Jejak Perang di Masjid Lueng Bata
Satu komplek dengan dua masjid, ini jarang terlihat di Indonesia. Tapi di Lueng Bata, bangunan masjid tua masih dipertahankan bersanding dengan bangunan baru yang megah.
Masjid tua persis terletak di samping masjid baru saat ini, di Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Bagi yang kurang perhatian, bangunan itu akan lolos dari pandangan. Ukurannya kecil saja, 12 x 10 meter. Kapasitas juga yang menjadi alasan masjid itu tak lagi dipakai untuk salat jamaah.
Bangunannya masih dipertahankan, menjadi ruang bagi anak-anak sekitar menggelar pengajian. Hampir sama seperti masjid tua pada umumnya di Aceh, dibangun dengan dominan kayu dengan sebuah kubah stainless steel yang ditambah belakangan. Bagian atapnya bertingkat dua, bagian atasnya kecil dengan sisa ruang di antaranya untuk sirkulasi udara.
Bangunannya persis Masjid Tuha di Ulee Kareng Banda Aceh. Lihat Zuhur Sejenak di Masjid Tuha
Masjid itu menjadi saksi kebersamaan warga yang membangunnya dengan swadaya. Didirikan pada abad ke-18, warga menyumbang beras dipimpin oleh ulama besar Aceh kala itu, Tgk Imum Lueng Bata. Dinding betonnya kini hanya terlihat setengah meter, selebihnya kayu. Dinding beton di sekitar masjid dulunya ada beberapa bidang, konon menjadi benteng pertahanan dalam melawan Belanda.
Keberadaan Lueng Bata sudah dikenal sejak masa kesultanan. Wilayah kemukiman dengan Ulee Balang Teuku Raja. Wilayah itu langsung berada dalam kekuasaan Sultan Aceh. Kedudukan Imum Mukimnya setara dengan panglima sagi.
Saat perang, Masjid Lueng Bata memegang peranan penting. Teungku Imum Lueng Bata memimpin wilayah itu saat agresi Belanda. Dia memerintah warga dan pasukan Aceh untuk mempertahankan istana dalam. Tapi Belanda berhasil merebut istana di sekitar Masjid Raya Banda Aceh dalam agresi kedua pada 24 Januari 1874. Sultan Aceh Mahmudsyah, Panglima Polem dan Teuku Baet terpaksa mundur ke Lueng Bata.
Sultan sakit terjangkit kolera kala mundur dari Istana. Dia wafat 29 Januari 1874 di Kawasan di Pagar Ayee (tidak jauh dari Lueng Bata), selanjutnya dimakamkan di Samahani, Aceh Besar. Tgk Imum Lueng Bata dan Tuwanku Hasyim Banta Muda yang bertahan bersama para pasukan Aceh terus membangun perlawanan dari masjid tua tersebut.
Masjid itu terus bertahan sampai Indonesia merdeka. Pertambahan penduduk, warga kemudian berisiatif menyumbang hartanya untuk membangun masjid yang baru pada 1968. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Agama kala itu, KH Muhammad Dahlan. Masjid lama tetap dipelihara dan dirawat sebagai cagar budaya.
Saat ini masjid baru sedang diperluas sejak empat tahun lalu. Beberapa bagian masih belum siap. Tampilannya mewah bergaya timur tengah. Begitulah, setiap generasi menciptakan sejarahnya sendiri. []
Note: semua foto milik sendiri
Ini adalah artikel pertama yang saya posting melalui aplikasi #esteem-surfer. Thanks @good-karma and @esteemapp for this application.
peninggalan sejarah....bagus untuk di lestarikan
Dari satu masjid tua ke masjid tua lainnya, singoh ho lom brader @abuarkan?
Hahaha, payah ta cek aleh pat na lom
Luar biasa patut di kasih jempol
Ulasan yang bagus tentang sejarah, Bang Adi Warsidi, berkelas memang tulisan Jurnaleh Bansa Aceh