Aku Sangat Takut...

in #fiction6 years ago

3x71x842jc.png
sumber

Aku masih duduk tak berdaya di atas balai teduh. Sementara Nasir membungkus diri dengan sarung akibat hawa dingin menyaruk tubuhnya, tak lama kemudian tubuhnya itu bergetar dahsyat seperti dirasuki makhluk halus. Aku memanggil ayahnya yang sedang berbaring, dia turun tergopoh-gopoh dan membawanya masuk. Seluruh tubuhnya pucat, darah seperti diserap habis oleh makhluk terkutuk itu. Di saat berbaring kedua lututnya susah diluruskan, tangannya bergerak-gerak seperti orang minta tolong. Ibunya melompat dan berlari mencari dukun di Keulayu Timur. Sejam kemudian seorang muncul, kedua jarinya memplintir ujung kumis yang menjalar nyaris menyentuh pipi. Matanya membesar di saat melihat Nasir yang hampir tak sadarkan diri. Dia duduk di belakang kepala Nasir, kedua tangannya mengelus-ngelus rambut Nasir disertai mulutnya komat-kamit membaca doa-doa yang tidak kumengerti tapi katanya bisa mengusir setan. Mata Nasir terbelalak melihat sang dukun yang sedang mengangguk-angguk bagai seekor itik yang kelaparan. Aku disuruh memegang ujung kaki Nasir sambil sesekali meluruskan pahanya. Sembarangan, air dari mulut dukun itu menyebar ke sekujur badannya dan ke mukaku. Kurang ajar betul ini dukun, hatiku merepet.

Beberapa saat kemudian Nasir kembali ke keadaan normal. Rupanya, dia tidak izinkan keluar rumah di saat malam, karena benda terkutuk itu akan merespon gerak angin yang menjurus ke arah pesakit. Mendengar itu, ayahnya menatapku beberapa lama, aku menunduk dan menyadari ini semua salahku. Nasir tersenyum kala melihatku masih bersamanya, seakan ini suatu pertanda lelaki itu harus tinggal di rumah selama waktu yang tidak bisa dipastikan. Ngeri juga penyakit ni!

Setelah dukun itu beranjak pulang, aku pamit, belum sampai kakiku menyentuh tanah suara derap langkah samar-samar terdengar dari halaman kedai kopi Sedap Malam. Aku perlahan kembali masuk dengan posisi belakang sambil mataku mengawasi arah suara derap langkah itu. Mendengar suara yang mulai jelas, Ayah Nasir buru memadamkan lampu minyak yang digantung di paling pojok, kami semua diam. Aku bangun menuju celah dinding. Dari situ aku bisa melihat beberapa tentara sedang menyuruh penghuni warung kopi itu berbaris. Kurasa Bang Him sedang ditimpa malapetaka, uang yang sudah dikumpulnya di meja itu sudah dirampas, maka bisa kubayangkan betapa sedihnya dia.

Di halaman warung itu sudah berbaris beberapa orang persis seperti yang kami lakukan di depan kedai Bang Ja setahun silam. Syamaun berdiri di tengah-tengah, kedua tangannya ditaruh di atas kepala. Bang Him tak begitu jelas terlihat karena dihalangi daun ceri di depan depotnya. Shaleh berada di paling ujung barisan, matanya sedang menyaksikan kursi plastik yang menghantam dapur kopi kesayangannya, bisa kupastikan hatinya berdarah-darah.

“Sir, kita pernah jumpa dengan aparat itu,” kataku berbisik.
“Yang mana? Yang di Kampung Mati itu,” jawabnya sambil menahan rasa sakit.
Aku mengangguk, “Aku nyakin itu mereka.”

Aku kembali ke tempat Nasir berbaring, tubuh kawanku itu kempes dan terjatuh kembali ke tikar. Aku bangun lagi, dan kembali mengintip melalui celah papan. Dari hasil tangkapan mataku, nampaklah jumlah manusia yang sedang menanti malapetaka itu sepuluh orang termasuk Bang Him.

“Kurang ajar, pejuang tai kucing. Kalau berani ayo kita berperang!” Salah seorang berteriak.

Syamaun dan yang lainnya menunduk lesu seperti sedang bersiap-siap untuk dipancung. Lalu, sebuah tamparan mendarat ke wajah mereka, beberapa saat kemudian disusul tendangan tepat di punggung mereka. Syamaun terjatuh, diikuti Shaleh dan yang lainnya masih menunduk.

“Ini gawat Sir, mereka sedang mengamuk di kedai Shaleh.”

Ayah Nasir bangkit dan bergabung denganku, dia ikut mengintip sesekali mendesah dan menggeleng.

“Perang memang seperti ini, Pak Cik!” kataku.

Dia masih menggeleng seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Mereka benar-benar mengamuk sehingga depot Bang Him ikut menjadi korban, api menyala melahap tiap papan rapuh, abu rumbia melayang-layang di udara dan menghilang dibawa angin. Bisa kurasakan kemarahan Bang Him yang amat dahsyat itu, tapi dia tidak berdaya selain menyaksikan gelora api yang sedang melahap sisa tiang depotnya, barangkali dia sudah teringat akan Tuhan!

Pukul 11 malam, peristiwa dramatis itu berakhir. Aparat yang bermarkas di Lanjok beranjak pergi menembusi hutan-hutan kecil di pinggir jalan menuju Kampung Mati. Aku buru-buru turun, ingin sekali kulihat wajah Bang Him yang sedang bermuram durja itu. Dia terduduk di atas tanah sambil memainkan batu domino dengan jemarinya, matanya begitu lekat tertancap ke tempat usahanya yang sudah lenyap itu, asap terbang meliuk-liuk dan menghilang. Shaleh tengah sibuk mengatur kursi, wajahnya melebam sesekali mengerinyit menahan rasa nyeri di punggung sementara Syamaun kerjanya hanya merepet, mencaci, mengutuk dan entah apa yang dikatakan, yang jelas punggungnya juga sangat sakit. Beberapa orang beranjak pulang dengan langkah terseok-seok.

Aku berdiri memegang stang sepeda, melihat para penjudi itu sedang menderita berdecak teguran Tuhan barangkali bisa membuat mereka berubah. Jangankan mereka yang berhadapan langsung dengan aparat buduk itu, aku yang melihat dari jauh juga ikut merasa takut. Takut karena bila mereka menggeledah rumah, dan mendapati kami sedang meringkuk di dalam, mungkin mereka akan melakukan hal serupa. Aku sangat takut bila kejadian ini terulang lagi.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63562.42
ETH 2649.15
USDT 1.00
SBD 2.77