Memoar Matahari Terbit #9: Memori Boh Meuria

in #steempress6 years ago


Sore tadi istri sepupuku, Iqlima, tiba dari Meureudu, Pidie Jaya. Seperti biasa, jika ia pulang ke rumah Nenek maka ia akan membawa banyak sekali barang bawaan. Karena masih dalam suasana lebaran, Iqlima membawa beberapa jenis kue kering. Ini sudah jadi kebiasaannya sejak jadi cucu menantu Nenek empat tahun lalu. Harusnya dia sudah berada di rumah Nenek sejak lebaran Iduladha hari pertama, tapi karena sehari sebelumnya adik ibunya meninggal dunia, barulah sore tadi Iqlima sempat 'mudik' ke rumah Nenek di Teupin Raya, Pidie.

Selain kue kering, Iqlima juga membawa beberapa perlengkapan dapur, daging kurban, udang segar, hingga rambutan. Di antara barang-barang itu semua, dia rupanya juga membawa sekantong rumbia atau boh meuria. Buah dengan cita rasa kelat ini juga seringkali disebut sebagai salak Aceh.

Aku yang memang sudah sangat lama tidak melihat rupa buah ini langsung kegirangan. Terbayang sudah bila nantinya buah ini akan berubah wujud menjadi rujak ulek yang kelat-kelat manis bercampur pedas dan asam jawa. Uhm...

Terakhir kali kulihat buah rumbia ini di pasar Keutapang Banda Aceh. Namun aku lupa kapan terakhir kali mencicipinya secara langsung. Mungkin belasan tahun lalu, itupun buah rumbia yang sudah diasinkan atau istilah lokalnya boh meuria teupeujruek. Olahan rumbia ini terkenal di daerah barat selatan Aceh. Dulu teman se-kos yang berasal dari Nagan Raya pernah memberiku asinan rumbia.

Melihat buah rumbia segar dan besar yang dibawa Iqlima tadi, seolah mengembalikan ingatanku tentang secuil kenangan masa lalu. Kenangan masa kanak-kanak yang indah. Seketika aku seperti terlempar ke masa lalu. Seolah-olah aku sedang berada di Keude Dua, kampung tempat nenek-kakek dari sebelah ayah tinggal. Kampung ini berjarak beberapa kilometer dari kampung tempat kami tinggal di Desa Padang Peutua Ali. Belakangan, ketika konflik di Aceh Timur kian parah, kami yang tadinya tinggal di pedalaman terpaksa pindah ke Keude Dua.

Ketika masih tinggal di Padang Peutua Ali, sesekali saat libur sekolah aku dan adik berlibur ke rumah Nenek. Walau cuma beberapa hari saja tapi sangat menyenangkan bagi anak SD seperti kami. Waktu itu rumah Nenek masih berada di tanjong yang dekat dengan anak sungai yang bermuara ke Kuala Idi. Berada di antara kebun kelapa dan mangga. Saat pasang kami sering mandi di sungai. Sesekali mencari kerang. Belakangan tak pernah lagi karena takut pada ular air atau hewa-hewan air lainnya. Maklum, aku anak ladang, sudah tak pandai berenang, takut pula melihat air banyak.

Sekali waktu, aku dan Cek Muna --adik perempuan Ayah yang paling bungsu-- yang usianya sepantaran denganku, bersama beberapa teman lain mencari buah rumbia. Pohon ini dengan mudah tumbuh di rawa-rawa, di tepi parit, atau di areal persawahan yang selalu tergenang air. Yang menarik ialah pada cara kami menikmati buah ini.

Setelah mendapatkan beberapa buah rumbia, kami memotong buluh dan mengambil masing-masing sekitar satu hasta saja. Satu sisinya dibiarkan berlubang. Kemudian daging buah rumbianya kami masukkan ke dalam buluh, diberi garam, gula, dan asam jawa. Selanjutnya, menggunakan batang kayu kami tumbuk-tumbuklah daging rumbia tersebut hingga lumat.

Cara memakannya juga sangat tradisional, daging buah rumbia yang sudah lumat tadi kami cungkil dengan batang kayu lalu kami jilati. Begitu seterusnya sampai habis. Ha ha ha. Kenikmatan tiada tara.[]

Baca juga cerita sebelumnya di sini:

Memoar Matahari Terbit #8: Menggembala

 

Posted from my blog with SteemPress : https://senaraicinta.com/2018/08/23/memoar-matahari-terbit-9-memori-boh-meuria/
Sort:  

Di kampung Kak Aini buah ini langka, jadi memoar yang Ihan ceritakan unik dan sensasinya dapat, tapi benar-benar nggak kebayang gimana rasa asyiknya makan buah rumbia. Dulu kami sering makan sejenis kuini yang biasanya kami sebut dengan 'bacang', cara makannya langsung gigitin kulitnya gitu. Hahahaha nggak pakai dicuci pula.

di kami kuini dan bacang/mancang itu berbeda, sama-sama harum tapi...

Sekarang udah susah nyari buah ini. kami biasa makannya pakai sambel kecap

di pasar, tapi harganya mahal,

Hello @ihansunrise, thank you for sharing this creative work! We just stopped by to say that you've been upvoted by the @creativecrypto magazine. The Creative Crypto is all about art on the blockchain and learning from creatives like you. Looking forward to crossing paths again soon. Steem on!

Udah lama Kali g liat buah ini..kayaknya dulu pernah makan pake pliek u

iya, bisa juga disantap sma pliek u...

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 62102.06
ETH 2415.08
USDT 1.00
SBD 2.49