Gejolak itu Datang Lagi

in #fiction6 years ago

p0b7msg758.jpg
sumber
Tubuh sintal dara-dara Kelayu makin membuat jantungku riuh reda. Masih di Kedai Kelontong Madun. Mereka tertawa riang sembari memamerkan keelokan tubuh indahnya itu. Liukan tubuh-tubuh mereka yang sedari tadi melembambkan birahiku. Rabumah dan Aida, adalah gadis yang kuperhatikan mereka laksana sepasang magnet yang menarik kedua bola mataku. Rabumah yang sudah bisa dibayangkan kelakuan bejatnya itu makin terlihat bangga, tapi tetap saja ia terlihat anggun di mataku. Aku duduk di paling sudut kedai Midun, dengan itu aku bisa leluasa menikmati tiap irama tubuh mereka, mulai dari cara mereka berjongkok, duduk bersilang dan bergaya ala artis india, sungguh semua itu kian membuat kerongkonganku kering.Terdorong ingin menyaksikan lebih dekat lagi, aku dengan langkah gontai mendekati dara-dara aduhai itu. Madun memandangku begitu jeli seakan ada rasa cemburu kesumat di dalam hatinya. Itu kulihat di saat Aida berbicara denganku. Kemudian Khadijah istrinya ambil alih, memaksanya duduk di pojok kanan kedai kelontongnya, matanya melotot, tertunduk. Kali ini Khadijah hanya diam saja, tidak menegur Aida di saat menggodaku. Inilah saat-saat yang begitu menegangkan. Tangan Aida seakan tak mau diam mengelus tanganku yang berbulu, gejolak itu kian merambat saja. Dia tersenyum kepadaku seakan ingin mendapatkan lebih. Aku yang masih belum mengenal perempuan secara dekat akhirnya takluk dalam tatapannya.

Kenikmatan sentuhan itu menjalar ke dalam tubuhku diikuti matanya menari-nari sendu ke sekujur wajahku. Alamak!

“Eit…Jangan sampai kesitu” Khadijah menegur.

Aida tersenyum menggoda. Aku masih mau menikmati sentuhan lembutnya. Seperti halnya perempuan pesisir yang kerjanya mencari tiram di waduk dekat tambak, merendamkan setengah badannya di dalam air asin sampai beberapa jam. Tentu bisa dibayangkan kondisi kulit mereka. Tapi Rabumah dan Aida bukan dari kaum itu, mereka kerap menghindar kala ibu mereka mengajaknya dengan alasan kecantikan. Hidupnya yang, tak lantas membuat mereka urung mengurus penampilan, mereka semampu mungkin meniru gaya serupa anak-anak pejabat.

Sembari menikmati sentuhan Aida. Sekelompok lelaki gagah datang lengkap dengan seragam hitam. Aku terloncat seperti digigit kucing.

“Gadis jahannam. Kalian pikir ini Negara Texas?” salah seorang dari mereka membentak.

Sepatu kulitnya menghentak tanah berpasir, partikel kecil itu terbang lasak di atas permukaan sepatunya. Kumisnya terangkat.

Dara-dara itu pun bubar pasrah, tinggallah Madun dan istrinya. Aku beranjak ke depot Muslem. Kemudian sekelompok orang yang berjumlah lima orang itu beranjak ke warung kopi Bang Ja.

Syeh Amad yang sedari tadi bersuara keras, diam seketika. Mulut besarnya tertutup rapat, darah seakan berhenti. Aku mengamati orang-orang itu dari depot Muslem. Pikiranku menebak, apa yang akan terjadi. Tidak ada senjata, melainkan baju hitam yang berlambang benda langit itu tersemat rapi di atas kantong kembung. Setelah berbincang dengan penghuni kedai kopi itu. Secepat kilat mereka menghilang lewat pematang tambak.

Rombongan itu telah membuat Syeh Amad yang suka bersuara keras itu resah bukan kepalang. Lalu ia pun pulang dengan langkah lunglai. Beberapa jam berselang. Depot Muslem masih terbuka lebar. Lelaki itu masih menunggu langganannya membawa ikan. Suara gemuruh di kejauhan terdengar keras, menghancurkan kerikil-kerikil di jalanan berpasir. Suara yang serupa suara kereta api zaman dulu kian mendekat, lampunya tersorot tajam ke arah keda-kedai Keulayu. Tak lama kemudian truk yang akhirnya kutahu berwarna hitam kelabu itu berhenti mendadak. Satu per satu mereka yang berbadan tegap turun dengan gerak terlatih.

“Yang di dalam keluar semua!” teriak salah seorang dari mereka.

Aku yang masih di dalam bersama Muslem terkejut bukan main. Wajah Muslem terlihat begitu pucat sementara kakiku gemetar. Dengan sikap yang menakutkan kami keluar perlahan. Lengkap dengan senjata dan baju loreng bertambahlah kegarangan mereka, dengan begitu nyawa kami berada dalam cengkraman mereka.

“Cepat anjing, babi!” kata-kata kerasnya itu jelas terdengar di telingaku.

Kata-kata yang sangat kotor keluar dari mulut yang kotor pula. Aku pun bergabung ke dalam barisan yang berjumlah delapan orang. Nek Kasim kawan kakekku itu berdiri pas di tengah. Kuperhatikan, kakinya yang kurus itu bergetar kencang. Lantas, salah seorang manusia loreng itu mendekat dan menyepak kakinya sehingga membuat lelaki malang itu terjatuh.

“Bangun, anjing tua!” bentak manusia jahanam berloreng itu.

Dengan tertatih dia bangun sambil menyapu wajahnya yang dipenuhi debu. Di antara semua manusia malang, hanya aku saja yang masih di bawah umur. Lantas, tentara Republik itu melirik ke arahku dengan tatapan penuh nanar.

“Berapa usia kau, bocah tengik!” katanya dengan nada keras.

Aku menekur tanah sambil mendiamkan ketakutan. Ternyata diamku itu mengundang petaka, salah seorang dari mereka mendekatiku, mengangkat dagu lonjongku dengan laras senjata.

“Enam belas tahun, Pak” jawabku dengan nada gemetar.

Di bagian akhir barisan terlihat Bang Ja sedang berdiri tegak serupa anak sekolah yang sedang ikut latihan baris berbaris. Tak sedikit pun dia bergerak. Hanya mulutnya saja komat-kamit mengucapkan apa yang dia bisa. Lalu menunduk pasrah.

“Jongkok,” perintah opsir itu yang akhirnya kutahu namanya Suyoso.

Kami menjadi manusia penurut di hadapan mereka. Meletakkan tangan di belakang kepala. Seketika kami ditampar satu persatu sehingga sebagian dari kami terjatuh, tak terkecuali Nek Kasim yang usianya tujuh puluh tahun. Aku dan Muslem masih pada posisi yang sama.

“Asnawi, mana Asnawi!!” tanya Suyoso murka.

Semua diam. Pikiranku langsung buyar, ketakutan yang sedari tadi merajaiku dalam sekejab raib. Para serdadu picik itu tak kuanggap sebagai manusia-manusia gagah melainkan seperti anak kecil yang sedang bermain dengan senjata mainan mereka. Karena di saat nama Asnawi yang tak lain adalah nama Paman keluar dari mulut terkutuk mereka, aku memaksa diri berkata.

“Pamanku sudah pergi jauh!” kataku dengan suara keras hingga membuat orang-orang malang itu melihatku penuh getir.

Suyoso mendekat, menatapku lekat-lekat seakan ingin memastikan bahwa apa yang kukatakan tadi benar adanya.

“Kau ponokannya bocah tengik??”

Aku menggangguk lalu sebuah gumpalan mendarat mulus ke wajahku. Lantas salah seorang kawanya mencegah Suyoso, dia mundur dari hadapanku. Lantas, kawan Suyoso yang bertubuh kondet mendekati Bang Ja yang tubuhnya lebih tinggi darinya. Lalu bertanya tentang pamanku, Bang Ja pun menggeleng. Tangannya sigap menghantam wajah Bang Ja yang penuh dengan bekas jerawat itu. Dia masih diam. Singkatnya, hanya aku saja yang berani mengatakan kemana Paman pergi meski itu belum tentu benar adanya.

Setelah para serdadu terkutuk itu meneror mental kami. Mereka pun menghilang, meninggalkan debu pasir yang mengambang. Dari peristiwa itu, kutahu ternyata Paman adalah orang yang mereka cari. Dan ini pasti ada kaitannya dengan pemberontak di negeriku selama ini.

Muslem masuk ke depotnya, sementara yang lain masing-masing pulang ke rumah dengan langkah perlahan. Nek Kasim yang kakinya bisa kupastikan lebam pulang terseok-seok. Wajahnya yang pucat seakan menambah kegetiran hidupnya. Malam itu begitu menengangkan dan tak mudah terlupakan.

Aku berbaring di atas tikar lontar, meraibkan sejumbun kegetiran yang baru saja terjadi. Dengan keras aku berusaha memasukkan kembali wajah Aida dan Rabumah, menerka-nerka kemungkinan yang terjadi bila sepasukan berbenda langit itu tak muncul, memutarbalikkan kemungkinan itu dengan kenikmatan sentuhannya, berpaling sejenak ke tatapan sendunya, kemudian pikiranku loncat ke tubuhnya yang sintal itu. Aha! Sungguh rasa sakit di wajahku pupus seketika, menyeringai tenang tatkala bayang tubuh Aida menggelantung di pelupuk mataku, yang pada akhirnya gejolak itu datang lagi!

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Sampai hal sedetail ini "Sepatu kulitnya menghentak tanah berpasir, partikel kecil itu terbang lasak di atas permukaan sepatunya. Kumisnya terangkat." Tergambarkan dalam sebuah cerpen cukup pantas menjadi indikasi bahwa cerpen ini sangat sangat ajibbbb, Bang @abduhawab.. :)

hehe....terima kasih samy atas apresiasinya

Kaihan nek Kasim, ulah serdadu itu membuat jalan nek Kasim jadi terseok-seok. Tapi untunglah depot Muslem tidak rata dengan tanah, maksudnya tidak diobrak-abrik

ya, terima kasih midi telah singgah di cerita saya...

sama-sama bang @abduhawab,
Saya suka membaca kisah-kisah seperti ini, meski tadi sempat ngantuk beberapa kali, tapi endingnya ceritanya perfect.

Salut banget sama tulisannya bang @abduhawab, kata-katanya sempurna, banyak yang saya pelajari dari cerita malam ini😊

sama-sama bang @abduhawab,
Saya suka membaca kisah-kisah seperti ini, meski tadi sempat ngantuk beberapa kali, tapi endingnya ceritanya perfect.

Salut banget sama tulisannya bang @abduhawab, kata-katanya sempurna, banyak yang saya pelajari dari cerita malam ini😊

Jujur saya terkesan dengan literasi yang abg @abduhawab tuangkan malam ini.
Saya harus membaca beberapa kali untuk meresapi ceritanya.
Sangat menarik.saya menantikan kelanjutannya.
Apresiasi penuh buat abg
Terimakasih
Salam hangat

assalamualaikum.. salam kenal semua, saya baru bergabung di steemit mohon dukunganya

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 60930.55
ETH 2367.07
USDT 1.00
SBD 2.48