Saya dan García Márquez Ada Kemiripan
Saya merasa menjadi orang yang paling beruntung, hidup pada tahun setelah Gabriel García Márquez hidup. Tak ada yang lebih renyah daripada menelan roman magis layar belakang konflik.
Sebelaum saya dewasa dan menemukan karyanya, lebih dulu saya telah membuat ilustrasi dalam otak saya. Tentang orang-orang yang mati yang setiap pagi saya lihat dipinggir jalan.
Saat itu saya masih mengenakan seragam merah putih. Semuda itu saya kenyang melihat dan mendengar kisah-kisah orang hilang. Bagi saya anak perempuan, lebih menyeramkan cerita wanita diperkosa tentara.
Saya mulai mereka-reka bagaimana si mayat malamnya diculik, disiksa, dan dibunuh.
Tetapi anehnya cerita yang saya dengar-dengar semuanya dengan lucu mode on. Ada mayat yang digeletakkan sebelah orang jaga malam yang udah lelap. Penyampaiannya agak lucu. Padahal seram.
Mungkin karena terlewat seram, cerita pembantaian, orang Aceh telah melewati limit seram. Udah biasa. Setiap hari ada. Hari ini orang lain mati. Ohhh mungkin besok kita yang mati.
Ini perihal cerita yang selalu ada diotak saya, yang saya olah jadi cerpen, paling menceritakan sama dinding atau meja. Masa kecil saya habiskan dengan bicara sendiri, seakan lagi mendongengkan diri sendiri dengan fiksi dari latar belakang kisah nyata.
Ya saya bertutur, Marquez menulis. Tapi waktu besar profesi kami kebetulan sama. Seandainya saya terlahir di Colombia pasti saya akan berguru ke rumahnya.
Seandainya lebih awal saya menemukan buku karya Gabriel García Márquez, mungkin saya bisa sehebat dia. 6 maret 1927 ia pernah lahir dan dibesarkan kakek yang tinggal diwilayah konflik.
Sayangnya saya tidak punya kakek yang dapat cerita detail politik dan konflik. Dia juga berteman dengan Fidel Castro. Tapi saya hanya tetangga sama Abdullah Syafi'i.
Sungguh cerita magis milik Marquez melekat setiap baris dan lembar dari buku setebal bantal. Ia abadi gentayangan di otak saya hingga sekarang.
doodle from google.com