatap di meja sebelah Timur itu adalah pasangan yang sangat beruntung. Pasangan yang memperoleh berkah anomali semesta. Kala sedang aku berpikir, kemesraan tengah menghias tatap mereka yang bertukar senyum pasangan masing-masing. Tak banyak kata yang terucap di antara mereka. Tiada aktivitas phubing yang menyemaki pemandangan. Dan, percaya atau tidak, sang Bayu bertiup semilir menabuh gemersik dedaunan yang bertengger mesra di ranting angsana.

Sesekali sang Jejaka atau sang Dara atau keduanya menatap ke arahku, menarik busur-senyum seulas. Bahagia itu berjangkit ke arah kesendirianku.

Meski cuma tatap mereka yang berbicara, telinga dalam batinku mendengar betapa gebyar dan gemuruhnya gejolak dalam rangkaian senyum-tatap, tatap-senyum, tatap-tatap-senyum dan senyum-senyum-tatap yang bergantian berkombinasi mirip interval kode Morse yang memicu reaksi gelak tawa keduanya. Mereka masih saja begitu, seperti aku yang masih saja begini memendam ingin atas apa yang kini mereka alami.

Berlalu sudah 2 tahun sebelum hari ini ketika keduanya membuat pengakuan terpisah di hari yang sama. Sang Jejaka tertunduk saat membuka pengakuan. "Bang, aku mau curhat," ujarnya dengan raut yang seolah menjadi pendosa terburuk yang pernah dibuat semua makhluk sepanjang sejarah mayapada.

"Lanjut..." jawabku menakar-duga atas kisah yang akan terungkap.
"Sebenarnya 'gini, Bang. Aku ini merasa terlahir di tubuh yang salah." Ia tampak terpekur mengatur napas dan meredam jengah hingga membangun jeda yang memicu penasaran.
"Maksud kau macam mana?" tanyaku penasaran campur geregetan.
"Aku merasa sebetulnya aku ini perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Parahnya lagi, aku merasa aku adalah perempuan yang terjebak di tubuh lelaki dan memiliki hasrat lesbi, Bang..."
Jika bimbang dapat diukur dengan skala tertentu, jenjang bimbang yang kuhadapi ini kali akan meruntuhkan segala yang tegak. Aku berhasil mengendalikan diri dengan mengalihkan kagetku pada hisapan dalam ke pangkal kretek di antara jemari.

"Hmmm... ini kondisi menarik. Sebelumnya aku cuma pernah baca dalam teori," ujarku menyarukan kaget.
"Jadi kekmana, Bang?" tanyanya mengambang seringan asap.
"Ya udah... 'gitu aja," jawabku.
"Gitu aja macam mana maksud Abang?" cecarnya.
"Kau perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki tapi berkecenderungan lesbi. Pacaran aja dengan perempuan, tak akan ada yang terluka," jawabku mencoba menawarkan solusi.
"Nggak bisa 'gitu lah, Bang..." tukasnya tak setuju.
"Kenapa?"
"Kasihan cewek yang jadi pasanganku. Dia nggak tau kondisi aku yang sebenarnya."
"Kau kasi tau aja... habis perkara," jawabku lagi.
"Nggak berani aku, Bang... malu," mimiknya memelas.
"Berarti masalahnya ada pada mental kau. Kau cukup berani menjelaskan ke aku. Kenapa dengan calon pasangan tak berani kau paparkan?!" cecarku.
"Ya udahlah... mungkin bakal ada solusi.

Sedari tadi kutahan diri untuk tak membuka pesan masuk di handphone. Kuminta izin padanya untuk membaca pesan. Ia mengangguk.
Pesan dari seorang dara-jelita-ranum-penuh-talenta-nan-mempesona.
"Gam, ada waktu sebentar sebelum aku bunuh diri? Kalau ada, datanglah ke warkop tepi kali. Kutunggu hingga 4 jam ke depan."
Tubuhku agak terhentak saat benak merespon frasa "bunuh diri". Aku langsung minta diri pada kawanku.
"Urgen," ujarku singkat. Ia membalas dengan anggukan. Rasa kaget memancar di tatapannya.
Ultimatum 4 jam sebelum mengakhiri hidup dalam pesan sang Dara membuat aku tak tergesa mengendali laju kreta. Tak sampai sepenghisapan rokok aku tiba di tujuan. Kutemui sosoknya tengah menekuri segelas latte. Entah sejak kapan ia mengaduk minumannya tanpa bermaksud mengaduknya. Mungkin ia berupaya mendulang solusi dalam adukan single-shot espresso dan susu di hadapnya.

Waktu tampak menghampiri henti baginya.
Tatap rapuh itu... aduhai... waktu seperti takluk membeku, tunduk pada suasana hatinya. Seandainya pengunjung lain mengabaikan hadirku, ingin hati berdiri lama menatapnya dari jarak ini saja. Menikmati nuansa kelabu menyelubung sebingkai indah, di luar-jangkau penularannya.

Aku memilih tampak normal meski batin harus tersiksa saat memasuki lingkup radiasi dukanya. Kutarik kursi plastik merah setentangnya. Ia tak memberiku barang sejenak jeda menghela napas. Tepat ketika bahuku menempel ke sandaran kursi, airmata berderai di pipinya. Tangisnya tertahan sebagai ledakan di dada. Tubuh ramping-berisi di hadapku berguncang. Sakitnya menjalar ke tubuhku. Beberapa detik aku hanyut hingga sadarku merasakan tatapan pengunjung lain mengarah kemari. Beruntung mentari sedang sejajar kepala hingga tersisa sedikit temaram yang sesungguhnya tak terlalu berpengaruh menutupi keganjilan yang melingkupiku dan sang Dara.

Aku membiarkannya menuntaskan tangis sembari menduga pikiran para pengunjung. Entah mengapa aku merasakan pengunjung lain mencoba menebak apa yang terjadi. Entah mengapa aku merasa sebagiannya menghakimi...
Tatapan mereka seperti menyuarakan tanya, "Apakah kau menghamilinya?"
Apakah kau akan meninggalkannya setelah menghamilinya?"
"Apakah kalian akan menggugurkan bayi itu?"

Ah... aku merasakan sensasi tenggelam oleh prasangkaku tentang apa yang mereka pikirkan tentang kami berdua.
Di saat yang sama, aku membatinkan pertanyaan serupa pada sang Dara.

"Apakah kau hamil?" Apakah ia akan pergi setelah menghamilimu?" "Apakah kalian akan menggugurkan bayi itu?"
Dara di hadapku masih menangis tertahan. Jenis tangis yang menularkan tangis. Aku lebih suka menyaksikan tangis yang keras meraung. Lepas. Tak ada ledakan tertahan yang mendentam bertalu, merusak organ dalam tubuh.
Kuputuskan untuk menunda tanya hingga napasnya kembali tenang. Bertanya di momen seperti ini cuma akan menambah kegaduhan. Andai saja tak ada prasangka, tentu lebih nyaman bagi kami untuk bicara di ruang tertutup. Kupikir, tangis terlalu pribadi untuk diakses khalayak ramai. Akupun akan lebih mudah menginduksi ketenangan dengan merengkuhnya dalam dekap tanpa birahi.

Mataku membasah juga menyaksikan tangis yang belum menunjukkan gejala reda.
Aduhai paras itu. Wajah sensual tetapi anggun. Aku tak 'kan berani sembarangan padanya. Bahkan dalam khayal-birahi tak pernah berani kubayangkan sosok dan paras yang kini tampak luruh-runtuh bersisa puing.
Aku makin tak nyaman dengan situasi. Pengunjung lain telah menjadi hakim tanpa yurisdiksi. Sementara perempuan di depanku masih tenggelam dalam lara.

"Kita cari tempat lain..." ujarku mencoba mencari genap di ganjilnya suasana.
Ia mengangguk. Cuping hidungnya berwarna merah-menggemaskan. Huhhh... bahkan dalam balutan selubung duka ia tetap mempesona.

Ia meraih backpack di kursi sebelah, menyandangnya di bahu kiri dan melangkah ke arahku. Aiy mak jaaang... biasanya berpegang tanganpun ia tak mau. Ini hari tangan kanannya merangkul pangkal lengan kiriku. Mengapa saat rapuh ia seperti tak punya benteng. Kemana keanggunan yang biasanya membuat aku gemas. Hari ini aku menyadari betapa dekat kami... betapa lekat hingga kurasa napasnya di pangkal lengan saat ia menyembunyikan wajah. Ujung juntai rambutku menyentuh ubunnya yang berbalut kerudung dongker.

Kupikir lelaki lain tersedot dalam arus iri bercampur penasaran. Kami melangkah terseok. Sungguh kurasa beban jiwa menggelayut erat di tiap langkahnya.

Pelataran parkir terasa jauh sangat ini hari. Bukan bobot tubuhnya, tapi pandangan mata yang terasa membebani tiap langkahku, langkah kami berdua. Masih sempat terlintas di benak, pinggangnya cukup ramping untuk kurengkuh dengan sebelah tangan. Alahai diri... mengapa masih berpikir tentang geliat di bawah pusar saat begini?!
Usai membayar parkir, kuarahkan kreta menuju hilir bantaran sungai. Sekitar 500 meter di depan kuingat sebuah dermaga beton tersembunyi di sebuah lahan pembibitan tanaman hias. Kesanalah akan kutambatkan resahnya sejenak.

Bersambung...

Sort:  

ditunggu sambungannya bg

Baik. Senang sekali ada yang singgah dan membaca...
Salam kenal.

"Aku merasa sebetulnya aku ini perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Parahnya lagi, aku merasa aku adalah perempuan yang terjebak di tubuh lelaki dan memiliki hasrat lesbi, Bang..."

Anonami yang tak terelakkan.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59727.23
ETH 2674.33
USDT 1.00
SBD 2.44