Education Short Story: Ingin Jadi Guru

in #fiction7 years ago


sumber

“Apa…ingin jadi guru..?,” balas ayahnya dengan nada keras.
“Betul Yah,” jawabnya.
“Gila, masa kamu mau jadi guru?”
“Ya, saya ingin jadi guru!”

Ayah dan ibunya pandang-memandang. Itu semacam petir membelah kepala mereka dan sama sekali tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Karena di saat menatap tajam-tajam mata Usman, anaknya itu, nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak tahu apa yang baru saja diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui bagaimana keluh kesah seorang guru.

Sambil menaruh koran, ayahnya berkata, “Usman, dengar ya, Nak. Ayah ingin bicara dengan kamu. Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu hanya jargon terpampang di jalan kumuh desa. Kita hidup di kota. Buka mata kamu, Usman!” Ayahnya melanjutkan, “Jadi guru tak lebih hanya buang umur. Lihat saja mana guru yang kaya. Tidak ada, hidup mereka tak ubahnya seperti belalalang tersebat arit, Usman!”
Mendengar kata-kata ayahnya Usman begitu terpukul. Pikirannya dengan mudah bisa menebak kalau orang tuanya sama sekali tidak mendukung cita-citanya itu.

“Aku tetap ingin menjadi guru, Yah,” dia membalas dengan kepala tertunduk.

Kemudian ayahnya kembali memperingatkannya dengan sedikit nada keras “Kenapa, kamu tetap ingin menjadi guru? Apa enggak ada cita-cita lain? Kamu tahu, hidup guru seperti apa? Guru itu hanya sepeda karatan. Ditawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang beli. Hidupnya kejepit. Hutang sana-sini. Tugas segunung, tapi pendapatan nol besar. Masa cita-cita kamu ingin menjadi guru, Man!”

Setelah telinganya memanas dia beranjak masuk kamar, sambil menggantikan seragamnya, hatinya bergumam.

“Keputusanku sudah bulat, aku tetap ingin menjadi guru. Masa bodoh dengan kata-kata ayah.” Dia merebahkan tubuh kurusnya di atas kasur empuk. Mata sipitnya menari-nari seraya berpikir tentang nasibnya kelak. Ah! Guru tidak miskin-miskin amat,” katanya dalam hati. Lantas dia menghadap lagi ayahnya.

“Sudah saya pikir masak-masak.”

Orang tuanya terkejut.

“Pikirkan sekali lagi! Ayah kasih waktu satu bulan!”

Dia menggeleng kepala “Dikasih waktu setahun pun hasilnya tetap sama. Saya ingin jadi guru. Keputusanku sudah bulat, Yah.”

“Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!”
Ibunya ngomel mendengar keputusan Usman. Kedua mereka saling menyalahkan. Menurut ayahnya, ibunya sudah salah didik, sehingga pikiran Usman beku seperti itu.

Setelah makan siang dia kembali menghadap orang tuanya yang sedang sibuk menyusun surat-surat berharga.

“Aku ingin jadi guru, Yah!”

Lembar-lembar surat itu melayang ke muka bulatnya. Usman berdiri tegap menyaksikan gejolak emosi ayahnya. Lantas Usman disemprot habis dengan kata-kata yang jelas mematahkan semangat dan impiannya.

“Usman! Kamu benar-benar terpengaruh dengan sanjungan orang-orang tak tahu diri itu. Guru pahlawan tanpa tanda jasa, berbakti pada nusa dan bangsa. Pemilik budi bersahaja. Alah! Itu kata-kata yang sangat menjijikkan, Usman!”

Ibunya yang sedang bersemangat menghancurkan cita-citanya kembali menyembur,”Kau lihat Man mana ada anak pejabat yang jadi guru. Mereka semua dikirim keluar negeri supaya kelak bisa mewarisi jabatan ayahnya. Kita bukan orang miskin, Usman!”

Ayahnya melirik seraya mengumpulkan kembali lembar-lembar surat yang berserakan. Dengan senyum sinis, ayahnya berkata, “Dengar kata ibumu.”

Tubuh Usman terasa beku. Pikirannya kosong betul. Matanya nampak awas mengamati gerak-gerik ayahnya.

“Kau paham, Nak,” kata ibunya melunak.

Usman mengangguk. Nasehat ibunya itu masuk akal juga, “Iya bu, Usman ngerti. Tapi apa salahnya sih jadi guru, apa guru itu profesi kriminal, guru itu pekerjaan yang mulia. Apa salahnya sih, Bu?”
Ibunya melotot tak percaya apa yang didengarnya. “Laptopnya simpan dulu, Yah. Biar Usman mikir lagi!” Sambil memasukkan laptop ke dalam tas, Ayahnya berkata “Saya kasih waktu empat bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup dan matimu sendiri.”

Ayah dan ibunya beranjak masuk kamar. Di kamar, ayah dan ibunya saling menyalahkan dan akhirnya menganggap jalan pikiran Usman tidak beres lagi.

“Mungkin dia pingin mobil. Ayah harus bekerja keras buat beliin dia mobil. Masak mau jadi guru. Bikin malu keluarga saja.”

“Ya, ayah sanggupi kalau memang itu keinginannya.”
Empat bulan begitu singkat. Usman tidak mengingatkan mereka dengan janji yang diberikan oleh ayah dan ibunya.
Di halaman rumahnya terlihat mobil yang tidak terlalu mewah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil juga, dengan bonus janji, kalau memang dia mengubah cita-citanya, jangankan mobil, segalanya akan saya serahkan, nanti.
Usman mengambil kunci mobil.

“Hadiah apa lagi, Yah?

Ayahnya tersenyum.

“Empat bulan Ayah rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi singkat saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?”

Usman menatap mata ayahnya dalam-dalam. Lalu menjawab,” Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?”
Kunci mobil yang sudah ada ditangannya direbut kembali.

“Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga, asalkan kamu mau berjanji kalau kau tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan kami sebagai orang tuamu. Anak tak tahu diri!”

Ayahnya menjatuhkan kunci mobil. Usman mengambilnya dan berkata, “Terima kasih, Yah. Ayah sudah memperhatikan saya. Dengan sungguh-sungguh, saya sangat hormat atas perhatian Ayah.”

Usman menarik tangan ayahnya, lalu mengembalikan kunci mobil itu.

“Maaf, saya ingin jadi guru.”

Wajah ayahnya kembali memerah mendengar keputusan Usman. Amarahnya kembali memuncak ingin menampar Usman. “Kebandelannya itu amat menjengkelkan, otaknya sudah rusak, untunglah saya bisa kontrol emosi”. Berkata ayahnya dalam hati sambil memasukkan kembali kunci mobil itu ke dalam kantong celana.

“Baiklah. Mulai sekarang uang sekolah ayah stop. Kamu harus mencoba bagaimana hidup mandiri sebelum menjadi guru. Kau harus merasakan penderitaan hidup ini sebelum menjadi guru. Semoga pahitnya hidup bisa mengajari kamu.”

Beberapa bulan berselang, ayahnya kembali bertanya, berharap pendirian Usman berubah.

“Mau jadi guru.”

Ketajaman perkataannya membuat ayahnya menganga. Sambil mengamati wajah putranya yang polos, tangannya melayang ke meja.

“Beraninya kau menentangku seperti itu! Jangan sampai aku memukulimu sampai mati!” kata Ayahnya histeris.
Dia pun dengan tegas menjawab “Seseorang yang ingin menjadi guru, harus berani!”

“Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru”
“Pokoknya saya ingin jadi guru.”
“Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru,” berkata ayahnya sambil menyuruh Usman menatap ayahnya.

Usman memandang ayahnya tajam.

“Ayah tidak akan bisa membunuh saya.”
“Tidak? Kenapa tidak?”
“Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasad seorang guru mungkin saja bisa busuk dan lenyap dimakan rayap-rayap tanah, tapi apa yang yang diajarkan kepada putra-putri bangsa tetap tertinggal abadi. Guru tidak bisa mati, Yah!”

Ayahnya nampak tercengang mendengar jawaban Usman yang begitu bijaksana.

“O...perempuan biadab itu??”
“Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati.”

Ayahnya bengong. Kata-kata bijak Usman membuat ayahnya gugup. Usman terdiam, matanya menari-nari ke lantai. Setelah itu dia beranjak ke kamar.Seminggu kemudian, Usman meninggalkan secarik kertas di atas meja. “Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru. Sertakan doamu dalam menggapai cita-citaku. Maafkan anakmu ini.”
Sepuluh tahun sudah berlalu. Orang tuanya sudah nampak begitu tua. Waktu telah menjelaskan segalanya, sehingga semuanya nampak berubah. Tiba-tiba ayahnya tersentak; tidak percaya manakala melihat sebuah poto pudar terpampang di balik lembar koran lokal. Seorang lelaki dewasa dengan jas dan dasi tertata rapi. Kacamata putih mengkilat dengan senyum terpancar menegaskan kewibawaan. Di bawahnya, terdapat kata-kata selamat atas dianugerahi Guru Besar di salah satu lembaga pendidikan bergengsi serta nama Prof. Dr. Usman Karim, M.Ed tercetak di bawah potonya yang gagah itu. Setetes airmata perlahan keluar dari kedua mata ayahnya dan berucap,” maafkan ayahmu, Nak!”

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Seseorang yang hebat, memiliki prinsip yang kuat untuk sesuatu hal dan tidak bisa di goyangkan,.

Tegas dalam memilih prinspi. Lelaki sejati harus sperti itu. Patut di contoh bang

Sekalipun pendek yang namun cerita ini, sangat membuat saya terharu dan sangat bermotivasi kepada semua orang, terimakasih telah berbagi bang @abduhawab, selamat menunaikan ibadah puasa 😊

sama2 @fadil94. Selamat menunaikan ibadah puasa

Menurut saya, profesi guru itu sungguh mulia, dulu memang kalau jadi guru itu, hidup kurang sejahtera, terutama dari segi finansial. Namun sekarang nggak seseram itu, banyak mereka hidupnya sejahtera yang jadi guru. Seperti tetangga saya, awalnya memang nasibnya terlunta-lunta, sekarang ahamdulillah dia hidup bahagia bersama istri dan dua buah hatinya, dan sekarang dia sudah diangkat jadi kepala sekolah. Jadi kita jangan terlalu menyudutkan profesi guru, dengan imej buruk.

Guru itu hebat.
Tetap semangat bang @abduhawab.
Salam sukses.

Terima kasih atas tambahannya @midiagam.

Seorang laki-laki semestinya memang memiliki prinsip seteguh Usman. Jadi berpiki, nama Prof itu hanya ada di Steemit atau memang ada di dunia nyata Bang @abduhawab? 🤔

Prof hanya di cerita saja, dan mungkin ada juga di luar sana dengan alur yang berbeda,hehe

Hehe.. Iya Bang @abduhawab.. Ceritanya seakan-akan mirip di dunia nyata. Dan hanya penulis-penulis yang tulisannya berpeluru yang bisa membuat pembacanya menerka-nerka demikian tentang tulisannya.. :)

You just received a Tier 0 upvote! Looking for bigger rewards? Click here and learn how to get them or visit us on Discord
If you would like to opt out of receiving comments reply with STOP

Hmm,, Prof. Dr. Usman Karim sosok yang penuh inspirasi, mampu membalikkan hati sekeras batu adakah sosok usman di zaman sekarang? Berharap suatu saat kelak murid bg @abduhawab menjadi penerus usman yang punya pendirian yang tak pernah goyah oleh berbagai rayuan. Sangat menggugah

Amin...Semoga saja, dan saya nyakin pasti ada. Karena semua itu terpulang kepada prinsip, karena dengan prinsip yang teguh kita akan mendulang kesuksesan. terima kasih atas doanya aris

Guru pahlawan tanpa jaaa, cerpen yang sangat bagus untuk diterapkandan memotivasi pada semua orang

Keputusan dan prinsip yang luar biasa.
Gur oh guru, karena engkau saya bisa menulis seperti ini.
Sudah lama tak membaca tulisan anda, sekali hadir buay mewek

karena keberhasilan kita tidak lepas dari prinsip yang teguh. Terima kasih @jubagarang

سبحان الله
benar2 memotivasi @abduhawab. semangat usman dalam cerita ini sangat menggelora dan saya suka kata2 bijak nya. Guru memang bukan profesi yg hebat tapi banyak orang hebat lahir berkat seorang guru. saya sangat suka tulisan ini

terima kasih telah membaca tulisan sederhana saya ini.

sama-sama @abduhawab saya senang membacanya

Coin Marketplace

STEEM 0.26
TRX 0.30
JST 0.046
BTC 100258.76
ETH 3911.40
USDT 1.00
SBD 3.60