Segelas Pesan dan Darah Jawa di Tanah Aceh – Bagian 9

in #steempress6 years ago


Semilir angin menghembus wajahku yang beku. Benar-benar terasa beku. Pagi-pagi sekali aku sudah berdiri di depan tanah sepetak, depan masjid. Aku akan mendirikan pondok kecil di sini, sebagai warung kopi pelepas lelah para pekebun.

Dibantu Wahid aku membangun pondok. Teh Ratna masih belum membuka suara sejak aku mengatakan rencana ini. Wahid yang jadi tempatku bersandar setelah itu. Penuh semangat Wahid mendukung ideku dan rela membantu membangun pondok kecil di pintu masuk Kampung Pedalaman.

Tangan Wahid sangat cekatan mengerjakan ini. Bambu yang sudah terpancang vertikal diikatkan dengan bambu horizontal. Sekarang tinggal mengaitkan atap rumbia untuk meneduhkan kepala. Bangku duduk pun dibuat memanjang dengan meja juga serupa. Bilik kecil disekat dengan kain terawang sebagai dapur tempatku menyiapkan kopi dan penganan lain. Warung ini sudah jadi, tinggal menunggu orang-orang datang meneguk segelas kopi panas di pagi hari, dan sepulang bekerja.

Aku dan Wahid mengambil waktu istirahat. Waktu sudah siang. Sebentar lagi azan berkumandang dari masjid di depan warung kopi milikku – dan Wahid. Pondok kecil ini tak layak kusebut warung kopi, sangat kecil.

Kami sama-sama diam. Di kursi memanjang ke utara, aku duduk di sisi selatan dan Wahid di sisi utara. Jaraknya dua meter, tetapi rasanya seperti dua mil keberadaanku dengan Wahid.

“Bagaimana kabar Kak Ratna?” Wahid membuka pembicaraan kami. Aku yang sedang mengayun kaki terhenti. Suaraku hilang entah ke mana. Pertanyaan Wahid jelas-jelas menunjukkan dia tidak pernah ketemu Teh Ratna, atau Wahid hanya sekadar basa-basi.

“Sudah lama saya tidak ketemu Kak Ratna, kelihatannya dia makin kurus ya?” ujar Wahid lagi.

“Teteh baik, dia sibuk dengan pekerjaannya. Kamu tahu sendiri sebagai bidan desa banyak sekali orang berobat ke rumah kami, belum lagi jika ada orang yang melahirkan, Teteh harus bangun di malam buta ke rumah orang bersalin!”

Wahid mengangguk-angguk.

“Kapan kamu terakhir ketemu Teteh?” tanyaku. Ini saat yang tepat untuk menjawab teka-teki kedekatan mereka.

Wahid tidak langsung menjawab. Dia seperti mengingat sesuatu sebelum memberi jawaban.

“Saya sudah tidak ingat, waktu itu Kak Ratna ke rumah…,” entah Wahid sengaja menggantung kalimat agar aku penasaran, entah karena dia benar-benar lupa apa yang terjadi waktu itu. “Saya sudah katakan tidak usah datang ke rumah, tidak enak dilihat orang. Kak Ratna terus datang, saya melihat sekeliling tidak ada orang langsung menutup pintu biar orang tidak curiga Kak Ratna masuk ke rumah pria lajang seorang diri!”


Aku menunggu. Ini semacam pesan berantai yang kuterima belakangan ini. Jawaban yang begitu polos.

“Kak Ratna menawarkan diri terus kepada saya,”

Menawar diri? Apa maksudnya? Pikiranku semakin kalut.

“Kak Ratna sudah lama melajang, katanya ingin segera menikah. Dia bilang suka sama saya!”

Aku sudah tidak konsentrasi lagi. Kepalaku ringan. Di mataku ada kunang-kunang. Jangan sampai aku tersungkur dan mikin malu.

“Saya tidak suka dipaksa-paksa!”

Artinya?

“Soal umur boleh beda, tapi saya tak suka sama Kak Ratna karena dia memaksa saya, lagi pula saya suka sama orang lain!”

Jujur. Pemuda kampung ini berkata apa adanya. Di depanku yang sedang berpacu dengan kecepatan detak jantung menahan pilu. Aku tak mampu berkata apa-apa selain diam dan menunggu lagi kelanjutan ucapan Wahid. Pria itu sudah menghipnotisku dengan kedewasaan daya pikirnya. Ternyata, orang kampung bisa berpikir demikian juga. Alangkah indahnya hidup jika aku bisa bertemu dengan orang seperti itu, kembali.

“Maaf, saya harus berkata demikian. Saya tak bermaksud apa-apa. Saya mencoba meluruskan kesalahpahaman antara kita,”

Kita? Wahid menggunakan kata kita dalam pembicaraan kami. Aku sudah berada dalam angan-angan tingkat tinggi. Menjulang menggapai angkasa raya bersama sayap kupu-kupu yang belum kupunyai.

“Saya harap, kamu bisa akur kembali dengan Kak Ratna!”

Kamu? Aku semakin terbang. Wahid tidak lagi menggunakan sebutan kakak dalam memanggilku. Kata kamu cukup mencerminkan kedekatan antara kami berdua. Kata-kata terakhir Wahid tidak lagi kudengar, aku sudah tidak di bumi. Aku sudah terbang. Ke atas langit hutan berpohon tinggi berhawa dingin!

***


Posted from my blog with SteemPress : http://ceritapria.xyz/2018/07/segelas-pesan-dan-darah-jawa-di-tanah-aceh-bagian-9

Sort:  

Halo @bairuindra, terima kasih telah menulis konten yang kreatif! Garuda telah menghampiri tulisanmu dan diberi penghargaan oleh @the-garuda. The Garuda adalah semua tentang konten kreatif di blockchain seperti yang kamu posting. Gunakan tag indonesia dan garudakita untuk memudahkan kami menemukan tulisanmu.Tetap menghadirkan konten kreatif ya, Steem On!

Terima kasih ya.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.15
JST 0.027
BTC 60256.67
ETH 2327.64
USDT 1.00
SBD 2.46