Dongeng Sang Pendaki: Setangkai Edelweiss untuk Airin

in #busy6 years ago (edited)

image.png
Image Source

Matanya berkaca, lalu luruh terdiam dalam tangis kekecewaan paling menyakitkan, tanpa suara, tubuhnya bergetar, bahunya terguncang. Lalu wajahnya tengadah menatap langit malam dalam remang rembulan hampir purnama. Bibirnya terkatup gemetar menahan pilu tangis, kilau pipinya dari air mata dan keringat yang tertimpa cahaya rembulan dalam simpuhnya. Perjuangan seharian sedari pagi tadi menempuh rimba berkabut, gerimis yang gigil dan terjalnya batuan lereng selatan Marapi hanya untuk menyongsong ketiadaan. Hampa dalam genangan sejuta tusukan belati kepiluan paling hening

text11.png

Paya Kumbuh-Bukit Tinggi 10 May 2018

Pengab asap rokok dan keringat penumpang bus yang penuh sesak membuatku pusing dan mual, kurapatkan bandana yang menutupi mulut dan hidungku sambil membuka jendela bus yang memang tidak ber-ac. Aku menatap keluar, fikiranku menerawang jauh ke masa setahun lalu. Bus tua ini terseok melaju di jalanan berkelok membawaku dari terminal Paya Kumbuh menuju Bukit Tinggi. Kadang miring ke kiri kadang ke kanan. Sebenarnya Bukit Tinggi bukanlah tujuan akhirku, aku tidak tertarik dengan jam gadang dan muda mudi yang sering berkumpul serta bercengkrama di sana. Mentari yang cerah di luar bus, membuat udara lebih pengab. Kuarahkan pandangan ke arah perbukitan disebelah kanan jalan, netraku menembus kerapatan hutan dan terjalnya tebing yang menjulang, terus melesat jauh menembus segala apa dan negeri entah lalu hinggap dengan kokoh di lereng selatan Marapi.

...

Hening dan dingin, kabut mulai tebal dan angin kencang melibas segala makhluk yang ada di lereng berbatu menuju puncak Marapi. Ini memang bukan musim pendakian, hanya ada beberapa pendaki iseng yang sempat bertuka sapar sepanjang jalur pendakian tadi. Entah kenapa jiwa ramah dan santun selalu hadir ketika aku berada di alam liar seperti ini, tak perduli siapa, setiap berpapasan dengan pendaki lain selalu saja sapa ramah dan senyum tulus akan saling berterbangan tanpa komando. Tidak terpikir olehku atau malah takdir yang membawaku kemari ketika kabut tebal seperti ini turun. Adalah hal paling konyol untuk berada disini dengan jaket monja tipis lusuh yang sudah 6 bulan tidak bercumbu dengan air dan sabun. Mungkin ikan di danau Maninjaupun bisa pingsan hanya dengan air perasannya. Mataku awas memperhatikan jalan setapak yang menanjak di selingi batu-batu hitam purba. Aroma lumut yang menutupi permukaan batang hingga ke ujung ranting pepohonan yang berjajar di kiri kanan jalur pendakian yang terbilang lebar, selebar dua dua lembar matras yang kugulung dan kusangkutkan di belakang daypack butut hasil menang adu suara kentut dengan seorang kawan seniman bulan lalu.

Tidak mustahil aku mati beku atau hypothermia jika ini kulanjutkan apalagi jika sendirian seperti ini tanpa ada yang di peluk, ahhh tidak juga, batinku. Kulipat sepasang tangan ke dada, nafasku berasap bukan karena merokok tapi kerana udara dingin sudah sedari tadi memenuhi rongga paru-paruku. Sekonyong-konyong terlihat sebuah spot cantik yang agak lapang untuk lapak istriiirahat eh salah, maksudku istirahat. Tidak terlalu lebar tapi cukup untuk membentangkan plastik hitam kucel sebagai bivak, maaf broo…tenda doom masih kemahalan untukku. Aku membuat bivak alakadar bebentuk prisma. Bagian depan yang terbuka kuhadapkan ke jalur pendakian, sedangkan bagian belakang yang terbuka kututup dengan dedaunan pakis yang dengan jagonya kutebas bak seorang pendekar shinobi dalam cerita samurai negeri Sakura itu lhoo.

image.png
Image source

Kayu bakar yang tidak mudah terbakar telah kujejerkan membentuk piramit terbodoh yang pernah dibuat tangan manusia dari jaman purbah hingga era crypto ini. Lumayan untuk menjaga suasana tetap hangat, pikir benakku yang kadang jorok oleh sampah pornography. Aiihhh ngopi dulu nih, mumpung blom ada yang lewat. Dengan beringas kukeluarkan cangkir stainlis kehitaman dan seperangkat kompor gas karatan yang juga hasil menang judi sabung jangkrik seminggu sebelumnya. Yaahhh sudah nasib pengembara sepertiku untuk mengadu untung dengan cara-cara sederhana demi makan sehari sambil bermipi menunggang Meserati Convertible dua pintu, “emang lu pikir itu kuda, mau lu tunggangin El?”, ejek pikiran jernihku.

Mancis murahan ini mampu menyalakan sekumpulan kapas yang kucelupkan ke bensin campur oli bekas. Kumasukkan nyala api kecil itu dengan sebatang ranting setengah kering kedalam tumpukan piramida kayu. Kurogoh kantongan kresek biru tempat semua bekal yang beracampur dengan sempak bolong dan kaos oblong biru kumal dan berbau asem keringat. Kutemukan sesachet kopimix diantara ikan asin yang baunya na’uzubillah. Baru sadar jika aku tidak memiliki cangkir untuk minum, hanya ada piring plastik kuning yang sudah kecoklatan hasil pungutan di belakang rumah tetangga sehari lalu. Mudah-mudahan pemiliknya tidak kehilangan tempat makan ayam peliharaannya, aamiin. Air telah mendidih dan kompor harus kumatikan untuk penghematan gas. Kukurangi volume air dari cangkir stainless yang masih panas kedalam piring plastik curian. Lalu dengan gemulai gigi taringku merobek sudut saset kopimix, sungguh dramatis menyaksikan bubuk coklat keputihan meluncur kedalam cangkir berisi air yang sejenak lalu mendidih.

image.png
Image Source

Aroma kopimix menyapa dahan, daun, batu dan lumut sekitar tempatku menyongsong malam. Dan geretak kayu yang terbakar pelan, seolah menandakan jika mereka juga ceria menikmati aroma kopi. Terlalu asik menikmati secangkir kopimix sambil mencorat coret buku yang terbuat dari kertas hasil daur ulang, hadiah ulang tahunku dari si jelita yang rela meninggalkanku demi bisa menikmati nyamannya Honda CRV milik boss tempatnya bekerja. Ahh…inilah yang namanya nasib. Aku sudah cukup beranikan diri untuk utarakan cinta dengan seikat bunga tahi ayam. Sejak kegagalanku dengannya, aku enggan sekali dekat dengan perempuan meski secantik apapun. Tapi, memang aku tidak pantas ditemani gadis secantik dia, semoga dia juga sebahagia aku sekarang. Memori 500 mb-ku merambat malas menelusuri kenangan manis bersamanya. Tanpa sadar sesosok makhluk sudah berdiri di hadapanku. Tepatnya di depan istana plastikku.

Dalam kabut beraroma kopimix, 11 May 2017

Mungkin terlalu asik dengan duniaku, hingga kehadiran makhluk ini tidak terdeteksi radarku. Terkejut dan terperanjat, hapir saja kopimix istimewaku tertumpah, aiihhh sialan nih makhluk asing. Pandanganku terpana, tanpa bisa berkata sepatahpun. Makhluk dihadapanku menyeringai manis kearahku. Membuatku salah tingkah dan kikuk tanpa sebab. Pelan makhluk ajaib ini membuka penutup kepala jacket Columbia Gore-texnya, terlihatlah wajah asli sang makhluk ajaib ini. Putih, mulus dan kelihatan lelah dan kedinginan.

“Selamat sore bang”, sapanya dalam kedinginan atau lebih tepatnya kebingungan menyaksikan makhlu gua jaman purba dihadapannya. “boleh minta tolong??”, lanjutnya dalam bahasa Indonesia yang kedengaran merdu mendayu. Atau aku yang tersihir?. Belum sempat aku mengiyakan dia sudah melanjutkan “Bisa pinjamkan handphone sebentar, mau saya sms kawan yang gak keliatan sampe sekarang”. Ughh aku kira dia mau minta nomor telpon genggamku yang mungkin saja tidak akan aktif lagi setelah sebulan, dikarenakan tidak diisi pulsa.

“Ohh iya boleh kak, tapi entah ada pulsapun”, jawabku kikuk. Tapi singgahlah dulu kak, ni ada sedikit kopi. Lumayan sambil nunggu kawan kakak yang lain”. Kupersilahkan makhluk termanis di dunia kecilku untuk masuk kedalam istanaku yang tidak seberapa mana ini. “maaf kak, sempit dan kotor”. Lanjutku dengan nada polos, sambil tersenyum menatapnya. Tatatapan yang malu-malu, semalu tatapan serigala lapar pada seekor anak domba kesasar di hutan belantara Finlandia. Langkahnya meragu untuk masuk, tetapi akhirnya masuk juga simahkluk manis sejagat mimpiku ini dan duduk berhadapan di gerbang istana dekat perapian yang redup malas menjilati kayu yang setengah basah.

Kusodorkan, kopi dalam cangkirku dengan ragu, tebakanku pasti dia menolaknya. Tetapi ternyata aku keliru, dia mengambilnya sambil tersenyum simpul. Duhhhh…duniaku runtuhhhh broo, betapa senyuman itu semanis senyum bintang iklan pepsodent negeri Korea Selatan, ehh broo ada gak pepsodent di Korea Selatan?. Terpaku menatapnya hingga lupa akan permintaannya. Dengan malu-malu dia mengulang permintaannya. “Boleh pinjam telponnya bang?”

“Ohhh iya, sampai lupa sayya kak, maklum kakak manis banget kayak bintang pilem. Jangan-jangan kakak jelmaan peri hutan ini”. Rayuan gombal kelas plankton, maklumlah. “Sebentar ya”, lanjutku sambil meraih daypack, kucari kemana-mana , akhirnya BrandCode buatan China yang ada senternya itu kutemukan. Kusodorkan padanya setelah kunci tombolnya terbuka. Tak selang menit, si peri cantik segera menekan beberapa kombinasi huruf…, kelihatan tidak terlalu panjang. “mudah-mudahan tidak dihapus history-nya” batinku.

“Sudah bang, makasih ya” ucapnya merdu sambil mengembalikan HaPe-ku. Aku menyimpannya kembali ke dalam daypack. “Abang rencana muncak malam ini juga?” sambungnya.
“Gak kak, saya besok pagi kalo mood cuaca dan hatiku bagus aku muncak kak. Kakak sendiri mau lanjut malam inikah?”. Sambungku merespon pertanyaanya tadi.

“Rencananya begitu”, jawabnya singkat. Tapi jelas terlihat keraguan yang mengawang dalam ucapannya. Terlihat jika dia sendiri tidak yakin ingin melanjutkan pendakian malam ini juga dengan kondisi cuaca berkabut dan gerimis tipis.

“Kalo saya boleh kasih saran, jangan lanjutkan perjalanan malam ini. Kabut juga terlalu tebal untuk jalan apalagi jika sendirian. Terlalu beresiko kak”. Aku memaparkan beberapa kemungkinan jika jalan malam menuju puncak dan keluar dari batas kanopi hutan menuju puncak.

Dia termenung sambil menatap api dari onggokan kayu bakar di pintu masuk tenda. Kayunya hampir habis dan azan magrib dari makhluk hutanpun sudah saling sahut-sahutan. Aku menamakannya azan, karena makhluk ini hanya berbunyi pas ketika waktu sholat. Termasuk malam dan subuh, suara
“khuuuu panjang” dari sejenis burung hutan mungkin. Yang jelas aku juga menandakan waktu sholat dengan suara ini, di tempat ini kadang sampai 3-4 suara yang akan saling bersahutan, disamping suara ‘gareng” yang melengking tinggi menandakan matahari tenggelam dan matahari terbit.

“Aku ijin sebentar ya kak, mau sholat dulu. Kakak silahkan rehat dulu nunggu kawan-kawan kakak tiba”. Aku pamit ke luar sambil membawa matras, dan kubiarkan dia duduk di onggokan sebongkah batu yang juga kebetulan ada dalam naungan atap istana plastikku. Dia tidak menjawab, hanya senyum tipis yang meragu sambil manatanya menatapku melangkah keluar. Aku menyelesaikan sholat magrib 5 menit kemudian. Doaku tidak panjang dan itupun dalam bahasa “ ’Ajam” (bukan bahasa Arab). Kembali kubentangkan matras warna hitam didalam tenda, lalu duduk kembali. “Kakak sebenarnya menuggu siapa?. Jauh gak kawan-kawan kakak tertinggal di belakang?”. Lanjutku penasaran, kerana setiap sebentar dia menjenguk ke arah dia datang tadi. Agaknya dia mulai khawatir tentang sesuatu.

“Sebenarnya, saya tidak sedang menunggu seseorang. Saya punya janji dengan seseorang besok pagi ketika pergantian tanggal. Tempatnya di sebelah timur puncak, di tempat edelweiss tumbuh liar. Tadi saya hanya mangabari ke rumah kalo saya sehat dan baik-baik saja bang". Dengan ragu dia memulai ceritanya. Aku hanya diam menyimak, tidak ingin memotang atau menyela tanpa diminta olehnya.

“Besok 12 Mai, dan itu ulang tahunku, 6 bulan lalu seseorang pernah janjiin ke aku dengan sungguh-sungguh untuk menungguku di sana tepat pada pergantian tanggal hari ini, pagi 12 Mai”. Tapi aku juga bingung, tak tau gimana cara ngontak dia, karena aku gak punya nomornya lagi. Aku hanya berharap bisa membuktikan kehadirannya disana, berharap kalo dia menepati janjinya padaku”. Wowwww…janji yang mengesankan dan fantastis batinku, dan ini pasti kekasih si peri cantik ini. “Dia akan menungguku disana. Hanya itu yang aku tau, hingga aku nekat naik sendiri ke puncak. Tadi, aku mikirnya bakal tiba di puncak sebelum gelap, tapi ternyata tidak”. Sudut matanya mulai berair, jelas tergambar harapan yang besar untuk bisa mendaki ke puncak malam ini juga hampir pupus.

“Semoga sebentar lagi ada rombongan yang lewat ke puncak, kakak bisa barengan ma mereka”, Lanjutku mencoba menghibur. Tapi waktu ke puncak dengan kondisi berkabut dan gerimis seperti ni bakal lebih lama dari normalnya kak. Mungkin sekitar 2 jam baru sampai disana”. Aku mencoba member penjelasan logis yang jelas tidak menghibur sama sekali. “Kalo kakak mau sampenya sebelum jam 12 malam ini, kaka bisa naik kesana sebelum jam sepulu, masih ada waktu untuk menunggu rombongan yang lain naik, biasanya kalo cuaca bagus akan ada yang naik malam juga”. Sambungku, untuk sedikit menghibur. “Saya mau masak dulu ya…sekalian kita makan malam ala candle light”. Semburku ala nyengir kuda bendi.

“Boleh gabung masak gak bang?”. Timpalnya tiba-tiba. “saya ada mi instant dan telur rebus tadi saya beli di pasar Padang Panjang”. Jelasnya singkat.

“Boleh dong, sinikan biar saya masak sekalian aja. Ini saya masak nasi dan lauk mi instant aja”. Sambil kukeluarkan bekal satu pack beras dan satu bungkus mi instant. Takut keliatan sisa logistic yang campur dengan sempak bolong. Dan diapun menyodorkan makanan yang dia sebutkan tadi; mie instant dan telur rebus.

Aku tidak mencuci beras yang hendak kumasak, menghemat air tentunya. Nasi adalah hal pertama yang harus aku masak, dan lebih baik menggunakan perapian supaya lebih cepat. Sedangkan lauk aku masak di kompor gas portable. Selang sejam kemudian nasi dan lauk pauk siap untuk disantap. Sejurus aku memperhatikan dia mengeluarkan tapperware dan sendok serta cangkir yang juga tapperware mereknya. Gerakannya lambut, tapi cekatan. Dari situ aku menilai jika dia bukan gadis manja, jelas dia sudah terbiasa dengan kondisi alam liar dan pendakian.

Sambari menyantap hidangan koki hotel bintang 7, dia sesekali melihat ke arah turunan agak di belakang sebalah kanan dari posisi dia duduk. Sebenarnya posisiku lebih awas untuk mengawasi kedatangan para pendaki bodoh yang rela menembus kabut dan gerimis hanya untuk mengukir sensasi ke puncak gunung malam-malam begini. Aku juga mungkin lebih bodoh dari mereka semua, memilih tempat kem yang jauh dari sumber air.

”Nama abang siapa sih, dari tadi kita gak kenalan, namaku Airin”. Ujurannya memecah sunyi antara kami. Selebihnya hanya nyanyian malam dari makhluk sekitar dalam selimut kabut yang mulai menipis. Sungguh suara yang indah untuk didengar dengan iringan musik dedaun dihempas angin yang kadang kencang.

“Ehh…iya, namaku Elang, kakak bisa manggilnya dengan sebutan El atau Lang aja”, jawabku tanpa menoleh. Dan aku tidak berani menyambut uluran tangannya, bukan karena tidak suka. Tapi aku tidak mau membayangkan kelembutan jemarinya setelah dia bersama kekasihnya nanti. Aku sudah lama tidak berminat untuk mengenal wanita lebih jauh dari sekedar teman bertukar salam. Tapi akan berbeda jika dia tidak sendiri. Setelah kepergian si Jelita, agak susah bagiku untuk terbuka dengan lawan jenis. Dan aku lebih sering menghabiskan waktu sendiri, baik di bengkel tempatku kerja selama ini ataupun ke hutan dan gunung, aku lebih memilih sendiri (awas jangan ditiru ya). Cinta yang membekas luka mengubah sikap dan caraku hidup dari jam ke hari ke minggu ke bulan. Tiba-tiba setengah telur rebus mendarat manis di piringku, aku terpaku…, jelas ini bukan jatuh dari langit. Tapi yang membuatku terpaku adalah tangan lembut dan mulus meletakkannya dengan sopan dipiringku. Mau tidak mau aku menatap si peri lekat dan dekat. Segurat senyum menyambut tatapan bego –ku. Wajahnya terlalu dekat hingga deretan giginya yang putih bersih dangan 2 gigi taring manisnya nampak. Perfectos!.

“Bang El…abang sendirian aja naik atau abang juga nunggu kawan-kawan abang?”. Nampaknya si peri juga penasaran untuk tau keberadaanku di sini.

“Aku sendirian aja sih, sekedar melepas penat dan butuh tenang”. Lanjutku agak ragu untuk jujur. Kuhindari tatapannya, sambil melihat ke arah perapian yang kian mengecil. Sekejap aku meletakkan piring makan malamku, kutambahkan 3 potong kayu sepergelangan orang dewasa yang sudah mengering sendiri karena berdekatan dengan unggun. Pelan…, gemeretak kayu dilalap api terdengar meningkahi suara jangkrik dan binatang kecil lainnya ditengah belantara yang sepi. “aku suka keheningan seperti ini, sebenernya puncak tidaklah penting. Aku udah sering ke puncak ini sendirian atau kadang dengan kawan akrabku. Kebetulan kali ni dia ada kerjaan yang gak bisa dia tunda”. Tak terasa aku sudah memakai kata “aku” yang mengurangi tingkat kesopanan yang kentara dalam budaya Minang yang sangat tingggi tatakrama percakapan.

Selanjutnya hening, makan malam yang dingin ditemani dinginnya kabut dan udara malam yang merambat enggan meninggalkan senja….

Jam 21.00, belum ada tanda-tanda ada pendaki lain yang melintas, bahkan tidak ada cahanya lampu yang nampak dari bawah menuju ke atas atau sebaliknya. Tandanya semua rombongan dari bawah telah memutuskan untuk bermalam di “Porak Batueng” pos kebun bamboo yang masih dekat dengan sumber air. Tempat yang biasa dipakai pendaki untuk bermalam sebelum muncuk pada subuh esoknya. Si peri cantik Airin, (bukan @thekitchenfairy ya), semakin gelisah menanti kedatangan seseorang yang akan menuju puncak. Aku faham dengan dilema yang dia alami sekarang. Malam terus merangkak naik.

“Kak Airin, jadi bagaimana ini kak?, ini sudah jam Sembilan tiga puluh kurang dikit (21.23). kalo kakak mau lanjut agaknya sulit, karena kemungkinan besar subuh besok team yang mau muncak akan naik”. Aku memecah kesunyian untuk memastikan apa yang akan di lakukan Airin dengan rencana romantic nan nekat-nya ini.

Airin hanya diam saja, aku menemukan gelisah dalam matanya yang kebingungan. Rawut wajahnya tampak semakin putus asa. “Sepertinya aku harus lanjut bang!”. Aku sedikit tercekak mendengar keputusannya, tapi aku juga tidak bisa berbuat banyak untuk menenangkannya. Tujuannya ini pasti sangat penting baginya, sampai dia berani meluahkan waktu sedemikian nekat untuk bisa mencapai tujuannya. Perempuan gigih dan nekat, pujiku dalam hati. Tak pelak, sembari menjawab demikian, Airin mengemasi barangnya berupa box tempat dia makan, cangkir dan sendok. Kulirik Airin yang mengencangkan ikatan tali sepatu, ada isak yang tertahan…

Akhirnya Airin benar-benar melangkah keluar diiringi tatapanku yang pasrah. Nafasnya berat, sesak dalam kesedihan dan harapan yang semakin memudar. Dia membulatkan tekat, sambari menarik nafas dalam-dalam. Tatapannya ke jalan setapak berbatu dan mendaki, jauh menerobos kegelapan malam, entah apa yang ada dibenaknya. Kedua sudut bibrnya tertarik agak saling mejauh, sambil tetap terkatup. Dia menatapku lekat-lekat sambil pamitan. “Bang El, saya lanjut dulu ya”. Ucapnya dalam keraguan yang sangat kentara sedang ia coba sembunyikan. Jiwaku berontak membayangkan dia sendirian menempuh perjalanan hanya dengan handlamp dan sebotol air minum, sepatu tracking La-Fuma dengan lambang daun keren dan mahal. Bukan apa-apa, tapi bahaya sekali jika tidak cukup ahli dalam meprediksi ancaman yang bakal muncul, apalagi dia diliputi emosional yang bisa menghilangkan focus pada jalur dan pijakan. Jalur setelah batas hutan adalah tebing batu yang lumayan curam serta jurang yang lumayan bisa merenggut nyama jika terpeleset, atau pijakan lepas, dan ini sering sekali terjadi. Belum lagi dalam kondisi gerimis, batuan di jalan menanjak akan lebih licin dari biasa.

“Kak Airin…tunggu!”, entah kenekatan apalagi, aku manahannya agar tidak segera melangkah. “Biar aku naik juga lah…”, lanjutku menawari jasa pengawalan tidak resmi. Ada sekelebat senyum kelegaan yang tertangkap dalam remang unggun yang talah aku tambahkan lagi kayu bakarnya. Tanpa menunggu, aku mulai memasukkan barang-barang kedalam daypack, aku gulung matrasku dan bagian akhir adalah melipat bivak. Tak lupa kukeluarkan baju yang lebih tebal dan celana raincoat untuk melapisi training tipis yang ku gunakan. Kukenakan baju tebal sebelum jacket lusuh untuk meredam hawa dingin di pincak. Tali sepatu kekencangkan dengan sigap, bak tentara yang bersiap untuk mundur karena takut kalah perang. Kulirik Airin yang memperhatikan semua tingkahku, dia menawarkan bantuan untuk membereskan bivouck (Bivak), tapi secara halu aku tolak. Aku punya aturan ketat untuk barang-barang pribadi dan perlengkapanku; tidak boleh sembarangan dilipat atau di gulung.

“Makasih yang bang, udah mau temani aku”. Pungkasnya ketika aku mulai menjajarkan langkah dengannya.

“Iya…gak apa, aku juga pengen liat pemandangan di puncak malam-malam gini”. Dalam hatiku aku bergumam, “sehebat apa sih cowok sok kerena yang memaksa si peri ini bela-belain mendaki malam hari”.

Aku tidak banyak bicara, hanya sesekali melihat kebelakang memastikan dia masih ada dan tidak terpisah lebih dari 3 meter dariku.

Terminal Aur Kuning Jam 15.15

Bus yang kutumpangi sudah memasuki terminal penumpang Aur Kuning yang sesak oleh segala macam aktifitas turun naik penumpang dan juga turun naik pengamen jalanan yang kadang aku suka. Sesekali aku ikut bernyanyi bersama mereka. Sumpah, aku tidak bisa bernyanyi. Anehnya mereka tidak pernah meyodorkan kentongan uang receh ke arahku. Mungkin mereka melihat penampilanku lebih miskin dari mereka sendiri, kumal, kucel dan rambut gondrong yang tidak terurus. Kebetulan bus ini akan langsung ke Kota Padang, jadi aku tidak perlu turun menuju bus lain, hanya bergesar mencari tempat duduk yang lebih dekat dengan pintu turun di sebelah kiri sopir.

Menikmati musik remix yang terlelu keras dari laspiker bus, bassny membuat gendang telingaku menjerit minta ampun. Tapi apa daya itulah suasana bus disini, 1,5 jam adalah waktu yang lumaya lama untuk menunggu bus ini berjalan ke tujuanku. Aku berharap Airin menungguku akan seperti janji kami tahun lalu. Aku akan menunggunya di pasar tradisional dekat warung sate yang juga menjual bahan pokok yang rencanannya akan menjadi tempat kami belanja kebutuhan logistik. Ingatanku kembali ke setahun lalu…

Setengkai Edelweiss untuk Airin

Kabut mulai menipis, seiring gerimis yang memudar, tapi hempasan angin dingin semakin terasa, aku mengajak Airin rehat sejenak setelah sejam berjalan tanpa berhenti. Aku mendudukkan pantat tepos di pinggir jalan setapak, diatas sebongkah batu. Kurogoh saku daypack tempat air minum.

“Kak Airin, kita rehat dulu bentar ya, minum aja dulu”, ucapku pada Airin yang beberapa menit kemudian tiba di dekatku. Cahaya headlamp temaram menyinari wajahnya, terlihat bersemu merah dan berkeringat setelah berpacu dengan melodi perjalanan yang kadang berat kadang ringan mendayu. Tanpa mengiyakan atau men-tidakkan, Airin duduk berhadapan denganku. Aku membuka headlamp dan menggantuknya di cabang pohon terdekat untuk memberi penerangan alakadarnya. Aku mengatur nafas setelah meneguk air putih hasil saringan alami sungai terakhir dibawah tadi sore.
Airin kelihatan masih semangat meski kelelahan. Tapi wajahnya jauh lebih ceria dari dia tiba di bivakku sebelum magrib. Aku tidak lagi memperhatikannya, perhatianku tersita pada aktifitas melinting tembakau shag dengan lebaran kertas wayang murah yang tebal, lalu kunyalakan dengan dramatis. Begitu kunikmati racun polusi ini memenuhi paru-paruku, aku tau Airin memperhatikan setiap gerakanku. Wajar saja, aku adalah makhluk paling berakal yang sedang bersamanya.

Aku sadar sekali bahwa mendaki gunung adalah kegiatan yang melelahkan dan membosankan, tetapi anehnya selalu kurindukan ketika menatapnya dari kejauhan. Kawan dekatku Roy pernah berujar, “Gunung itu cantik mempesona dari jauh. Tapi melelahkan dan membosankan ketika kau mendakinya, sampai kau rindu kasur lapuk dan bantal kumal di kamar sumpekmu El”. Bagiku Gunung itu seperti wanita, “Ketika engkau perlakukannya lembut dan penuh sayang, maka dia akan membalasnya dengan cinta dan perhatian tanpa henti!”. Persetan dengan apa yang Roy katakana, yang jelas aku lebih memilih sendirian di belantara dari pada sendirian di kamar sumpekku.

Hisapan terakhir, lintingan kumatikan dan sisanya aku masukkan kedalam kaleng pipih kecil bekas Pagoda Patilles yang kuambil paksa dari seorang kawan yang tidak merokok. Kupakai kembali headlamp kekepalaku. “Kak Airin, lanjut lagi yuk?”. Pungkasku sambil berdiri. Airin mengukutiku sambil membenahi bawaannya.

Jalanan terjal berbatu menyambut kami segera setelah keluar dari batas vegetasi. Langit mulai terang, memang bukan purnama tapi cukup bisa melihat jurang-jurang kecil di kiri kana punggungan yang kami tapaki. Aku perpendek jarak dengan Airin, setelah melihatnya agak kepayahan meniti tangga batu dengan kemiringan yang mencapai 60 derajat. Tinggal kira-kira 100 meter mencapai puncak ketika tanpa sengaja Airin memijak di batu besar yang tidak kokoh tertanam ke dalam tanah. Airin terpeleset, cukup cekatan tangannya meraih pegangan sebelum tubuhnya meluncur ke jurang sedalam 10 meter. Kukokohkan pijakan dan mencari pegangan terdekat. Aku meraih tangannya dan mengarahkan Airin agar tidak panic, memang dia tidak panic. Segera dia mencari pijakan dengan kakinya ketika berhasil meraih tanganku, genggamannya kuat. Tak kusangka tangan selembut ini memiliki genggaman seorang pemanjat handal, “sepertinya perempuan ini adalah pemanjat tebing”. Terlintas dalam banakku.

Tanpa dramatisasi yang berlebihan, “Makasih bang El”, Airin mengucapkan terimakasih dengan intonasi biasa saja. Tidak ada bekas ketakutan dari kejadian itu, malah terlihat dia tambah semangat, jam sudah menunjukkan angka di 23.48, 12 menit lagi menuju tengah malam. Aku melanjutkan pendakian, sambil mengingatkan Airin untuk lebih hati-hati dan tidak terlalu jauh terpisah denganku.
Jam 00.10 kami selamat menapak peralataran puncak, aroma belerang dari kawah tercium samar. Aku berdiri sejenak memperhatikan sekeliling. Tidak ada satupun tenda di puncak, pun tidak disepanjang jalan yang kami lalui tadi. Berarti memang tidak ada orang disekitar sini, mungkin kawan-kawan pendaki lebih suka untuk ngekem di sisi sebalah Timur dekat dengan padang Edelweiss, karena disana ada kolam-kolam air yang bisa diminum dan menambah persediaan air minum ketika hendak turun ataupun untuk memasak. Syukur kondisi tidak berkabut, dan angin sepoi yang dingin menyapu wajahku yang berlelehan keringan.

Airin berdiri di kananku, sambil mengatur nafasnya. “Kak Airin, bagusnya kita langsung ke tempat yang kak Airin maksudkan”, ujarku memecah keheningan puncak Marapi yang hening dalam kedinginan abadinya. Dia tidak menjawab, namun dengan tergesa dai melangkah mendahului ke arah yang memang dia telah tau, aku mengikuti 3 meter di belakangnya sambil menebar pandangan ke sekeliling. Hanya sunyi yang mencekam, tidak ada tanda-tanda kehidupan di puncak selain desir angin yang kadang bersiul melewati celah sempit bebatuan lereng. Melodi yang harmonis, dalam kedamaian paling syahdu.

image.png
Image Source

Selang 10 menit kemudian, Airin berdiri terpaku manatap kekosongan. Aku sudah feeling jika tidak ada orang lain saat ini di puncak selain kami berdua. Airin menghempaskan backpacknya ke puncak berbatur dan dilapisi pasir vulkanis yang menghitam. Pandangannya menyapu keseluruh penjuru, hanya kekosongan yang didapatkan. Matanya berkaca, lalu luruh terdiam dalam tangis kekecewaan paling menyakitkan, tanpa suara, tubuhnya bergetar, bahunya terguncang. Lalu wajahnya tengadah menatap langit malam dalam remang rembulan hampir purnama. Bibirnya terkatup gemetar menahan pilu tangis, kilau pipinya dari air mata dan keringat yang tertimpa cahaya rembulan dalam simpuhnya. Perjuangan seharian sedari pagi tadi menempuh rimba berkabut, gerimis yang gigil dan terjalnya batuan lereng selatan Marapi hanya untuk menyongsong ketiadaan. Hampa dalam genangan sejuta tusukan belati kepiluan paling hening.

image.png
Image Source

Emosiku campur aduk, kesedihannya begitu kental kurasakan. Ada rasa yang bergejolak, antara kudekati dan kurangkul dia, dan tata krama sebagai lelaki yang menghormati saat-saat paling pribadi seseorang. Tak terasa matakupun berkaca dalam hening keterpakuanku di puncak ini. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di sampingnya tanpa sepatah katapun. Kurogoh saku daypackku, lalu lintingan kedua daun wayang dan tembakau shag. Asap tipis yang sekejap menghilang bersama sapuan gigil angin puncak.

Hening….

Detik-demi detik berlalu, pikiranku melayang jauh, mengenang puncak-puncak yang pernah menemani kesendirianku.

“Bang El, makasih ya udah ngawani aku kemari”. Suara lirih dan perih terucap dari bibir Airin.
“Gak apa Airin”, tidak ada kata lain yang bisa kuucapkan saat seperti ini.

“Mungkin sudah demikian tertulis dalam suratan kehidupanku bang El, dikhianati dan ditinggalkan. Meski aku sudah berusaha berjuang untuknya. Dari Jakarta aku kemari hanya untuk memenuhi janjiku padanya. Tapi kekosongan ini yang aku dapatkan”. Kalimatnya lirih dalam nafasnya yang berat menahan kecewa yang teramat pekat dan pilu.

“Kak Airin, semua ada hikmahnya. Mungkin yang Maha Bijaksana sedang membimbing kaka kepada cinta yang lebih indah dan tulus”. Hiburkau kehilangan kata yang tepat.
“Bang El, aku jauh lebih muda dari abang, jangan panggil aku kakak, panggil Airin aja”. Lanjutnya yang kelihatan sudah bisa mengontrol emosinya.

Sungguh gadis yang luar biasa tangguh, aku belajar banyak hal darinya malam ini. Entah dari mana rasa ini muncul, tapi begitu kuat membelanggu. Rasa sayang yang teramat halus, getaran yang beresonansi dalam jiwa petualang, mungkinkan aku mendapatkan wanita setegar ini kelak. Tak terasa anganku melayang jauh melampai hamparan belantara ke negeri entah.

Aku bangkit, berjalan seiring hembusan lembut gigil bayu puncak Marapi, aku mendekati gundukan batuan yang menjorok agak kejurang. Tanpa sengaja kutemuakan setangkai Edelweiss yang hampir mekar diantara celah bebatuan, bunga yang indah berwana cream bercampur kuning dengan tangkai yang terbagi-bagi, bunga yang cukup besar. Aku menatapnya lama, mengagumi keindahannya. Aku memeutuskan untuk memetik setangkai kecil saja, dan kubiarkan sisanya tertinggal dalam perlindungan batuan yang kokoh.

Kulangkahkan kaki dengan mantap ke tempat Airin masih bersimpuh dan merenung sambil menatap kekejauhan rimba yang membiru, awan yang menggantung karena cuaca dingin di bawah tempat kami berpijak.

“Airin, selamat ulang tahun. Jadikan awal pertambahan usiamu ini sebagai tonggak kehidupan yang baru”. Agak canggung kuserahkan setangkai Edelweiss padanya dengan senyum yang disaksikan rembulan pucat, bebatuan puncak Marapi dan dihiasi senyum angin dingin menusuk tulang. Ada bisik dalam benakku, “aku mengagumi dan menyayangimu tanpa harus engkau tau Airin”. Airin sedikit terperanjat, dengan ucapan dan hadiah kecil dariku, tangisnya pecah dalam isak yang pilu. Lalu…

image.png
Image Source

Masih membenamkan wajahnya didadaku yang baunya nauzubillah karena aroma jacket dan baju yang kukenakan. Tanganku kaku targantung tanpa berani memeluknya, batinku berontak antara ingin memeluk atau membiarkan saja dia bersandar. Dalam sela isaknya dia berucap, “Ini adalah hadiah ulang tahun terindah untukku bang El, terimakasih”.

Tak kuasa aku menahan emosi yang meluap, rasa sayang yang begitu membuncah, pelan tanpa kusadari secara penuh sebuah kalimat meluncur dari bibirku, “Aku menyayangimu Airin, simpanlah edelweiss itu untukku. Akan ada perjumpaan setelah esok kita saling berpisah, di sini di taman edelwais ini”.


text11.png

“El, aku ingin hadiah ulang tahun seperti waktu itu, di padang Edelweiss puncak Marapi. Darimu!.

Perasaanku hangat setiap kali kubaca sms singkat darinya kemarin malam, ketika bus yang aku tumpangi melaju meninggalkan Bukit Tinggi menuju perjumpaan dalam terpaan dinginnya angin dan selimut kabut belantara Marapi!

text11.png

Sepenggal kenangan untuk Airin 12 May. Kepada engkau yang akan berulang tahun pada 12 May 2018. Teruslah berjuang.

With my best regard

@el-nailul

Hope for the best and prepare for the worst

5whcwh2cf5.pngPlease joint us on discord channel at https://discord.gg/RZkxq5


Mari bergabung dengan kami di discord channel : https://discord.gg/chBPxM

SB_new.png

Sort:  

😜

Thekitchenfairy juga ga apa2 kok 🤣 peri airin ga akan jealous🤣

Nins.. dan Rins.. cuma beda satu huruf.. ya kan bu peri @thekitchenfairy

Hallaaahhh...dekat apaan kak @rayfa?

whahahaah...boleh juga tu kak Nins @thekitchenfairy, anggap aja kakak juga suka adventure. kita buat seri manca negara juga ya lain kali, ini udah kepanjangan untuk dibaca. capek juga kalo bilingual


Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.
@c-squared runs a community witness. Please consider using one of your witness votes on us here

Saya cuba memahami cerita yang panjang ni sebanyak boleh...
It seems like a lovely love story, I hope I got it right. :D

it will be difficult to use translation engine @roselifecoach, I will try to translate it into english later. I hope you can find it in English version later.

No worries @el-nailul, because Bahasa Malaysia is similar to yours so I can understand a lot, just not all... Thanks for the kind thoughts though...

Ceritanya sangat nyata bang @el-nailul, membuat saya terbawa imajinasi merasakan setiap detail cerita yang disampaikan, jadi mengenang cerita Balada Si Roy di majalah Hai waktu sekolah..

Posted using Partiko Android

Ceritanya sangat panjang whahaha...semoga masih bisa dinikmati kak @inesanugerawati. kalo gak sanggup baca, pending dulu ya..entar kalo udah ada waktu baca lagi... :D

Kalau cerita kayak gini harus di habiskan bang @el-nailul, kalo ga bikin penasaran..

Posted using Partiko Android

omeeenn udah nggak terbit lagi anita cemerlang, kalau ini dipublishnya sekitar tahun 90-an, kop banyak dapat surat penggemar abang niy..

Untonnnggg udah ere digital, bisa langsung komen ya, gak perlu balas surat tapi balas komen aja ya cupo @cicisaja. baru coba ngarang-ngarang cerpen nih ceritanya

Ka mantap nyan.. lanjut aju sering2, banyak ilmu dan pengalaman yang bisa dibagikan lewat cerita seperti ini, mana tahu nanti bisa bikin novel kayak WWN juga.. kan seruuu

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 67271.13
ETH 3515.41
USDT 1.00
SBD 2.70