Yang Tetap Gesit di Usia Senja, Apa Rahasia Mereka?

Ilustrasi | sumber

"Saya mau ke kantor Partai NasDem, mau mendaftar jadi anggota, ini kan mau pemilu," ujar seorang ibu-ibu menjawab pertanyaanku saat kutanyakan hendak ke mana.

Pagi ini kami sama-sama menjadi pengguna jasa Trans Kutaraja, turun di halte yang sama pula, tak jauh dari kantor Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di Jalan T. Nyak Arief. Tujuanku selanjutnya menuju lokasi kerja di kawasan Simpang BPKP, aku sudah bersiap untuk membuka aplikasi ojeg online di handphone, saat kusadari ibu itu memiliki tujuan yang searah denganku.

"Kantornya tidak begitu jauh dari sini," kataku.

"Oh, kalau begitu jalan kaki sajalah, tidak perlu naik becak."

"Iya, kita jalan kaki saja, kalau ibu kuat," balasku lagi.

"Oh, ibu kuat kok," jawabnya penuh percaya diri.

"Ibu dari mana?"

"Saya tinggal di Perumnas Ujong Bate, tadi dari kota ambil pensiunan."

Namanya Yusniar. Semula kutaksir ia berumur 60-an, ternyata usianya sudah 72 tahun. Menjadi pensiunan kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Aceh sejak 16 tahun lalu. Tapi ia masih tampak gesit dan cekatan.

Tadi saat turun di Trans-K, aku yang semula berniat ingin membantunya menyeberang, eh, malah disalip olehnya. Begitu juga saat menyeberang pada jalur berikutnya, aku sedang melihat-lihat kendaraan di sisi kiriku, eh, si ibu ini malah sudah selesai menyeberang.

"Ibu seneng ya sama Partai NasDem?" tanyaku begitu kami mulai menyusuri trotoar di sepanjang depan BKKBN menuju arah Lampineung.

"Iya. Ketuanya kan orang Aceh."

Obrolan kemudian beralih dari Partai NasDem ke Perindo, di mana Harry Tanoe menjadi titik inti pembicaraan kami. Dari penjelasannya aku menilai Bu Yus ini adalah pengagum beratnya pemimpin partai politik yang wajahnya setiap hari muncul di televisi berlogo kepala burung. Tiba-tiba dia menanyai pendapatku. "Gimana menurut Anak kalau dia jadi Presiden kita?"

Oh, aku yang tak menyangka mendapat pertanyaan itu sedikit terhenyak.

"Dia bagus, tapi kalau saya tetap memilih yang seakidah," jawabku lugas.

"Iya, sama. Ibu pun begitu. Akidah itu penting buat kita, nggak boleh main-main. Padahal kalau dia Islam, Ibu mau jadi tukang masak di rumahnya. Ibu kan pandai memasak juga," katanya penuh semangat.

Aku mengangguk-angguk. Kagum pada semangatnya. Banyak orang tua lain yang seusianya sudah tidak lagi memikirkan hal-hal berkaitan dengan aktivitas duniawi, tapi Bu Yus malah masih memikirkan dunia politik dan berniat menjadi anggota parpol. Dunia yang selalu ramai dan gegap gempita. Bukankah ini sesuatu yang pantas dikagumi?

Dia juga sempat memberitahu resep sehat dan bugarnya. Bahkan sempat mendemokan berlari kecil untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar sehat. "Ibu nggak pernah makan-makanan berpengawet."

Cerita berakhir karena Bu Yus sudah sampai di tujuannya. Saya bersiap untuk memesan ojeg online, Bu Yus melangkah pasti ke pekarangan kantor partai besutan Surya Paloh itu. Tiba-tiba dia kembali menghampiri saya, "anak namanya siapa?"

"Ihan."

"Oh, Ihan ya. Nanti saya tanya sama orang di dalam, apa mereka kenal."

Saya tersenyum.[]