Nasir Sedang Sekarat

in #fiction5 years ago

bqww66ii56.png
sumber

Seminggu berselang, hujan mulai turun di kampung Keulayu, pasir yang dulu gerang berubah lembut dan padat, daun-daun yang mengering kembali basah juga air hujan sedang memenuhi saluran tambak di dekat rumahku dan menghayutkan tiap kotoran manusia ke muara. Di atas balai teduh, aku melihat beberapa uang koin muncul di depanku mengeluarkan warna putih bersih, aku turun dan memungutnya. Uang koin yang jatuh di saat musim kering tentu dengan mudah merengsek masuk ke dalam pasir yang menebal, maka di saat hujan turun benda berharga itu muncul kembali seperti harta karun yang tiba-tiba muncul ke permukaan bumi.

Tapi sayang, koin dengan satuan 200 rupiah itu tidak lagi berharga di negeri ini. Sekalipun sudah banyak terkumpul terpaksa dikoleksi buat anak cucu. Aku bingung sendiri kala memikirkan hal tersebut, negeri yang sedang sekarat sempat juga menggap diri paling hebat. Ah! Negeriku ini kadang-kadang memang aneh!

Aku masih duduk di balai teduh menunggu hujan reda. Di atas situ kedua mataku tersorot cepat ke arah tambak Haji Daud yang nyaris meluap, dan bila itu terjadi maka beliau tidak merasa rugi, karena sisa udang sudah duluan dijarah oleh para serdadu buduk itu. Pos yang seminggu lalu masih berdiri tegak kini mulai condong ke bawah, tak lama lagi tempat di mana Syeh Amad sering menghabiskan waktu itu akan mencium tanah, dan itu pasti. Penjaga dari dari Batak itu pun tak terlihat barangkali dia sudah angkat kaki dari Keulayu. Kincir air yang dulu berputar-putar kini sudah berkarat dan sedang menunggu remaja-remaja kampung menjarah buat dijual ke pembeli barang rongsokan.

Kini, sudah satu bulan lebih Haji Daud tidak mendermakan rezekinya, bisa saja harta benda beliau sudah dirampas oleh orang-orang biadab itu atau barangkali beliau sudah meninggalkan kampung buat menyelamatkan diri. Hujan makin lebat disertai angin kencang, daun rumbia yang tergeletak di samping rumah berterbangan kesana kemari. Aku beringsut ke belakang dan bersandar seraya memegang kedua lututku. Beberapa saat kemudian, angin berhenti tapi hujan masih saja lebat. Bila aku paksakan pergi ke rumah Nasir, maka aku akan basah kuyup.

Di dalam, nenek masih sibuk di dapur sementara kakek bersiap-siap pergi ke pasar Gergok buat membeli sepatu buatku. Dia berdiri di depan pintu, melihat hujan yang tak kunjung reda beliau masuk lagi ke dalam.Menjelang sore, hujan berhenti. Kakek mengambil sepeda reyotnya dan mengayuh, sebelum aku beranjak, aku menyempatkan diri melihat lelaki tua itu yang sedang bersusah payah melewati pasir yang masih lembab. Setelah kudorong sepeda itu berjalan sedikit cepat, Kakek menambahkan tenaganya sehingga pengayuh nyaris patah tatkala menaiki jembatan kayu lalu sekujur tubuhnya lenyap. Aku kembali melewati rumah Khadijah, tapi kali ini suasana sunyi senyap, anaknya yang berumur sepuluh tahun sedang asyik memainkan telurnya, sesekali tertawa dan berlari ke arah ibunya di saat melihatku. Nampaknya dia mewarisi sedikit banyak tabiat ayahnya; Midun. Ah! Lelaki adakala bertingkah seperti itu agar tidak disepelekan oleh perempuan. Aku tersenyum, Khadijah menangkup kedua bibirnya dan menunduk malu seakan kejadian seminggu lalu telah membuka topengnya.

Aku juga melewati kedai Midun, dia termenung seperti sedang mimikirkan nasibnya yang berantakan. Kedai dan rumah Khadijah hanya berjarak beberapa langkah, mudah saja gerak gerik lelaki cantoi ini terbaca. Barangkali kata-kata Khadijah telah membuat Midun hilang harga diri di depan oranng-orang kampung terlebih di depan Syeh Amad sang pengunjing sejati itu. Setelah melalui beberapa rumah penduduk aku sampai di rumah Nasir. Di atas bale terlihat ayahnya sedang sibuk memperbaiki jaring pukat. Ibunya, yang renta sibuk menumbuk pinang buat teman sirih. Mengetahui aku di bawah, Nasir turun dengan gerak perlahan, wajahnya pucat, kedua matanya lebih besar daripada biasanya, kami bersama-sama duduk di atas bangku di bawah rumah panggungnya.

“Sakit apa kau, Sir?” tanyaku
“Ah! Sakit biasa, tak lama lagi juga akan sembuh.”
“Rahman ada mampir kemari?”
“Tadi pagi dia disini dan baru saja dia pulang.”

Aku hanya menatap matanya yang sudah membesar dipenuhi noda kuning, jangkungnya naik turun seperti orang sedang bersusah payah menelan ludah.

“Dia bukan sakit biasa nak Tariq,” ketus Ibunya yang sedang mengunyah sirih.

Aku bingung, belum mengerti betul kalimat itu.

“Maksudnya, Sir?”
<“Ah, jangan kau dengarkan orang tua itu. Sangkanya macam-macam,”
Kondisinya sangat memprihatinkan, tubuhnya kian lemas bahkan dia susah menggerakkan dua tangannya.
“Sudah ke dokter,”
“Dokter?” kata ibunya sambil memuncratkan air sirih, “mereka hanya menipu orang miskin saja, seolah Tuhan menciptakan mereka hanya untuk menipu kita.”

Barangkali dia tidak percaya lagi dengan dokter, karena berkat pengalamannya di saat membawa ayahnya untuk mengobati penyakit borok ke rumah sakit Kabupaten. Hasil melaut dia habiskan buat biaya dokter, obat-obatan, dan ongkos pulang-balik ke rumah sakit, yang pada akhirnya borok itu tak kunjung sembuh. Sejak itu, mereka yang antimodern, tidak lagi percaya dengan dokter sekalipun itu saudaranya. Lalu, Nasir membawa ayahnya ke Lanjok, tempat seorang dukun menyembuhkan pasiennya. Tak lebih dua kali, borok itu lenyap dari punggung kaki ayahnya, makin kentallah kepercayaan mereka terhadap dukun.

Nasir berkisah ada seseorang yang benci kepadanya. Menurut dukun itu, Nasir telah disantet dengan perantara sebuah benda aneh yang ditanam dekat rumahnya. Akan tetapi letak benda itu masih misterius. Di tengah malam lelaki bermata juling ini meraung-raung semacam ada seseorang yang menakutinya. Sepanjang malam dia tidak bisa tidur nyenyak. Di saat batuk, bercak merah keluar dari mulutnya, dan bertambah kuatlah dugaan bahwa seseorang sedang mengatur hidupnya.

“Kata dukun, benda itu belum bisa dipindahkan karena belum kering,” katanya sambil menahan batuk.

Akalku tak bekerja sempurna kala itu, sangat susah diterima bahwa sebuah benda bisa membuat seseorang menderita seperti ini, benda macam apa itu? Ah! Itu kepercayaan orang-orang kuno, dan masyarakat Keulayu sedikit banyaknya telah berpengaruh akan hal-hal gaib murahan yang ditinggalkan nenek moyang kami.

Hari kian jauh, tak lama lagi azan magrib menggema. Aku minta diri setelah menyerahkan sebuah amplop. Nasir mengangguk seraya memintaku untuk mendoakannya. Kedua orang tua itu juga berkata hal yang sama. Padahal, aku sendiri jarang sembahnyang dan berdoa bagaimana Tuhan bisa menerima doaku untuknya. Masalah ini lagi-lagi membuatku bingung. Aku beranjak pulang. Kali ini aku menuruti kakek setelah melihat sepatu baru di atas meja makan. Nenek tersenyum tatkala melihat aku sedang mengenakan sarung, kupiah yang pernah kupakai di saat lebaran tahun lalu tersemat di atas kepalaku.

“Ini baru cucu nenek,” katanya memuji.
Aku melirik ke arah sepatu berwarna hitam, merek Att sambil membalas senyum nenek, dengan langkah gesit aku beranjak ke meunasah. Di situ terlihat Syeh Amad sedang duduk bersama Nek Kasim, pipinya bergulum-gulum mengunyah sirih. Nek Kasim masih sempat menggulung sebatang rokok nipah sembari menunggu azan usai. Di saat azan berkumandang, kedua lelaki ini seperti orang yang sangat patuh dengan perintah Tuhan. Tak ada kata-kata, begitu takzim menyimak tiap kalimat yang keluar dari toa menasah yang dipasang di bagian atas menasah.

Mereka tersenyum, dan bersama-sama beranjak ke bak untuk berwudhuk. Di dalam sembahyang pikiranku terbang entah kemana. Kala imam membaca ayat, hatiku mulai gaduh disertai bermacam kegiatan bermain di pikiranku. Di dalam sembahnyang, aku juga sempat memikirkan Nasir, Syarif dan beberapa kawanku lainnya. Pada rakaat kedua Aida mengambil alih seluruh pikiranku, jadi tak satupun ayat yang dibaca imam bisa kudengar dengan sempurna.

Setelah salam, aku bergegas pulang, tak peduli kakek sedang melirik langkahku yang tergopoh-gopoh itu. Nenek membuka pintu, dia kembali tersenyum mungkin dia berpikir aku sudah berubah. Menjadi orang yang taat sangat susah di usiaku yang hampir 20 tahun. Sesampainya aku di kamar baru teringat bahwa aku lupa mendoakan Nasir yang sedang sekarat!

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.29
TRX 0.12
JST 0.032
BTC 62989.29
ETH 3048.32
USDT 1.00
SBD 3.99