Membeli 100 Buku dengan Tabungan Rp 1.000/Hari

Judul di atas mengesankan bahwa saya adalah seseorang yang hidup di dalam sebuah keluarga kaya, punya banyak uang, dan bisa membeli buku kapan saja dan berapa pun jumlah yang diinginkan.

Saya mulai membeli satu per satu dari 100 buku tersebut saat semester 5 kuliah, dengan uang saku dari orangtua saat itu hanya Rp 8.000. Bagaimana caranya?

Saat semester 1 saya diberi uang saku Rp 12.000. Dan IPK yang berhasil diraih adalah 3.00. Karena capaiannya bagus, nominalnya dinaikkan menjadi Rp 15.000/hari. Sementara IPK yang saya peroleh masih tetap sama.

Di semester 3, semuanya menjadi kacau. Saya sering telat masuk kuliah, jarang mengumpulkan tugas, dan berseteru dengan beberapa dosen. Kuliah bukan lagi menjadi fokus utama. Alhasil nilai saya anjlok ke 2.75. Dan orangtua saya segera menjatuhkan sanksi berupa pengurangan uang jajan di semester 4 menjadi Rp 7.000/hari. Ini sanksi yang cukup berat.

Pasalnya, saat itu harga bensin masih Rp 4.500/liter. Dan saya harus mengisi bensin setiap hari. Artinya uang yang bisa dipakai untuk jajan Rp 2.500. Uang “sebesar” itu membuat saya harus berpikir seribu kali untuk ikut nongkrong di kantin bersama teman-teman seperti biasa.

Dari sinilah saya mulai berubah. Saya mulai sering menghabiskan waktu seorang diri di ruang kelas saat teman-teman sedang beristirahat di kantin. Saya mulai belajar menulis dan banyak membaca buku serta artikel-artikel di koran. Saya hanya membeli tiga potong kue untuk dinikmati saat menulis. Harga sepotong kue Rp 500. Untuk minum, saya bawa air dari rumah. Lama-kelamaan saya mulai menikmatinya, sampai-sampai sering pulang jam lima sore saat kampus sudah betul-betul sepi.

Setelah membeli tiga potong kue, saya memiliki sisa jajan Rp 1.000. Sisa inilah yang kemudian saya tabung. Setiap hari begitu. Pada bulan pertama saya mengumpulkan Rp 30.000. Uang tersebut kemudian dipakai untuk membeli buku. Jika buku yang hendak dibeli selanjutnya harganya Rp 50.000, berarti saya harus menabung selama 50 hari. Sambil menunggu uangnya terkumpul, saya sibukkan diri dengan membaca buku yang dibeli sebelumnya sampai tuntas. Begitu terus selama dua tahun.

Memang jika dikalkulasi, tidak mungkin pola menabung tersebut dapat mengumpulkan 100 buku dalam 2 tahun. Tentu saja buku-buku tersebut tidak semuanya dibeli dengan tabungan Rp 1.000/hari.

Karena semester 4 saya jalani dengan baik, nilai naik. Uang jajan di semester 5 pun naik menjadi Rp 9.000/hari. Di semester 5, saya mulai disukai banyak dosen karena sering menulis di koran dan aktif di kelas. Di semester 5 inilah saya memperoleh beberapa beasiswa. Hampir 90% beasiswa-beasiswa tersebut saya pakai untuk memborong buku-buku yang dirasa penting untuk dimiliki. Di samping itu saya mulai mendapatkan beberapa job menulis yang honornya dipakai untuk membeli buku juga.

Hingga kemudian saya sadar bahwa saya mulai membutuhkan rak buku. Beberapa hari kemudian, seorang dosen yang mengaku selalu membaca tulisan saya di koran mengajak bergabung ke dalam sebuah tim peneliti. Honornya saat itu Rp 10.000.000. Dan durasi penelitian tersebut hanya dua bulan. Sebagian uang itulah yang kemudian saya pakai untuk membuat sebuah rak buku besar yang bisa memuat kira-kira 500 buku.