Hari yang Buruk
(Image source: advice.shinetext.com)
Ketika dia menjemputku ke sekolah hari itu, ibuku sedang tak enak hati.
Dia diam dan cemberut. Mulut merepet meluncurkan sederet ‘istilah’ dalam bahasa daerah tentang lelaki yang memotong antreannya di kantor pelayanan pajak. Aku mengabaikan kemurungannya dan memandang ke luar jendela mobil atau mengorek-ngorek lubang saku rok seragam sekolahku.
Aku bukan orang yang suka menawarkan jawaban atas pertanyaan yang tidak diminta. Jika ibu tidak bertanya ‘Bagaimana sekolahmu tadi?’, maka aku takkan bercerita tentang Rossa yang kukunya patah karena bola basket (olahraga), ujian matematika (lumayan), atau Karyn yang menyebalkan saat makan siang (bicara jorok), atau Gugun yang mengajakku untuk menonton film akhir pekan. Yang terakhir tak perlu kuceritakan meskipun ibu bertanya. Aku bukan lagi anak kecil yang membutuhkan persetujuan untuk setiap tindakanku. Sebagai remaja gen-Z, Aku punya beban dan tanggungjawab sendiri.
Lagi pula, ibu tidak bertanya apa-apa. Sepanjang perjalanan pulang ibu hanya bicara tanpa mengharapkan tanggapan dariku. Maka aku duduk dalam diam, mengamati lalu lintas yang tersendat-sendat dalam diam, melompat keluar dari mobil dalam diam, menenteng tas ransel bergambar lidah melet keluar dari bibir yang dower—kata ibu itu lambang ‘The Rolling Stones’, band favoritnya semasa SMA—ke pundakku dan mengikutinya ke dalam rumah, juga dalam diam.
Pintu penghubung garasi dan dapur masih setengah terbuka di belakangku, menempel di punggungku yang mendorongnya agar menutup dengan lembut, saat ibu mencengkeram kedua lenganku dan akhirnya, merebahkan kepalanya ke pundakku.
Aku memeluknya, bingung.
"Tante Warso meninggal, "serunya.
Aku berhenti pergi bersama kedua orang tua untuk makan malam di rumah keluarga om Warso sejak tahun lalu. Aku sudah cukup dewasa sekarang untuk tinggal sendiri di rumah, makan camilan sambil menonton televisi kabel yang beberapa salurannya dikunci dengan sandi pengaman. Tentu saja aku tahu sandi tersebut, tanggal pernikahan mereka.
Karena anak-anak om Warso lebih tua dariku dan mereka sudah punya pacar yang membuat mereka sibuk, orang tuaku tidak punya alasan untuk memaksaku ikut, duduk diam dan mendengarkan perbincangan tentang politik dan orang-orang yang tidak kukenal. Sepanjang pengetahuanku, keluarga mereka tidak hubungan kekerabatan dengan kami. Mereka tampak biasa-biasa saja.
Tante Warso yang memperkenalkanku pada semur jengkol.
Yang terlintas dalam pikiranku saat itu, kepingan-kepingan jengkol bertumpu di permukaan gundukan nasi uduk disiram kuah kecap kental manis kecokelatan, berhiasan taburan bawang goreng.
Tante Warso telah menerobos lampu merah saat mengendarai sepeda motor matiknya. Om Warso sedang bekerja di pabrik dan kedua anak laki-lakinya masih di sekolah.
Aku mengetahui dari berita sore di saluran televisi lokal bahwa sepeda motornya dibuat gepeng oleh truk pengangkut kontainer, bahwa dia tewas di tempat, dan polisi menyebutnya sebagai kecelakaan akibat ‘menggunakan gawai saat mengemudi’.
Sejak tahun lalu, tinggi badanku tumbuh jangkung melampaui kepala ibu.
Jadi dia terisak-isak di pundakku, menatapku meminta perlindungan seolah dia masih anak kecil. Aku diam saja, karena aku tahu dia tidak membutuhkan kata-kata penghibur lara. Bukan karena aku tidak tahu harus berkata apa, bukan juga karena sedang memikirkan semur jengkol.
Aku memeluk ibu, membiarkannya menangis.
Aku merasa ibuku sedang mencoba membentukku menjadi manusia dewasa yang dia butuhkan saat itu juga, seperti saat dia mendandaniku ketika aku mengikuti pentas sendratari ketika masih kecil.
Dan mendadak aku menyadari, saat aku mendengarkan isak tangisnya, aku tidak bertanya apa yang telah membuat harinya begitu buruk.
Bandung, 27 Februari 2018
Ada yang terputus tiba-tiba di cerita ini. Sehingga membuat pembaca bisa saja berandai-andai dengan penilaian mereka. Apakah rasa sedih itu datang dengan begitu menyakitkan pada ibu bersebab kehilangan Om Warso?
Dengan jumlah kata-kata yang terbatas (kurang dari seribu), ukuran keberhasilan*flash fiction' adalah membuka imajinasi pembaca. Tidak selalu fiksi kilat saya berhasil, tapi yang ini saya anggap sukses besar karena komentar bang @apiloply.
Teurimong geunaseh, bang
mungkin aku bisa memahami, walau mungkin salah, bahwa Aku tak perlu tahu apa yang membuat ibu harus begitu bersedih dengan meninggalnya tante Warso, tapi Aku merasa ibuku sedang mencoba membentukku menjadi manusia dewasa yang dia butuhkan
hm, seperti ada bekas yang tertinggal sesudah membaca ini....
Flash fiction yang paling terkenal adalah fiksi 6 kata yang konon katanya merupakan karya Ernest Hemingway:
DIJUAL, SEPASANG SEPATU BAYI. BELUM DIPAKAI.
Enam kata yang meninggalkan sederet tanya bagi pembaca: Kisah tragis apa di balik IKLAN tersebut? Apa yang terjadi dengan si bayi? Bagaimana dengan kondisi psikologis orang tuanya?
Memang tujuan flash fiction adalah meninggalkan jejak kepada pembaca, setidaknya (untuk genre komedi dan horor) memberi kejutan.
Saya sering 'dimaki' pembaca yang mengaku baru ngeh setelah mengulang baca 2 - 3 kali, yang jika dibaca biasa hanya butuh waktu 1 - 3 menit saja. Hahahahaha.
Terima kasih, bang @emong.soewandi. Saran dan kritik selalu saya tunggu.