Pasal Rahasia : A Fiction

in #fiction6 years ago


sumber

“Nyesal aku,” ucap Sabri

Aku menolehnya, “sama!” balasku

Kami berbincang-bincang soal kesemrawutan yang sedang bergejolak di bumi kami, di mana setiap orang ingin mendapatkan sebuah ‘pengakuan’. Padahal itu hanya sebagian orang-orang dungu yang tak perlu tahu dengan amanah.

“Huh!” aku mendesah.
Sabri tersenyum kecil sambil mengelak debu.

“Aku juga bingung, Aiyub,” katanya.
“Aku lebih-lebih lagi.”

Setelah lima belas menit berjalan, kami sampai di pos jaga. Di situ sudah ada sejumlah pengamat politik kelas kacangan.

“Dari mana kalian?” tanya Ridwan sambil merapikan rambut tipisnya.
“Dari lapangan kampung sebelah,” Sabri menjawab.

Ridwan adalah kacung salah seorang kandidat. Perangai buruknya cukup membuat sebagian orang gundah dan sebagian lagi setuju dengan sikapnya yang terbilang aneh. Sekalipun demikian, dia menjadi ikon penting di kampung saat pemilihan anggota dewan. Lelaki itu sering dipercaya sebagai preman baju hansip alias penjaga TPS. Tahun lalu, di saat baru pertama ia kenakan baju hijau kebanggaannya, sombongnya bukan main. Biar mulutnya tidak melebar, kami akhirnya singgah di pos itu. Ridwan menyodorkan sebungkus rokok yang masih utuh.

“Jangan sungkan, embat saja.”
“Sebentar lagi aku kenakan baju hijau itu. Kau tahu?” Katanya penuh bangga.

Kami mengangguk. Dia tersenyum menampakkan gigi depannya yang tinggal setengah akibat terjatuh dari pos jaga beberapa hari lalu. Aku sering menghindar kala berpas-pasan dengannya, itu kulakukan karena sudah kesal dengan wataknya yang keras ditambah lagi dia kerap membanggakan diri dengan baju linmas yang nanti ia kenakan. Sekali waktu, aku berdebat soal partai. Rupanya dia terpancing,wajahnya merah saat mengetahui aku tidak sependapat dengannya, dengan lantang dia membela partai itu habis-habisan seperti membela kekasihnya yang sedang diganggu orang.

Duduk, berdiri kadang dia gemetar. Aku memilih diam saja waktu itu, kuatir kalau tinjunya melayang ke mukaku, dan itu pernah dialami Sabri.

Kami hanya terdiam. Ridwan mulai berkampanye di pos jaga itu, menurutnya, bila calon itu menang dia akan diangkat menjadi pesuruh di kantor Camat Langa, dan dia akan menjadi orang hebat di saat mengenakan seragam berwarna kuning. Mulutnya tidak berhenti sebelum ada yang mengangguk, ini tugas sekondannya dan kami yang sedari tadi ingin menyumpal mulutnya dengan bungkus rokok.

Kami pura-pura mengangguk. Ridwan tersenyum bangga. Aku beranjak pulang. Ridwan tinggal sendiri bersama sekondanya dan beberapa orang yang ingin menjadi anak buahnya. Di kala kakiku melangkah masuk pekarangan rumah, tiba-tiba lewat serombongan orang dengan kain dibebat di kepala. Mereka berteriak-teriak, “Menang!”. Aku berdiri, sekumpulan debu terbang mulus ke arahku, rombongan itu tertawa terbahak-bahak seakan yang baru saja terjadi menjadi sebuah bukti bahwa mereka memang pemenang.


Jadwal pemungutan suara tinggal seminggu lagi. Salah satu calon muncul di kampung kami memberi janji-janji menjijikkan, “Saudara-saudara. Hari ini kita telah kalah baik dari segi hukum, ekonomi dan sosial. Hal itu disebabkan oleh keganjilan pemimpin sekarang yang tidak tahu adat, tidak tahu cara mengelola daerah.”

Di atas panggung calon itu mengumpat habis-habisan lawannya, kumisnya yang tebal naik turun sesekali ia usap manakala kehabisan kata-kata. Orang-orang mengangguk dan disambut gemuruh tepuk tangan yang menyamarkan suara azan asar.

“Aku tidak percaya,” bisikku kepada Sabri.
“Mengapa?”
“Karena dia tukang bohong. Lihat saja gaya bicaranya, nampak sekali seperti penyamun.”
“Belum tentu.”
“Pasti,” balasku.

Aku menoleh ke belakang. Ridwan mengangguk-ngangguk seakan paham benar apa yang dikatakan oleh calon dewan itu. Aku memerhatikannya beberapa saat. Tingkahnya makin aneh, tangan pendeknya mencolek salah seorang perempuan di keramaian itu. Lantas, perempuan montok itu menamparnya, dia menyeringai dan mundur beberapa langkah. Ridwan terkesiap karena menginjak kotoran hewan. Dia lihat depan belakang, tidak ada yang melihat. Aku tersenyum.

“Rasain kau hansip tengik,” kataku geram.

Kicauan calon dewan terhormat itu pun usai. Mataku masih tersorot ke Ridwan yang sedang berlari menuju panggung, menciumi tangan si calon yang terlihat gagah. Dia tersenyum bangga sambil mengangguk-ngangguk. Simpatisan mengerumuni para calon anggota dewan itu. Di sela-sela gegap gempita, aku mendengar, “Tolonglah kampung kami. Bangunlah sarana transportasi. Itu saja keinginan kami.”

Mereka mengangguk, tersenyum. Setelah menyerahkan beberapa bola kaki murahan, calon yang dikawal beberapa orang yang bertubuh besar beranjak pergi dengan mobil yang dipenuhi gambar tak jelas.


Minggu demokratis tiba. Ridwan bersama rekannya menenteng kotak bertuliskan KPU. Pentungan digantung di tali pinggangnya. Sepanjang jalan dia tersenyum senang sementara masyarakat sudah berkumpul di menasah. Mereka duduk tak tenang seperti orang bingung barangkali memikirkan mana yang harus mereka pilih. Karena di setiap mulut calon dewan itu menawarkan harapan yang lebih baik.

Aku dan Sabri duduk di bangku yang sudah disediakan oleh petugas sambil memperhatikan tingkah Ridwan yang gegabah. Satu persatu nama pemilih dipanggil oleh panitia. Masuk dengan takzim. Tersenyum di saat tirai itu dibuka. Entah siapa yang mereka pilih, hanya Tuhan dan dirinya yang tahu.

Saatnya namaku dipanggil. Sejurus kemudian aku beranjak masuk ke dalam, membolak-balikkan kertas suara. Tak ada yang membuatku nyakin soal siapa yang pantas. “Semua sama, tak beda dari anggota dewan dulu yang suka berleha-leha ke luar negeri” aku bergumam. Akhirnya kuputuskan diam, tanganku ikut-ikutan setuju dengan suara hati.

Aku keluar sambil pura-pura tersenyum.

“Siapa yang kau pilih?” tanya Sabri.
“Rahasia. Hehehe”

Nama Sabri pun dipanggil. Kurasa kawanku itu juga sama karena sedari dulu kami tidak tertarik dengan para calon-calon pembohong itu. Tidak ada kharisma, tidak ada aura yang menyakinkan kami.

Dia juga tersenyum, terlihat kepura-puraannya.

“Kau berdiri saja di dalam,” cetusku

Dia tersenyum.

Ridwan mengambil pentungan, menepuk-nepuk di telapak tangannya, berkeliling TPS sambil menampakkan wajah garang bak seorang tentara yang sedang mengawasi tawanan perang. Brukk...aku terkejut bukan main, ketika hidung peseknya muncul di hadapanku.

“Kau coblos siapa tadi, Yub?”
“Rahasia.”
“Ayo siapa? Kau coblos calon kebanggaanku, betul?”
“Rahasia.”
“Ah. Payah kau! Cepat sebelum kupatahkan hidungmu dengan pentungan ini,” dia membentak sambil menepuk bentungan di telapak tangan kasarnya.
“Sudah kubilang itu rahasia.”
“Brak!!!”

Aku menangkis. Pentungan itu masih ia genggam, sesekali meloncat-loncat seperti petarung handal sambil mengacak-ngacak benda keras itu di depanku, aku sudah siap dengan kuda-kuda. Mengacak lagi aku mengelak, dia mundur selangkah hendak mengatur jurus maut, mendekat lagi, kali ini dengan penuh kekuatan, benda keras itu melayang di atas kepalaku. Aku menunduk, mencoba menghindar, dia mundur lagi yang pada akhirnya dia terpeleset. Mulutnya berdarah, giginya yang tinggal setengah itu mungkin sudah terlihat akar. Suasana riuh, panitia menghentikan pemilihan. Aku masih ingin melumat mukanya, tapi urung di saat panitia meleraikan kami. Ia bangun, kedua matanya menatapku penuh nanar, membiarkan darah mengalir hingga mengenai baju hijau kebanggaannya itu.

Sabri merangkul tubuhku erat-erat, berkata “Cukup!!!”. Setelah kami dileraikan, Sabri mengantarkanku pulang. Selepas itu tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi di sana. Jelasnya Ridwan masih menyimpan dendam dengan pasal ‘rahasia’.

Sorenya aku kembali ke meunasah untuk menyaksikan siapa yang jadi pemenang. Banyak suara yang rusak bahkan ada yang kosong. Ternyata pasangan Calon kebanggaan Ridwan kalah telak. Dia makin berang, kembali menatapku penuh nanar. Aku membalas tatapan yang menantang.

Sesudah asar, aku dan Ridwan dipanggil oleh Tuha Peut. Mereka ingin mendamaikan kami. Aku setuju, Ridwan mengangguk tak mengucapkan sepatah katapun. Tatapannya seakan ingin merobek dadaku. Tak sedikitpun aku gentar.

“Ini bukan persoalan yang harus membuat kita bertengkar. Ini pemilihan damai, siapa yang menang dan yang kalah harus diterima dengan lapang dada. Apalagi kalian bukan Calon. Kalian hanya pendukung, terserah siapa yang ingin kalian dukung,” ucap Teuku Bakar.

Aku melirik ke arah Ridwan. Dia tertunduk seakan dendam kesumat memenuhi pikirannya. Kami berdua bersalaman sebagai tanda tidak ada lagi permasalahan di antara kami. Namun, sorot matanya masih menyimpan kebencian, dia meremas tanganku, aku menahannya dan terlepas di saat Teuku Bakar pura-pura batuk.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Cerita fiksi yang bagus bang, alurnya sangat keren. Bahasa yang mudah dipahami. Baru tau abg seorang penulis fiksi yang hebat..hehee... 😁

lagi belajar @moexyin19. terima kasih

Congratulations! Posting anda masuk peringkat 9 kategori Tulisan Dengan Bayaran Terbanyak, di 10 Besar Tulisan Hari Ini di https://steemit.com/peringkat/@puncakbukit/10-besar-tulisan-hari-ini-rabu-25-april-2018 .. 😋

walau fiksi tapi sarat dengan makna yang misterius, saya pun tak bisa menganalisa tentang fiksi ini, dan saya pun tertegun apa di balik fiksi ini, kayaknya harus memiliki intelijensi tinggi biar tau kemana arah fiksi ini... salut saya buat bang @abduhawab

gak juga, ini fiksi orang yang baru belajar menulis. Jdi maklum aja, kalau ada makna dan plot yang kurang kena

hehehe, bagi saya tulisan ini sudah bagus cara analisanya.

Luar biasa Abang lon bak menulis, mantap sukses terus bang😁😁😁👍

hehhe....masih amatir dani. terima kasih

jalan cerita yang menarik, meskipun hanya sebuah fiksi. tampilan post yang apik bikin nyaman bacanya bang @abduhawab

terima kasih....

Yaa.. Sebegitu filmisnya pesta demokrasi di negeri kita. Sekecil apapun levelnya, ia pasti membawa dampak buruk yang sangat sangat jahanam. Dari itu semua, saya terkekeh dengan penggalan kalimat di paragraf ini:

"Semua sama, tak beda dari anggota dewan dulu yang suka berleha-leha ke luar negeri” hehe

Saya kira kita sama setiap pesta demokrasi bergulir. Selalu menjadi orang-orang kalah, terserah siapapun yang kita pilih. Selamat beristirahat Abangda @abduhawab.. :)

Kita akui atau tidak fenomena itu kerap terjadi di saat saat menjelang pemilu. Tiap orang mengerahkan segenap upaya hingga menjadi fanatik pada orang yang didukung. Terima kasih sammy

Benar sekali Bang.. Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang tak terlalu fanatik akan hal tersebut. Salam.

Luar biasa , walau pun fiksi alur cerita ini sangat menyentuh dengan suasana menjelang 2019, beragam kejadian seolah - olah fiksi pasti terjadi di setiap musim pemilu bg @abduhawab..,

terima kasih @abughaisan83. Semoga tidak terjadi hal semacam itu nantinya....hehe

Hehehe benar sekali bg @abduhawab.. terimong geunaseh ka berkunjung bak blog lon tuan...

Intinya semua pendukung tak perlu gontok gontokan, karna siapapun yang menang pada akhirnya kita harus berjuang sendiri untuk mengepulkan asap dapur yang mulai tak ada api lagi. Namun tetap harus memilih pemimpin yang amanah, karena setiap kebijakan-kebijakannya sangat berpengaruh di setiap lini kehidupan. Damai itu indah pak @abduhawab

Betul sekali yenni. Yah, tapi tiap orang memiliki pandangan tersendiri terhadap siapa yang hendak dipilih, dan itu sah2 saja. Terima kasih banyak atas komentarnya

Siap pastinya dunk, jangan golput ya... Gunakan hak pilih sesuai hati nurani bukan upeti hihi... terimakasih kembali atas kunjungannya ya pak @abduhawab

Hehe, saya tak bisa lagi menahan tawa, saat giginya tinggal setengah, dan tampak akarnya, memang kalau soal menulis bang @abduhawab namber wannya, top abis !

heheh....masih belajar @midiagam. Terima kasih

Kami yang harus belajar dari bang @abduhawab, saya selalu menunggu postingan bang @abduhawab, karena banyak yang bisa saya ambil manfaat dari setiap postingannya bang @abduhawab

Terimakasih kembali bang @abduhawab

Pak @abduhawab ini Rizki yunanda Angkatan 2013, kunjungi akun saya pak @rizkiyunanda97

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 62907.89
ETH 3379.73
USDT 1.00
SBD 2.50