Tarian-tarian Cinta Pemuas Birahi – Bagian 1
Aku lahir saat Bulan tengah purnama. Kata Ayah, malam itu Bulan sangatlah terang. Tak ada awan yang menghalangi cahayanya menghampiri wajah letih Mak seusai melahirkanku. Tangisanku waktu itu menghentakkan seluruh rumah, di mana hampir seluruh kerabat berkumpul. Dan wajah pias mereka kembali bersinar setelah tangisku pecah. Memecah malam yang kian terang bagai siang.
Lahirku menjelang dentang dua belas kali pada jam dinding rumah yang usang. Tentu saja rasa bangga menghampiri seluruh keluarga. Akulah cucu pemula keluarga besar Mak dan Ayah. Suara Ayah dikumandangkan Ayah tepat di telingaku yang belum mengerti apa-apa. Mungkin aku hanya mendengar, namun belum bisa membedakan setiap kalimat yang terucap. Aku dimandikan dengan air yang sangat dingin, andai saja aku bisa mengeluh, akan kularikan kaki dari dinginnya air menjelang sepertiga malam itu. Kemudian aku dibungkus dengan kain hangat. Ditidurkan dekat Mak yang hampir terlelap. Mata kecilku bersitatap dengan Mak, hanya menatap saja. Tak berpaling darinya.
Tangisku merayap memecah hening, seisi rumah malah tertawa. Tawa bahagia akan lahirnya seorang anak yang kemudian akan dibanggakan. Aku dirangkul dalam pelukan, diberi susu alami yang kurasa sangat kental. Aku hanya mengira, mungkin memang begitu rasanya.
Bulan di angkasa kian merangkak menutup malam. Suara gaduh dari dalam rumah masih belum surut. Sesekali tawa Ayah membahana malam. Aku yang baru dilahirkan cukup menyenangkan semua orang. Dengan bangga Ayah memamerkanku pada kerabat, walau mereka sama-sama sudah melihatku. Namun aku belum mengenal seorang pun dari mereka. Karena aku baru dilahirkan tidak lebih satu jam lalu.
Kutahu, Ayah patut bangga. Aku anak pertama dan cucu pertama. Baik dari pihak Ayah maupun Ibu. Bangganya semakin tak terkira begitu mengetahui bahwa aku laki-laki. Sebagai penerus keluarga. Sebagai tulang punggung keluarga. Sebagai cahaya dalam keluarga. Sebagai pemimpin!
Lalu aku diberi nama Syahru Rahmat. Alasannya cukup kuat. Karena aku lahir di malam Bulan purnama. Syahru artinya bulan. Dengan menepikan Bulan mencangkok cahaya dari Matahari. Bulan tetap memiliki tempat tersendiri di hati orang kampungku. Dengan cahaya di namaku, akan menerangi seluruh kampung dengan kebajikan yang kutoreh. Sedangkan Rahmat berarti karunia. Ayah dan Mak begitu berbahagia dengan lahirku. Seperti yang sudah kukatakan tadi. Aku satu-satunya cucu dari keluarga besar ini. Penantian yang lama akhirnya aku ada, menyemarakkan hari-hari mereka yang sepi. Tangisku akan menghiasi siang malam mereka sebelum mengantar lelah ke pembaringan.
Tidak cukup kata untuk kuuraikan tentang lahirku. Aku masih bayi, belum mengerti akan kata-kata.
Kuinjak kaki di usia yang terlampau cepat. Sekarang tujuh tahun berselang setelah malam Bulan purnama. Malam ini juga purnama, namun aku tidak menemukan keistimewaan pada Bulan di langit luas. Aku menatap ke atap Bumi dengan nelangsa. Berharap Bulan itu berubah lebih besar cahayanya. Seperti yang diagung-agungkan orang kampung begitu mendengar namaku disebut. Dan bintang-bintang bersanding rapat agar Bulan taklah kesepian. Harapku begitu, nyatanya tidaklah demikian, Bulan tetap bercahaya sendiri sedangkan bintang berkecip sayu bersama saudaranya.
Bayang langkahku tidak seelok teman-teman di bawah temaram cahaya Bulan. Aku berdiri di depan meunasah[1] sambil memegang obor. Oborku pun tak nyala karena dua alasan. Pertama karena Bulan purnama dan kedua karena minyaknya sudah habis. Kakiku begitu berat kubawa pulang. Padahal sudah lebih lima belas menit yang lalu kami usai mengaji.
Tiap malam kami mengaji Al-Qur’an di meunasah kampung. Diajarkan oleh Teungku[2] Jamhur. Seluruh anak-anak seusiaku mengeja hijaiyah[3] di sini. Teungku Jamhur selalu sabar mengajari kami. Kami memang tak banyak, hanya dua puluh orang yang tiap malam rajin datang. Seperempat dari kami adalah anak perempuan, selalu manis dengan mengenakan kerudung. Selebihnya adalah anak laki-laki yang sering lari-lari saat mengaji. Mereka seakan tak perlu mengaji karena ada Teungku Jamhur yang selalu menjadi imam waktu shalat. Mereka juga berpikir, setelah usia kanak-kanak bacaan ayat suci tidak penting lagi. Sudah sibuk dengan sekolah dan kerja setelah itu. Masih ada anak-anak seusia kami yang tidak ke meunasah, mereka memilih ngaji di rumah dan diajarkan kedua orang tua. Kadang mereka tidak mengaji, ikut orang tua menonton tayangan televisi sampai larut.
Sebelum Magrib kami sudah berada di meunasah, belajar ngaji akan dimulai sehabis Magrib dan selesai sebelum Isya. Bagi sebagian dari kami yang jarang shalat lima waktu, Shalat Magrib dan Isya selalu ditunaikan. Teungku Jamhur tak segan-segan memukul kami dengan Awe diplah tujoh[4] jika kami tidak patuh. Awe ini sudah seperti tradisi di kampungku. Setiap teungku yang mengajar ngaji tetap memiliki awe. Bukan untuk menakut-nakuti namun benar untuk memukul. Teungku tidak segan-segan mendaratkan awe ke pundak kami jika main-main dalam mengaji. Sikap teungku juga mendapat restu dari orang tua sehingga kami merasa sangat ketakutan bila berbuat salah.
Di antara kami, Daman kerap kena pukul. Daman paling pembangkang dari semua anak. Datang seusai Magrib, ngaji dengan suara pelan sekali agar tidak terdengar, huruf hijaiyah pun tak dikenal dengan baik. Hampir tiap malam, Daman duduk di sampingku. Jika aku tidak mengajari dan menjawab huruf apa yang ditanyainya, dia tak segan-segan mencubit.
Aku membayangkan, awe teungku Jamhur hanya diperuntukkan untuk Daman. Anak-anak lain tak pernah dipukul. Sesekali ada yang berlarian di dalam meunasah dan bersenda gurau, itu juga setelah mengaji dan menunggu Azan Isya. Kami semua mendapat giliran azan Magrib dan Isya. Tentu saja hanya untuk anak laki-laki. Lagi-lagi Daman menghindar dari kewajibannya. Daman tidak datang saat gilirannya mengumandangkan azan. Teungku Jamhur punya peraturan tersendiri, di lain hari, Daman menggantikan orang lain menyuarakan azan. Yang terjadi, Azan Magrib mendahulukan syahadat kepada Nabi Muhammad setelah itu baru kepada Allah. Kami tertawa dan Daman terus melanjutkan azan. Seusai azan, Daman malah melenggak-lenggok keliling meunasah. Daman baru sadar azannya tidak benar setelah Teungku Jamrur memintaku azan kembali.
Malam Bulan purnama ini, Daman tak hadir. Menjelang senja, Maknya datang ke rumah memberi kabar Daman sakit. Aku begitu khawatir saat Daman tak di sampingku. Ketakutanku pada sesuatu yang mungkin akan terjadi. Jika Daman ada di dekatku, aku merasa aman seperti bersama kedua orang tuaku. Di mata orang lain, Daman boleh dikatai anak tak sopan. Di mataku, Daman merupakan sahabat yang selalu membelaku.
Ini malam hampir sama seperti malam aku dilahirkan. Hanya berbeda waktu. Aku ingin merasakan hawa tujuh tahun silam. Kuhirup dalam-dalam udara malam yang dingin. Serasa menghadirkan cahaya Bulan ke dalam sanubariku. Lagi-lagi aku hanya mendapatkan kehampaan. Bulan seperti memancarkan redup dalam kesendirianku. Purnama yang terang tak mampu membuatku terang seperti harapan Ayah dan Mak. Aku merasa membebani mereka, dengan apa yang kumiliki.
Kuperhatikan gerak lincah teman-temanku di halaman meunasah. Kaki mereka sejajar menyentuh tanah. Lari mereka juga tegap, gagah dan kokoh. Tidak mudah jatuh dengan sekali tarikan. Mereka juga tidak perlu menopang pada sesuatu saat berlari. Mereka kuat karena mereka dilahirkan sempurna. Di mataku yang tidak sempurna.
[1]Surau
[2]Ustad
[3]Huruf Arab
[4]Rotan dibelah tujuh
Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/08/tarian-tarian-cinta-pemuas-birahi-bagian-1
Halo @bairuindra, terima kasih telah menulis konten yang kreatif! Garuda telah menghampiri tulisanmu dan diberi penghargaan oleh @the-garuda. The Garuda adalah semua tentang konten kreatif di blockchain seperti yang kamu posting. Gunakan tag indonesia dan garudakita untuk memudahkan kami menemukan tulisanmu.Tetap menghadirkan konten kreatif ya, Steem On!
Sama-sama ya