Belajar Menjadi Seorang Penulis dan Hal-hal Menyedihkan Lainnya

in #writing6 years ago (edited)

Koran bekas menghiasi dinding sebuah rumah Aceh di sebuah kampung di Kabupaten Pidie. Kertas koran itu ditempel dengan nomor halaman yang tidak berurutan, terbolak-balik, dan tanggal korannya pun beda-beda. Si empunya rumah menempel koran bekas itu bukan untuk memudahkannya membaca, melainkan demi menutupi lubang akibat pemasangan papan kayu yang tidak sempurna, dimakan rayap, dan karena ada sisi kayu yang mengelupas. Sekiranya tidak ditempeli dengan koran bekas, aktivitas si pemilik rumah berikut isinya akan tampak dari luar.

Screen Shot 2014-02-19 at 11.53.14 PM.png

Kondisi rumah panggung ini memang menyedihkan. Para penghuninya sering berkelakar bahwa sebelum koran-koran bekas itu ditempelkan, sedikit saja ada hembusan angin maka lampu teplok di dalam rumah langsung padam seketika.

“Batok asee mate panyot lam rumoh,” begitulah mereka kerap membuat tamsilan.

Seorang anak yang usianya belum genap 10 tahun memelototi koran-koran bekas di dinding rumah itu dengan hati gundah dan pasrah. Dia belum begitu lancar membaca dan dengan tertatih-tatih mengeja berita dari koran terbitan Medan itu. Ia baca tentang Perang Teluk, berita tentang Saddam Husein, serta memandang wajah pemimpin Iran, Ayatullah Khomeini.

Dia sama sekali tidak menyadari kalau berita dari koran yang ditempel itu sudah terpotong, dan sambungannya ada di halaman lain. Namun, si anak kecil yang masih duduk di bangku kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) sama sekali tidak memperhatikannya. Saat itu, dia belum memahami pentingnya membaca berita hingga tuntas.

Seusai membaca koran bekas itu, muncul hasrat di benaknya bahwa suatu hari dia pun harus menjadi penulis berita. Hal ini membuatnya mulai serius menekuni bidang tulis-menulis, dan keinginan itu kian mengental ketika dia duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Dia mencoba berkorespondensi dengan dunia luar, mengirim surat kepada pengelola radio luar negeri seperti Ranesi NL Belanda, Radio Arab-Mesir dan radio Jerman, Deutsche Welle. Surat itu dikirim ke alamat perwakilan radio ini di Jakarta. Ada yang membalas suratnya, namun banyak juga yang tidak merespons sama sekali. Ketika ada radio yang mengiriminya majalah atau buku, si anak ini senang bukan main.

Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA), anak ini sudah mulai mengirim tulisan untuk rubrik “Komentar Pembaca” Serambi Indonesia, sebuah koran lokal di Aceh. Dia menulis komenter itu dengan tulisan tangan di kertas HVS. Sehari, dua hari, tiga hari ditunggu, tulisannya belum juga muncul di koran.

Sebulan sebelum status Daerah Operasi Militer (DOM) untuk Aceh dicabut, sekali lagi dia mengirimkan tulisannya. Kali ini dia mengetik tulisannya di kertas HVS menggunakan mesin tik. Hasil ketikan itu dimasukkan dalam amplop putih, lalu dikirim melalui jasa pengiriman pos dengan prangko seharga 500. Seminggu kemudian, tulisannya berjudul DOM Menyiksa Kita Semua dimuat di rubrik Komentar Pembaca Serambi Indonesia. Saat itu, dia baru saja duduk di kelas dua Madrasah Aliyah, setingkat sekolah menengah atas.

Setelah tulisan (komentar) pertama itu, si anak ini mulai rajin mengirimkan tulisannya ke koran lokal itu. Tulisannya semakin sering diterbitkan. Dia pun mulai bosan hanya sekadar menulis untuk rubrik surat pembaca. Mulailah dia membuat tulisan serius untuk rubrik opini. Sialnya, hingga dia lulus dari Madrasah Aliyah, tidak ada tulisannya yang dimuat di rubrik opini koran lokal itu.

Sementara itu, dia mulai berani mengirimkan cerita pendek (cerpen) ke koran WASPADA, koran terbitan Medan yang pernah dibacanya sewaktu kecil. Beruntungnya, cerita pendeknya yang pertama kali dikirimkan itu langsung dimuat. Judul cerita pendeknya, Potret Tua. Selain itu, puisinya yang tidak puitis pun mulai menghiasi rubrik Abrakadabra koran Medan ini. Untung saja ketika itu dia lupa berseru dan teriak-teriak, “Cerita Pendek Anak MAN Masuk Koran!”

Meski tulisannya dimuat di media, bocah itu selalu kekurangan uang jajan. Uang jajannya hanya cukup untuk membeli satu batang rokok Dji Sam Soe seharga Rp150 perak, satu potong buah nangka dan ongkos pulang. Kondisi ini membuatnya jadi rutin menyambangi pustaka saat jam istirahat sekolah, agar uang jatah ongkosnya tidak ikut habis.

Di pustaka milik pemerintah ini, dia mulai membaca buku Mengarang Cerpen Itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto. Buku Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor ini menyajikan banyak sekali kiat-kiat menulis dalam bentuk tanya-jawab. Penulisan dengan gaya seperti ini membuat isi buku tersebut mudah dipahami. Membaca buku ini mendorong si anak lebih giat lagi belajar menulis.


Lulus dari Madrasah Aliyah, si anak itu mendaftar kuliah di IAIN Ar Raniry dan memilih jurusan Bahasa Inggris sebagai pilihan pertama. Sialnya, dia justru diterima di jurusan Komunikasi yang dipilihnya sebagai pilihan kedua. Dia menerima takdir itu dengan lapang dada. “Lebih baik daripada tidak kuliah sama sekali,” gumamnya dalam hati ketika itu.

Akhir tahun 2000 atau saat semester pertama kuliah, dia mengikuti “Workshop Penulisan” yang dibuat oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) IAIN Ar Raniry. Ada 15 peserta pelatihan menulis ketika itu. Salah satu tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mencari calon wartawan dan penulis bagi Tabloid Ar Raniry Post, tabloid yang sudah lama vakum alias tidak terbit lagi. Media kampus ini hendak diterbitkan kembali.

Bergabung dengan media kampus membuat anak ini kian serius merintis jalan sebagai penulis. Di media itu, kemampuan menulisnya kian terasah. Tabloid Ar Raniry Post bahkan membawanya terbang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada pertengahan Agustus 2002 mengikuti “diklat jurnalis kampus se-Indonesia.” Tulisannya pun mulai dimuat di rubrik Opini Serambi Indonesia.

Si anak ini tidak pernah puas untuk belajar menulis. Dia selalu merasa bahwa kemampuan menulisnya masih kurang dan butuh banyak bimbingan dari penulis lain. Suatu kali, saat tinggal di Jakarta pada tahun 2004, dia melihat sebuah poster yang ditempel pada halte bus jurusan Depok. “Journalistic Days” begitu tulisan yang terbaca dalam poster itu. Untuk mengikuti pelatihan jurnalistik ini, peserta harus membayar. Karena uang yang tidak cukup, anak ini hanya mengikuti tiga dari empat hari pelatihan. Dia senang karena pelatihan tersebut itu dibimbing oleh penulis senior Amarzan Loebis, Tariq Hadad dan presenter Najwa Shihab.

IMG-20121201-00248.jpg
Tabloid Offside yang kini sudah offside

Di tahun itu juga, Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta menggelar pelatihan untuk aktivis Aceh, lagi-lagi anak ini mendaftarkan dirinya sebagai peserta. Pelatihan yang digelar di Wisma Tempo Sinargalih (WTS) itu menghadirkan Stanley, Hasudungan dan jurnalis media nasional. Selain teknik menulis, dari pelatihan yang dibuat di lokasi training milik Majalah TEMPO itu, si anak ini banyak belajar tentang tips menulis dan teknik mengelola media.

Tahun 2006, Southeast Asian Centre for E-Media (SEACEM), sebuah lembaga di Malaysia menggelar e-Media Training di kantor Malaysiakini.com. Anak itu yang sedang mengelola sebuah website diundang ke sana. Selain pengenalan tentang platform Wordpress, Blogger, dan Online Business, training juga memperkenalkan CMS Websitebaker kepada peserta yang berasal dari negara-negara ASEAN. Dari situlah, anak itu belajar tentang dunia website dan berupaya menjadi seorang web developer.

Sudah tak terhitung pelatihan menulis yang diikutinya, mulai Pelatihan Jurnalistik untuk Wartawan Aceh di LPDS Jakarta (2006), pelatihan Jurnalisme Damai oleh KIPPAS Medan di Berastagi (2007), Pelatihan Kode Etik Jurnalis LPDS dan Kedutaan Norwegia (2009), hingga Kursus Jurnalisme Sastrawi oleh PANTAU (2011).

Melalui pelatihan-pelatihan tersebut, anak ini belajar mewujudkan hasrat masa kecilnya menjadi penulis. Dia dalam kondisi sangat sadar ketika memutuskan menekuni dunia tulis menulis sebagai jalan hidupnya. Tak banyak anak seusianya kala itu memandang menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan.


Nama anak itu adalah Taufik Al Mubarak, seorang blogger di Aceh.
IMG-20120211-00153.jpg

Sort:  

Hayeue anak tersebut. Sekarang sudah jadi penulis terkenal.

Tapi, mantong satu-dua tingkat di bawah droekeuh, Man. Hahaha

Krak org, man jinoe sugesti leumoh

Apa pun yang terlihat itu kadang tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya, meunan pak kadih hahaha

Sekarang dimana beliau???hebat sekali beliau itu...
Ingin aku seperti beliau...belajar dengan beliau itu mungkin bisa meningkatkan ilmu dalam menulis saya...

kabar terakhir dia kembali jadi Harlan, cita-cita masa kecilnya, sambil mengelola acehpungo.com hahaha

Acehpungo.com itu online ya bg???atau ada kantor seperti serambi???

Itu yang ga tahu. Tapi, kata teman-temannya, di mana ada warung kopi ber-wifi kencang di situlah kantornya.

Susah juga menemuinya kalau begitu ya bg???
Saya lagi cari tempat magang/ojt guna memperbaiki tulisan namun diserambi hanya menerima 2 orang tapi belum ada kejelasan karena akan ada tahap seleksi di jurusan...
Makin pusing mencari tempat dan guru untuk mengajarkan saya menulis bg...
Maaf jadi curhat ne...hehehe

Kamu bisa belajar soal menulis pada penulis pakar ini: @isnorman, @hermanrn atau @mustafaismail

Kalau sama abg Taufik Al Mubarak boleh gak???

Tidak cocok belajar sama dia. Belakangan dia sudah lebih sering jadi tukang parkir ketimbang tukang tulis...

Hahahaha....nyoe cukop ngeri tulesan profil nyang geutuleh le bg Taufik.

Hahaha...nyoe keu bahan steemit mantong. Kalheuh kupeugot versi bhs inggris, hana dikap kakaka

mantap Djiwa bang, habis kata kata.

"Nama anak itu adalah Taufik Al Mubarak, seorang blogger di Aceh."

Terima kasih sudah mampir. Iya, nama anak itu memang Taufik Al Mubarak, sengaja ditaruh di bawah biar tidak terkesan lebay kwkwkwkw

Sama-sama bang, senang punya banyak teman, apalagi teman seperti abang yang tulisannya bagus hehe

Meuhambo Tgk Taufik. Wate lon baca di ateuh, na rencana nak komen lagee paragraf terakhir. Tapi ka awai dron😂

Hahaha sengaja kutuleh nan bak bagian terakhir. Bah bek sempat ka komen le droe kwkwkw

Lihat judul dan setelah baca, tak ada yang sedih kok Bro @acehpungo mengalir begitu saja. he he he he krak, lanjut sampai jadi buku biografi. Memang Taufik Al Mubarak nyan nah krak ateuh bareh krak ureung jih.

omeen, kop sediih bang :(

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.031
BTC 61840.18
ETH 2589.24
USDT 1.00
SBD 2.55