Menjadikan Sosmed Sebagai Ladang Praktek Jurnalisme |

in #writing6 years ago (edited)

image


Oleh: @ayijufridar

Apa itu generasi milenial?
Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran (wikipedia.org).

Namun, bisa ditambahkan generasi milenial adalah generasi yang akrab dengan kemajuan teknologi informatika.

Apa bedanya generasi milenial dengan generasi zaman dulu dalam hubungannya menjadi jurnalis?
Dengan perkembangan teknologi, kerja jurnalis menjadi berbeda. dulu wartawan menulis berita dengan komputer. Mengirim berita dengan faksimile ke kantor redaksi yang membuat redaksi bekerja dua kali untuk mengetik ulang dan editor mengeditnya. Sekarang mengirim via email dan bisa melaporkan langsung dari lokasi.

Bahkan dengan kemajuan teknologi seperti sibernetik news room, berita pun kini sudah ditulis oleh robot. Kerja jurnalis bisa menjadi lebih mudah (atau malah lebih sulit, tergantung cara pandangnya).

Tunggu dulu, ada istilah wartawan ada istilah jurnalis. Bedanya di mana?
Tidak ada bedanya. Wartawan bahasa Indonesia, dari kata “warta” yang berarti berita atau kabar. Wartawan adalah orang yang mencari dan mengolah berita, foto, video, untuk disiarkan dalam media cetak, media online, radio, dan televisi. Sedangkan jurnalis diadopsi dari bahasa Inggris, journalist. Ada juga sebutan juru warta.

Kalau kerjanya menyebarkan berita, kami juga jurnalis dong. Kami punya akun di beberapa sosial media. Tadi ada kebakaran, kami yang kebetulan di lokasi, malah lebih cepat menyebarkan kabar itu dibanding wartawan. Bukankah kami juga wartawan?
Bukan. Kalian memang menyebarkan kabar melalui media sosial, ada data-data dan informasi penting yang kalian sebarkan. Ada video dan fotonya juga, bahkan wartawan yang bekerja di media profesional belum tiba di lokasi.

Tapi kalian tetap bukan wartawan. Kabar, foto, dan video yang kalian sebarkan belum memenuhi standar jurnalistik. Mungkin tidak ada konfirmasi dari pihak terkait, misalnya korban kebakaran, saksi mata, petugas pemadam, kepolisian, dan sebagainya. Tidak ada keberimbangan dalam informasi yang kalian sampaikan. Tidak verifikasi terhadap data yang ada.

Kerja wartawan terikat dengan nilai dan Kode Etik Jurnalistik yang wajib dipatuhi. Itu antara lain yang membedakan dengan informasi yang kalian sajikan di media sosial.

Apa bedanya dengan dengan jurnalisme warga?
Jurnalisme warga atau citizen journalism adalah serangkaian kegiatan aktif warga yang bukan jurnalis dalam proses mengumpulan, melaporkan, menganalisa, dan menyebarkan berita dan informasi (Shayne Browman & Chris Willis).

Kalian yang masih siswa SMA bisa mengambil peran sebai jurnalisme warga dengan kecanggihan gadget yang kalian miliki. Gunakan gadget dan media sosial untuk melatih diri dalam menjadi jurnalis di masa depan. Tapi yang penting, perhatikan dua hal sebelum menyebarkan informasi ke warganet; pertama, pastikan berita, foto, dan video yang kalian sebarkan tidak melanggar susila, etis, bukan konten yang vulgar sehingga bisa dikonsumsi siapa saja termasuk anak kecil. Kedua, pastikan kalian tidak menyebarkan informasi bohong (hoaks).

Kalau ada informasi penting tetapi masih diragukan validitasnya, lebih baik tidak melakukan verifikasi sebelum menyebarkan, atau bila perlu tidak usah menyebarkan. Jangan terlalu sering memforward informasi yang belum jelas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah banyak menjerat netizen yang tidak hati-hati dalam melanjutkan informasi yang mereka terima. Pelajar dan mahasiswa juga berpotensi terkena kasus hukum ITE. Kalau kata Bang Napi; Waspadalah… Waspadalah…!!!

Tapi kalau foto atau video yang kita sebarkan fakta, ‘kan tidak masalah?
Bermasalah juga kalau kontennya mengandung unsur SARA, kekerasan, sadis, vulgar, dan cabul. Tidak semua fakta itu harus diumbar ke publik. Kalau ada kecelakaan atau bencana alam, ada korban yang menyedihkan kondisinya, tidak boleh disebarkan ke umum. Begini saja, ketika mendapatkan foto atau video seperti itu, coba bayangkan korbannya adalah ibu kita, adik atau kakak kita, apakah kalian masih tega menyebarkannya ke publik?

Kalau jawabannya “masih tega”, berarti adalah masalah dengan kejiwaan dan sebaiknya berobat ke dokter jiwa.

Jangan begitu, dong. Hehehehe. Nah, sekarang apa yang harus disiapkan untuk menjadi jurnalis?
Tadi sudah disinggung tentang menggunakan media sosial dengan bijak sebagai pembelajarn untuk menulis dan melatih praktek-praktek jurnalisme. Kemampuan menulis memang yang utama, tidak hanya bagi jurnalis, tetapi semua profesi menuntut kemampuan menulis yang baik, yang mudah dipahami orang berbagai kalangan sebab itu prinsipnya adalah mengirim pesan, informasi, petunjuk, kepada orang lain dalam bentuk tulisan.

Kalau tidak mampu menulis dengan baik, nanti informasi yang diterima orang bisa salah dan keliru mengambil keputusan.

Apa saja syarat menjadi jurnalis, selain bisa menulis?
Standarnya, pendidikan minimum S1 dari berbagai jurusan, tidak mesti jurnalistik. Menyukai tantangan, bisa bekerja secara tim, dan mampu berbahasa Inggris dengan baik dan satu bahasa asing lainnya.

Gaji sebagai jurnalis besar tidak?
Kalau ingin menjadi kaya, jangan jadi jurnalis sebab tidak ada jurnalis yang kaya. Di negara maju seperti Amerika Serikat pun, standar gaji jurnalis masih berada di bawah profesi lain seperti bankir. Tapi banyak kenikmatan lain yang tidak bisa diukur dengan uang, misalnya bekerja dengan dinamika yang tinggi. Pengalaman berbeda setiap hari, berjumpa dengan orang banyak dan berbagai tokoh dari berbagai kalangan, dan sebagainya. Kita bisa belajar dari siapa pun dan kapan pun. Pengalaman seperti itu tidak bisa bisa diukur dengan uang.

Lebih baik jadi wartawan media cetak, TV, radio, atau online?
Ada yang bilang, kalau kalian berwajah biasa saja, tidak kameraface, tetapi punya suara indah dan kecakapan komunikasi lisan bagus, sebaiknya menjadi wartawan radio. Kalau kalian punya wajah goodlooking, disarankan menjadi wartawan TV atau jadi anchor. Kalau wajah biasa saja, suara pun cempreng, tetapi punya kemampuan menulis bagus, disarankan menjadi wartawan media cetak.

Namun, itu saran yang setengah bercanda meski ada bagian benarnya. Intinya, kemampuan menulis tetap dibutuhkan wartawan media cetak maupun elektronik. Apalagi, sekarang seorang wartawan dituntut yang multitasking.

Multitasking, apalagi itu?
Seorang wartawan dituntut bisa menulis dengan baik, melaporkan secara langusung dengan baik, bisa memotret, sekaligus bisa mengambil video setidaknya dengan standar minimum. Seorang jurnalis dituntut memiliki beragam kemampuan karena biasanya perusahaan tempat mereka bekerja juga memiliki Stasiun TV, radio, media cetak, dan online sekalgus.[]

(Disampaikan dalam pelatihan jurnalisme dasar bagi siswa SMA Negeri 1 Lhokseumawe pada Rabu 17 Oktober 2018).



Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Wow, bisa jadi bahan ajar ini. Ijin sedot bang ayi. hehehe

Silakan @owner99. Mengasyikkan diskusi dengan para pelajar yang ternyata juga memiliki pemahaman yang luas tentang jurnalistik.

terima kasih bang ayi, saya akan jadikan ini sebagai model pembelajaran dalam kelas esteem university kelas berikutnya.

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Jurnalis juga manusia, jadi tidak boleh d beda-bedakan dengan yang lain.

Keep spirit @ayijufridar💫✨

ok, sama-sama rakan 😃

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63811.18
ETH 2610.29
USDT 1.00
SBD 2.83