Menyasar Pemilih Milenial di Pemilu 2019 | Bahasa |

in #voters-education6 years ago (edited)



Sebuah spanduk beraroma kampanye dari seorang calon anggota DPR-RI terpasang di Kota Lhokseumawe, Aceh. Isi spanduk itu menyasar kawula muda atau kini dikenal dengan istilah keren generasi milenial sebagai pemilih agar menggunakan hak pilih pada pemilu 2019.

Meski tidak lagi menjadi penyelenggara setelah gagal terpilih baik sebagai anggota KPU maupun Bawaslu di daerah, saya tidak ingin menyampaikan komentar yang bernada mendukung atau tidak mendukung calon atau parpol tertentu. Meski saya tidak terikat dengan apa pun, saya tetap ingin menjunjung tinggi kode etik penyelenggara pemilu.




Kajian akademis

Selain karena ideologi itu sudah mengakar setelah 15 tahun menjadi penyelenggara tingkat kabupaten, saya juga masih menyimpan cita-cita menjadi penyelenggara pada periode mendatang. Persaingan menjadi penyelenggara pemilu di Aceh penuh dengan intrik, saling menjegal, bahkan menyebar fitnah. Bukan tidak mungkin, artikel ini pun bisa menjadi sumber masalah di masa depan. Apalagi, tulisan dalam dunia blockchain tidak akan bisa dihapus atau diedit setelah melewati masa tertentu. Jangan sampai pula ini menjadi masukan “masyarakat”, baik kepada tim panitia seleksi maupun kepada lembaga yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Saya sengaja membuat frasa masyarakat dalam tanda petik karena sesungguhnya, laporan itu tidak murni datang dari masyarakat melainkan suruhan calon penyelenggara.

Kalau mereka yang berhak mengambil keputusan itu mendukung saya, maka sesungguhnya artikel ini bukan masalah. Tapi kalau tidak mendukung, desah napas pun bisa menjadi masalah, persis seperti pepatah Aceh: nyoe benci cit kana pu daleh, nyoe sayang salah pih beuna (Terjemahan bebasnya: Kalau sudah benci, selalu saja ada alasan. Tapi kalau sudah sayang, meski salah tetap dibenarkan). Pengalaman selama ini, kemampuan dan integritas memang penting, tetapi tidak terlalu menentukan peluang menjadi penyelenggara.




Karakteristik pemilih

Jadi, saya ingin melihat masalah hanya dari aspek akademis saja. Kenapa hanya satu caleg yang menjad studi kasus? Pertama, ini gagasan secara kebetulan ketika melihat isi spanduk karena sering melintas. Kedua, caleg bersangkutan secara lisan mengatakan tidak keberatan jika spanduk miliknya dijadikan sumber kajian dengan pendekatan marketing politik.

Nah, soal marketing politik, terutama perilaku pemilih perempuan, memang masuk dalam tesis saya pada 2013 silam (meski saya baru lulus pada Januari 2015). Namun, segmentasi penelitian saya saat itu adalah pemilih perempuan ibu rumah tangga yang jumlahnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kali ini, pemilih milenial yang menjadi topik banyak peserta pemilu, termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Jumlah pemilih milenial memang sangat mendominasi. Generasi milenial adalah generasi yang lahir pada 1990-an atau yang baru saja memiliki hak pilih. Jika melihat dari data daftar penduduk potensial pemilih, tentu akan terlihat jumlahnya. Data ini seharusnya menjadi basis dari analisis tim kampanye caleg, partai politik, dan tim kampanye presiden/wakil presiden.

Pemilih milenial di setiap daerah memiliki karakter berbeda, tetapi ada beberapa variabel yang hampir sama. Mereka masih dalam tahap sekolah dan baru menginjak bangku kuliah semester pertama. Masih mencari jati diri, bicara apa adanya, dan tentu saja akrab dengan berbagai media sosial.


YIP.jpg


Bahasa milenial

Pesan calon anggota DPR-RI, Yusuf Ismail Pase, menggunakan bahasa seperti ini; “Kami Menghormati Kaum Milenial. Anda Butuh Keadilan, Perlindungan, dan Kesejahteraan. Jangan Golput Pemilu 2019”. Kalau melihat gayanya, dari sisi bahasa terdengar sangat resmi, apalagi dengan menggunakan sebutan “Anda”. Padahal, menyebutkan “Kamu” bagi generasi milenial terdengar lebih akrab dan cair. Saya jadi ingat ketika penulis Hernowo Hasim (kini sudah almarhum), diminta menulis di sebuah majalah remaja, ia juga menggunakan sebuah Anda. Tatkala redaktur mengedit menjad “kamu”, ia terkejut karena sebutan itu terdengar lebih akrab di telinga remaja. Sebutan ini tidak terlintas dalam pikirannya sebelumnya.

Dari sisi pesan yang ingin disampaikan, terasa umum dari tidak spesifik menyentuh kebutuhan generasi milenial yang ingin bebas berekpresi dan ingin eksis. Bahwa manusia membutuhkan keadilan, perlindungan (ini spesifik menonjolkan kapasitas Yusuf Ismail Pase sebagai pengacara), dan perlindungan, itu tak bisa dibantah. Tapi bagi generasi minenial yang masih dalam proses mencari jati diri, janji kesejahteraan sepertinya terlalu jauh. Mereka lebih mudah diajak dengan memberikan ruang kebebasan berekspresi, ruang menyalurkan hobi, dan ruang menunjukkan eksistensi diri. Jadi, penddikan politik bagi mereka harus melalui jalur itu.




Perang di sosmed

Media yang digunakan juga melalui berbagai saluran, tidak hanya spanduk. Generasi minenial sangat dekat dengan sosial media. Jadi, tidak heran kalau sekarang banyak caleg menggunakan sosial media sebagai tempat kampanye, meski masa kampanye baru boleh dilakukan tiga hari setelah KPU menetapkan daftar caloh tetap (Pasal 276 UU No 7/2017). Pilihan jenis sosial media juga mereprentasikan jenis generasi minenial yang suka menonjolkan diri dengan visual foto dan video.

Bagi caleg dari partai mana pun, pemilihan pose dan pakaian juga harus diperhatikan agar dekat dengan selera generasi milenial sehingga mereka bisa merasakan satu frekuensi dengan caleg yang mereka pilih. Foto dengan kaos oblong dan kaca mata hitam dengan sedikit senyuman yang alamiah (bukan cengengesan), akan kelihatan lebih trendi dibandingkan dengan foto sekadar nyengir yang terlihat dipaksakan. Coba perhatikan banyak baliho dan poster caleg sekarang, apakah senyum mereka mencermikan karakter yang sesungguhnya? Tampaknya tidak perlu ahli pembaca air muka dan gesture untuk menilai.

Dengan gencarnya pemberitaan media, banyak caleg dan peserta pemilu 2019 yang sadar betapa pentingnya merebut hati generasi milenial yang ke depan dipersiapkan menerima estafet kepemimpinan di berbagai bidang, tak hanya politik.

Ini akan membuat peserta pemilu harus bekerja keras dalam memainkan jurus meluluhkan hati generasi milenial. Penting diingat, generasi milenial tidak mau juga dianggap sebagai objek. Mereka tidak mau dilihat sebatas statistik untuk mengkonversi suara menjadi kursi kekuasaan. Mereka akan menjadi pemimpin di masa mendatang. Cara penguasa memperlakukan mereka pada masa kini, akan menentukan gaya kepemimpinan mereka di masa depan. Caleg yang memperlakukan generasi milenial sebatas objek dan melupakan mereka ketika setelah mendapatkan kursi, percayalah, akan menderita di masa tua nanti.[]






Badge_@ayi.png


follow_ayijufridar.gif

Sort:  

Barangkali, saya salah satu milenial yang akan sulit untuk tidak golput pada pemilu kedepannya.. ~

Tidak menggunakan hak pilih adalah hak warga negara, tetapi sangat tidak dianjurkan @samymubarraq. Saya pernah menulis tentang Robert Rizzo, manager City Bell di Los Angeles, AS, yang mengondisikan gajinya sebesar 786.637 USD atau dua kali gaji Presiden Obama, waktu itu. Dua wartawan LA Times, Ruben Vives dan Jeff Gottlieb, mendapatkan Pulitzer Prize pada 2012 ketika membongkar kasus korupsi itu. Ketika saya bertanya kepada mereka di kantor LA Time, Desember 2012, mengapa kasus korupsi yang begitu vulgar modusnya bisa terjadi di AS, dan mengapa Robert Rizzo yang ternyata tak tamat SD bisa menjadi manajer City Bell, mereka bilang warga kotanya tak terlalu peduli siapa yang menjadi manajer kota, yang penting mereka tidak diganggu dalam mencari uang. Dan warga tidak mau membuang-buang waktu, pikiran, dan tenaga untuk menggunakan hak pilih. Akhirnya, bandit korup itulah yang menjadi pemimpin.

Samalah seperti dikatakan Prof Machfud MD. Ketika orang baik-baik tidak menggunakan hak pilih, akhirnya orang gila dan korup yang menjadi imam kita (tapi ini bahasa saya, hehehehe...).

Saran saya, salat istoqarah dulu, baru memutuskan untuk menggunakan hak pilih atau tidak, dan untuk memilih siapa.

Yasalaamm.. Besar betul beban kita sebagai rakyat menghadapi pemilu ini ya, Bang. Pilih gak pilih tetap memberi dampak. Kalau mudharat lebih besar jika golput, maka saya akan menggunakan hak suara pada pemilu kedepan. Atau seperti kata Bang @ayijufridar, saya harus salat istikharah... 😐

Jangan dijadikan beban, dinikmati saja. Hehehehe....

KPU sang bak raker barosa mnrt info koran jg target menyasar pemilih milenial bek sampe golput. Sebab milenial tergolong rame di Indonesia

Sekitar 65 persen adalah pemilih milenial yang baru pertama kali menggunakan hak pilih. Karenana, parpol dan pasanga presiden yang berhasil menarik generasi milenial akan diperhitungkan.

Semoga generasi Milea ikut memberi suara di pemilu 2019 bang :D

Kesadaran hak politik memang harus dibangun sejak masih remaja, agar tidak buta politik saat dewasa. Kalau generasi muda sudah buta politik, masa depan bangsa bisa kacau.

Coin Marketplace

STEEM 0.31
TRX 0.11
JST 0.033
BTC 64550.89
ETH 3156.32
USDT 1.00
SBD 4.30