Perempuan Dalam Lukisan | CERPEN |

in #fiction7 years ago

by @ayijufridar

PEREMPUAN muda terbaring di atas ranjang berseprai putih. Dia tidak sedang tidur sebab matanya yang bulat menatap ke depan dengan sorot penuh minat seolah ada sesuatu yang menarik di depan sana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Sekulum senyum semisterius Monalisa. Tangan kirinya menopang kepala. Sebagian rambutnya yang ikal panjang menjuntai ke depan dan menutupi sebagian dada sebelah kanan. Sebagian lainnya ditutupi bantal yang ia peluk dan ia kepit di dengan paha. Dalam keadaan seperti itu, tidak terlihat dia memakai pakaian dalam atau tidak. Hanya dia sendiri yang tahu, atau orang yang telah mengabadikannya dalam lukisan itu.

[Source]:
(3d3961ba367444c954523814cde9ccf1--modern-artists-art-paintings.jpg)

Sering aku membayangkan ada beberapa orang lain di depan perempuan itu dan sering pula aku tersiksa dengan pikiranku itu. Aku bertanya kepada diri sendiri, apakah ketersiksaan itu lahir karena rasa cinta atau dorongan keegoisan seorang lelaki yang tidak ingin orang lain menikmati perempuan yang bisa dianggap sebagai kekasihnya. Ketika mendapati diriku sedang cemburu, aku mengingatkan diri bahwa rasa itu tidak boleh muncul. Pertama, di antara kami tidak ada apa-apa, atau belum ada apa-apa meski tanpa deklarasi kami sudah bisa disebut sepasang kekasih. Dia memanggilku “om” karena sahabatku adalah adik ibunya. Kedua, aku sudah beristri dan mempunyai dua anak. Cemburu sudah menjadi bagian masa lalu, sekarang saatnya membangun karir untuk masa depan diri dan keluarga, syukur-syukur bermanfaat bagi orang lain. Terakhir, lukisan itu adalah bagian dari masa lalunya sehingga bila ia akhirnya menjadi milikku, aku tetap tidak bisa mencemburui sebuah masa di mana aku belum hadir dalam kehidupannya.

Telepon yang berdering mengingatkanku bahwa inilah saat terakhirku bersama lukisan cat minyak itu. Aku sudah tahu siapa yang memanggil tanpa harus melihat nama yang tertera di layar. Waktu dan hatiku yang memberitahukan identitas penelepon.

“Yaa…?”

Hanya tersisa dua jam sebelum hari berganti. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan kebersamaanku dengan lukisan itu.

“Om sedang bersamanya?”

Seminggu sudah aku tidak mendengar suara itu. Dia melarangku menghubunginya setelah hubungan kami penuh dengan pertentangan dalam beberapa pekan terakhir. Kami bersitegang mulai dari masalah sepele sampai serius. Kemudian muncul gagasan darinya agar kami tidak saling berkomunikasi selama seminggu. Ia mengistilahkan “hibernasi” untuk masa sepekan puasa komunikasi kami. Dia tidak mengatakan apa yang harus kami lakukan selama itu. Aku yakin ia ingin kami memanfaatkan masa itu untuk saling introspeksi.

“Aku tak yakin bisa bertahan sampai seminggu.”

Selama empat bulan kedekatan kami, memang tak ada hari yang kulewati tanpa berkomunikasi dengannya. Kadang dia yang mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkanku melakukan kegiatan rutin yang tak mungkin kulupakan seperti makan siang. Dia jarang mengingatkan untuk sarapan mungkin karena bisa memastikan aku sedang bersama keluarga. Tiga bulan pertama kami lewati penuh kemesraan meskipun hanya lewat pesan singkat, BBM, YM, atau telepon. Tiga kali pertemuan juga kami habiskan dengan kemesraan seperti sepasang remaja yang sedang jatuh cinta pertama untuk pertama kali dalam hidup mereka. Namun, tiga pekan dalam bulan keempat kami habiskan seperti sepasang suami istri menjelang perceraian mereka. Hubungan kami sedang memasuki masa krusial karena kami sudah membicarakan hal serius yang semuanya bertentangan dengan kenyataan yang ada. Dia menganggapku sebagai calon suaminya, tetapi aku belum meresponnya kendati tidak mempermasalahkan sebutan itu.

“Seminggu takkan lama. Dengan kesibukan Om di kantor, waktu seminggu seperti sehari.”

Aku memang sibuk sejak mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kesibukan itulah yang kemudian membuat kami bisa berjumpa. Dalam empat bulan terakhir, aku selalu mendapat tugas ke Jakarta sehingga kami bisa bertemu. Bahkan, selama sebulan terakhir aku harus tinggal di Jakarta untuk mengikuti pembekalan menjadi manajer kantor cabang di daerah. Kami pun melakukan pertemuan keempat, kelima, keenam, dan seterusnya. Mulanya kupikir kedekatan akan membuat hubungan kami semakin mesra, ternyata kami harus berhibernasi untuk membuat kami bisa melewati hari-hari manis seperti dulu.

“Aku takkan mampu. Jangankan seminggu, sehari pun takkan sanggup. Kamu lupa, selama ini kita tak pernah tidak berkomunikasi meski hanya sehari.”

Dia tersenyum tipis, persis seperti senyum dalam lukisan yang waktu itu aku belum melihatnya. Aku harus mengakui dirinya kadang lebih dewasa dibandingkan diriku meski usia kami terpaut 18 tahun. Meski dia juga harus mengakui terkadang ia lebih kekanakan dibandingkan Saskia, putri keduaku yang masih berumur 10 tahun.

“Begini saja,” dia akhirnya memustuskan. “Sekarang Om pulang saja ke apartemen. Nanti aku akan mengirimkan sesuatu yang…” dia mengedikkan bahunya, “mungkin bisa Om jadikan obat ketika kangen. Bila ada pertanyaan tentang itu, simpan saja sampai kita bertemu seminggu kemudian. Apa yang kukirimkan, akan menguak semua masa laluku.”

Akhirnya lukisan itu yang datang diantar seorang supir taksi ke apartemenku. Berukuran 77 x 53 sentimeter dan kupastikan tidak lebih tidak kurang. Di tengah kegundahan hati menahan rindu, aku mengambil meteran dan mengukurnya. Itu kulakukan berkali-kali meski aku yakin sudah mendapatkan angka akurat pada pengukuran pertama.

“Kamu benar, aku memang sedang bersama lukisan ini,” sahutku kemudian. “Selama seminggu ini selalu bersamanya. Bahkan sampai kubawa tidur.”

Aku tidak bohong soal itu. Lukisan separuh tubuh itu aku letakkan di sisiku ketika tidur. Ketika kerinduanku kian memuncak sehingga aku tergoda untuk melanggar kesepakatan kami, aku pernah meletakkannya di dalam kamar mandi dan memandangnya tanpa henti saat duduk di kloset. Tiga kali aku melakukan itu dan berjanji akan mengatakan kepadanya pada saat yang tepat dalam kebersamaan kami, tidak saat makan malam atau minum kopi.

“Sudah kuduga Om akan bawa tidur. Bahkan aku menduga Om bawa ke kamar mandi dan main sabun di sana,” dia tertawa di ujung kalimatnya. Dia benar untuk satu hal tetapi salah untuk hal yang lain.

“Aku penasaran dengan lukisan itu.”

“Aku juga tahu itu. Sekarang aku menunggu Om di tempat biasa.”

Kami biasa bertemu di sebuah kafe yang buka 24 jam. Tempat itu menjadi pilihan karena dekat apartemenku dan tak jauh dari tempat tinggalnya. Kami biasa duduk mengobrol di sana sampai hari berganti tanpa perlu khawatir akan diperingatkan pelayan. Kalau ada film bagus, kami tinggal jalan kaki ke Taman Ismail Marzuki. Oh ya, aku ingat sekarang. Acara menonton di sana yang membuat kami bersitegang untuk pertama kalinya ketika dia mengenalkan sejumlah teman senimannya kepadaku. Gayanya yang main peluk dan cium dengan teman seniman lelakinya, menurutku tidak pantas karena aku belum mengenal mereka. “Di belakangku saja kamu tak pantas melakukannya, apalagi di depanku.”

Malam itu kami lewati dengan pertengkaran dengan emosi tertahan agar tidak mengganggu penonton di sekitar kami. Untuk pertama kalinya aku melewati film bagus dengan suasana hati yang buruk. Ketika kami berpisah, dia berkata; “Didiklah aku dengan penuh kesabaran. Banyak perbedaan di antara kita, tapi jangan sampai perbedaan itu kita selesaikan dengan pertengkaran.”

Aku merasa dia sangat dewasa ketika mengucapkan itu dan merasa ia sangat kekananan ketika marah-marah karena pesannya terlambat kurespon di tengah kesibukan bekerja. Setelah kejadian malam itu kami sempat beberapa kali menonton di sana dan dia mulai menjaga sikap. Kalau ada waktu, aku mengajaknya menonton di tempat yang lebih terkemuka agar semakin kecil kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya dan mengenalku.

Dia sudah duduk di sana ketika aku tiba dengan lukisan dalam sarung kain hitam. Duduk di dekat dinding kaca, matanya memandang ke luar, ke arah kolam renang yang sedang kosong. Dia pernah berenang di tempat itu, dan aku duduk memandangnya dari sofa yang kini ia gunakannya. Waktu itu ia mengajakku berenang. Aku menolak karena tidak bisa berenang dan dia tak percaya. Kami bertengkar soal itu karena dia menganggapku menyembunyikan hubungan kami dengan menolak ajakannya berenang.

“Aku ingin siapa pun yang melihat kita bukan suatu masalah karena Om calon suamiku. Aku tak ingin hubungan kita dibatasi pandangan manusia, kecuali pandangan Tuhan. Tak ada yang melanggar agama yang kita lakukan selama ini.”

Kalimat terakhirnya benar. Kami tidak pernah melakukan kontak fisik yang terlalu jauh. Bahkan memegang tangan dan mencium pipinya pun kulakukan atas kesepakatan bersama. Aku juga benar ketika mengatakan tidak bisa berenang. Dia tidak percaya karena sudah pernah mendengar kisah penyelamatanku dari gelombang tsunami. Padahal, aku tidak pernah mengatakan aku selamat karena bisa berenang karena kenyataannya banyak marinir meninggal meski kemampuan berenang mereka satu “klik” di bawah ikan.

Dia tersenyum menyambut kedatanganku. Agar bisa mencium pipinya dengan leluasa, aku meletakkan lukisan itu di dinding kaca. Aroma tubuhnya terasa melekat di pucuk hidungku. Begitu hafalnya aku dengan aroma itu sehingga seperti bisa melihatnya. Sekian menit kami habiskan waktu untuk memesan makanan sebelum dia mempersilakan aku mengajukan pertanyaan. Aku boleh bertanya tentang apa saja, tetapi dia bisa tidak menjawab daripada harus berbohong. “Kalau Om mau menjawabnya dengan berbagai dugaan dan itu membuat Om tersiksa, itu tanggungjawab Om sendiri.”

Aku tersenyum sambil menyentuh punggung tangan kirinya dengan tangan kananku. “Kita makan dulu, ya?”

Dia sepakat. “Setelah itu, baru Om tanya-tanya?”

Aku kembali tersenyum dan kembali menggeleng. “Setelah itu, kita mungkin akan jalan-jalan ke pantai kalau kamu mau.”

“Tengah malam begini?”

“Kalau kamu mau….”

Dia mengangguk kuat sambil tersenyum lebar. “Om akan tanya sambil jalan-jalan di pantai?”

Lagi-lagi menggeleng, lagi-lagi tersenyum. Aku sudah memutuskan untuk tidak bertanya tentang lukisan itu sambil jalan-jalan, sambil makan, atau sambil apapun. Aku hanya ingin mengajaknya jalan-jalan untuk menunjukkan langkah-langkahku yang selalu terayun ke depan, sebagaimana kehidupan yang terus bergulir dengan atau tanpa perempuan itu di sisiku.***

Jakarta – Aceh, Pebruari 2011

Sort:  

Saya sangat suka sama perempuan dalam lukisan itu, kirem no ho kalau ada bang @ayijufridar

Perempuan dalam lukisan itu benar adanya @yahqan. Barangkali tidak sama cantiknya, tapi tetap cantik. Saya beberapa kali berjumpa dengannya di Jakarta. Kisah ini di beberapa bagian juga nyata adanya. Begitulah sebuah kisah fiksi diangkat yang berawal dari kisah nyata. Kisah fiksi yang menarik adalah gabungan kisah fiksi dan nyata.

Apakah @yahqan sepakat kisah cintanya kita angkat ke sebuah novel atau beberapa cerpen? Saya pikir akan banyak yang tertarik mengingat @yahqan adalah seorang Don Juan.

pasti. apa lagi kalau ada penambahan tokoh @yahqan sebagai pria pecinta perempuan itu di sana

Please don't underestimate for our kokoronotomo PYM @yahqan. As the most a handsome men in the world, every women will be falling in love for him. Someday, @yahqan look like Don Juan de Marco.

I talk about @yahqan without translate of stupid machine anymore. Day by day, our English is more very well. Nyoe meunan?

Membaca tulisan ini saya jadi ungat dengan judul lagu lawas yabg di nyanyikan sama God Bles ... apa kaitannya dgn lagu tersebut ..?

Tidak ada kaitannya @steem77. Ini tentang sebuah pengalaman dengan lukisan.

postingan yang mantap bg @ayijufridar. khawatir ada yang buat dengan judul lukisan dalam perempuan. sepertinga seru ni kalo kita buat semacam meet-up khusus blajar mnulis cerpen atau sejenisnya.

Naah, ini ide menarik @jondahl. Kita bisa buat meet up dengan berbagai tema sesuai minat masing-masing komunitas. Pakat that lon nyan...

Kalimat terakhirnya benar. Kami tidak pernah melakukan kontak fisik yang terlalu jauh. Bahkan memegang tangan dan mencium pipinya pun kulakukan atas kesepakatan bersama. Aku juga benar ketika mengatakan tidak bisa berenang. Dia tidak percaya karena sudah pernah mendengar kisah penyelamatanku dari gelombang tsunami. Padahal, aku tidak pernah mengatakan aku selamat karena bisa berenang karena kenyataannya banyak marinir meninggal meski kemampuan berenang mereka satu “klik” di bawah ikan.( terimaksih saya harus banyak belajar lagi untuk merangkai kata. luar biasa senior). salam steemit.

Terima kasih @ilyasismail. Keep spirit...

cerpen itu lazimnya fiksi @ilyasismail tapi yg ini sy yakin diangkat dari pengalaman pribadi penulis. kiban bak gata?

saya terhipnotis dengan tulisan ini dan ingin baca terus

Kalau jumpa langsung dengan perempuan dalam lukisan itu @agamsaia pasti lupa caranya berkedip.

Perempuan yg cntik bukan ???

Pastilah @atta09. Wajah dan hatinya tiada beda.

Mantap ceritanya bg.
Heheheh

Mantap bang.. @ayijufridar 👍👍👍

Saya sangat menyukai tulisannya bg @ayijufridar.
Ikut terbawa arus cerita.

Terbawa arus cerita tidak berbahaya @amryksr. Terbawa arus krueng Cunda, itu yang bahaya, hehehehehe. Trims.

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.13
JST 0.033
BTC 62772.18
ETH 3032.07
USDT 1.00
SBD 3.67