Harmoni Anomali (3)

in #indonesia6 years ago (edited)


Source

Sebelumnya...


Sesuai harapan, keduanya tumbuh menjadi pasangan yang manis dan menularkan bahagia mereka bagi sekitar. Aku berhasil meredam iri dengan berupaya sibuk menuntaskan skripsi dan mencoba mencari sosok lain sebagai pengganti sang Dara.

Saat ini, disanalah mereka berdua. Di sisi timur meja kopiku. Sedang bercengkrama bertukar gelak dan senyum. Nyaris tanpa kata. Kuangkat gelas kopi ke arah keduanya, mereka membalas dengan mengangkat gelas masing-masing. Kulambaikan tangan pada pelayan dengan maksud membayar harga kopiku. Sang Jejaka memberi tanda, "Biar aku yang bayar."

Aku melangkah ke tempat kreta-ku terparkir tanpa berupaya melintasi meja mereka.

***

"Sudah selesai?" tanya Guree Mus yang kubalas dengan senyum dan anggukan. "Sudah betul puaskah kau eksplorasi dua orang itu?" tanyanya separuh tak percaya.

"Udah, Guree*... Aku mencoba lebih menggali komplikasi jiwa dalam isu gender. Selebihnya pernak-pernik alur dan plot yang mencoba menampilkan detail, Guree. Aku tak yakin akan berhasil soal detail karena kutebar di sepanjang cerita," paparku.

"Hmmm..." gumam Guree Mus.

"Penyakit kau itu masih belum berubah. Bikin kalimat panjang. Pembaca bisa sesak napas membaca kalimatmu. Padahal menempatkan koma di beberapa tempat akan memangkas kesan kalimat panjang. Tapi uraianmu lumayan menarik. Cuma karakter 'aku' dalam ceritamu ini terlalu naif. Kurang agresif sebagai lelaki. Nggak laki banget kalau kata anak Jakarte," cecarnya.

"Guree Mus peugah haba ka pakek banget, sang ka habeh pliek u lam pruet...,"* balasku melempar kelakar. "'Kan udah kubilang, itu kalau kata anak Jakarte..." balasnya ketus, tak mau kalah. "Alah... coba pakai istilah anak Kembang Tanjong aja lah...", balasku bersambut sebaris cengiran masamnya.

"Maksudku 'gini, Guree, kalau si 'aku' menerima anomali si Dara, berarti 'aku' adalah seorang Gay. Dara tak mau menjadikan 'aku' sebagai gay. Bisa saja 'aku' akan berpura-pura menjadi pasangan Dara. Di mata orang mereka berdua normal, tapi di mata mereka secara internal 'aku' telah menjadi gay. Parahnya lagi, 'aku' menjadi gay secara terpaksa," paparku membela diri.

Guree Mus cuma manggut-manggut mendengar penjelasanku. "Serumit itu, ya..." celetuknya. "Sudah sana. Kau temui modelmu. Segera print file ini. Beri waktu mereka membaca. Mereka berhak tau tentang imajinasimu atas akting mereka," ujarnya dengan nada memerintah.

Aku melambaikan tangan ke arah sepasang model di meja Timur. Memberi tanda aku akan segera ke sana usai mencetak file cerita yang kuketik 3 jam terakhir. Kutuju ruang panitia di bangunan utama warkop, rumah peninggalan Belanda di pusaran utama Banda Aceh. Usai mencetak, kuhampiri keduanya. Kami bersalaman untuk pertamakali, Jaka dan Dara dalam ceritaku. Aku mengungkap terimakasih atas kesediaan mereka menjadi 'pajangan' di kelas hari ini. Kuangsurkan 2 eksemplar cerita dan meminta mereka membacanya.

Hari ini kelas menulis kami mencoba mengeksplorasi sepasang insan yang sedang berbahagia di meja sebuah warung kopi. Aku terlalu jenuh dengan warkop yang mulai kuakrabi sejak 1999. Seingatku, perjamuan kopi pertama membuat aku berani meninggalkan mata kuliah Sosiologi. Cuma, penyelenggara kelas menulis beralasan, warung kopi adalah tempat populer bagi remaja di Banda Aceh. Wahana gaul, alasan mereka lagi.

Penyelenggara memberi syarat kedalaman konflik internal dan/atau eksternal pasangan tersebut dengan akhir sedih, akhir bahagia dan akhir menggantung.

Jaka dan Dara dalam ceritaku tengah serius membaca isi khayalku tentang mereka. Mereka kadang tertawa, mengernyitkan dahi, menahan napas dan menampakkan mimik terkejut. Ah... lumayanlah. Ada emosi yang teraduk dari cerita yang kutulis, pikirku.

Usai membaca keduanya tersenyum geli menatapku. Sama terlihat antusias, tapi sang Dara yang belakangan kutahu bernama Canden menyerobot giliran bereaksi pertama. Ia memberi tanda pada sang Jejaka bernama asli Rahman itu untuk mengalah.

"Bang... koq bisa mikir 'gini, sich?" tanyanya. "Ini di luar dugaanku. Sama sekali di luar dugaanku, Bang..." aku membiarkannya menumpahkan kegemasan reaktif atas kisah yang kurangkai.

Setelah ia usai bertanya dan berceloteh aku memutuskan menjawab, "Ada kawan lamaku yang bilang, pertanyaan yang dimulai dengan 'koq bisa' cuma bisa dijawab dengan, 'ya bisa lah'," jawabku mencoba menggodanya. Aku harus mengulur waktu lebih lama untuk menikmati ekspresinya lebih lama pula. "Ah... Abang ini bisa aja..." balasnya sebal. "Ini serius, Bang..." ujarnya memelas.

"Jangan terlalu serius, Dek... Biasanya kalau serius yang harus dilakukan adalah melamar," ujarku menambahkan dosis godaan. Aku dan Rahman tertawa lepas sementara paras Canden bertambah merengut manja-menggemaskan.

"Ya... udahlah kalau Abang nggak mau jawab," ujarnya mengusung raut cemberut.

"Maksudku, kalau memang serius, Dek Canden harus mengubah pertanyannya," jawabku berusaha keras menambah interval waktu.

"Iiih... Abang ini lah..." rengeknya mendayu. "Ya udahlah... Mengapa Abang bisa berkhayal tentang kami berdua sedalam itu? Puas?!" ujarnya menampilkan ekspresi merajuk bin manja wal menggemaskan.

Aku menahan gelak yang menggelitik di sekitar pusar melihat ekspresi sebalnya. "Begini, aku selalu beranggapan bahwa kecenderungan kebersamaan sepasang insan berbeda kelamin adalah hasrat kelamin. Bumbunya bisa beragam, tapi intinya cuma satu. Pencapaian untuk memenuhi hasrat parapihak dalam kesetaraan. Persoalannya, konflik asmara sudah beribu bumbu. Aku mencoba mengangkat kontradiksi identitas gender dalam pemahaman fungsi kelamin sebagai bumbu khas racikanku. Singkatnya, aku mencoba mengangkat sisi krisis identitas kelamin dan gender dalam cerita yang kutulis," paparku. Wajah Rahman dan Canden mengerut di bagian dahi. Aku tak peduli mereka paham atau tidak.

"Bagaimana dengan Bung Rahman?" tanyaku mengabaikan kebimbangan di wajah mereka.

"Pertanyaan Canden sudah mewakili, Bang... aku juga mau tanya hal yang sama," jawabnya. Kami bertiga mengakhiri ramah-tamah singkat dengan bertukar nomor handphone. Kulihat peserta lain mulai mengumpulkan hasil kerjanya. Bersisa 4 orang lagi yang tengah tekun. Aku meminta izin pada penyelenggara untuk meninggalkan lokasi.

Dermaga dalam cerita menjadi tujuanku. Setelah kupesan kopi dalam cup styfoam, aku menyendiri di tempat yang menyimpan sealbum kenangan sambil berharap sebuah umpan yang kupasang di ujung kail segera mempesona ikan. Benar saja. Belum 5 menit benakku menerawang, sebuah SMS masuk. Pesan dari Canden.

"Bang... kapan ada waktu ngopi? Aku mau ngobrol-ngobrol dengan Abang. Sepertinya bakal asyik belajar menulis dalam bimbingan Abang."
Akibat tak sabar, aku tak sempat membantah kesan pujian dalam SMS-nya. langsung kutekan tombol Reply.

"Aku sedang ngopi sendiri di dermaga dalam cerita yang kutulis. Kemarilah. Bawa kopi sendiri. Tadi aku cuma bawa segelas."

Cukup 15 menit saja untuk menjadikan kami berdua asyik bercerita di dermaga ini. Aku lebih banyak bertanya dan mendengar. Lebih tepatnya mendengar dan bertanya. Canden type pencerita yang asyik. Aku yakin ia butuh pendengar yang baik. Detik dan menit berjumpalitan membentuk interval minggu. Sebuah SMS kembali masuk. Kali ini dari Rahman.

"Bang... kutengok-tengok beberapa kali Abang sedang berboncengan dengan Canden. Apa Abang bisa tolong aku supaya bisa jadi cowok si Canden. Suka kali aku sama dia, Bang... Coba buat aku jadian dengan Canden seperti Abang jodohkan Jaka dengan Dara dalam cerita Abang."

Waduh... pening kepalaku. Tak bisa sebentar aku tenang dengan perempuan cantik. Ada saja gangguan. Kalau bukan tentara yang merebut, polisi merenggut. Kalau bukan pejabat yang menghambat, pasti pemadat.

Sambil memendam sebal kuketikkan balasan, "Rahman yang baik, muda dan bertalenta, cobalah kau tulis ceritamu sendiri. Ceritaku, terutama cerita cintaku sudah terlalu sering direnggut lelaki lain. Aku menulis cerita itu bukan sekedar memenuhi syarat kelas menulis yang kuikuti, tapi juga untuk memikat Canden. Kuharap kau mengerti."

Layar handphone-ku menampilkan tulisan "Message Sent!".

Usai

Daftar istilah dan ungkapan:

  1. Kreta: Sepeda motor;
  2. Guree: Guru;
  3. "Guree Mus peugah haba ka pakek banget, sang ka habeh pliek u lam pruet...,": Secara literal berarti, "Guru Mus berbicara pakai 'banget', sepertinya sudah habis pliek u (patarana) dalam perut". Ungkapan "sang ka habeh pliek u lam pruet" adalah makna konotatif dari orang yang tercerabut dari akar tradisinya karena menggunakan gaya atau bahasa kelompok lain.
Sort:  

Ceritanya unik ya bang... Ada lucu-lucunya juga.

Btw, sedikit koreksi. Kata "merubah" yang benar adalah "mengubah". Karena kata dasarnya adalah "ubah" dan nggak ada awalan "mer-" dalam bahasa Indonesia. Hehe...

Terimakasih tiada terhingga, sudah singgah dan berbagi ilmu. Salam Kenal. Salam Kukus...

ah, bang yus begitu keren, tulisannya mengalir sangat deras

Pas udah jadi memang nampak mengalir, tapi pas bikinnya banyak sumbat dan macet. Hehehehehehehe...

Abaaaang adek terpesona 😍😍😍

Hahahahahahaha... Dimana posisi? Balas ke WA aja, Bro...

minority report

Begitulah kira-kira, Bang...

Persoalannya, konflik asmara sudah beribu bumbu. Aku mencoba mengangkat kontradiksi identitas gender dalam pemahaman fungsi kelamin sebagai bumbu khas racikanku.

Kontradiksi kan bg, bukan kontraksi ? hahahaha, By the way apa bahasa aceh-nya nggak di bikin Italic bg ?

Baik. Kontraksi... eh... kesalahan sudah diperbaiki. Semua percakapan kubikin Italic, Bro...

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 64724.80
ETH 3460.60
USDT 1.00
SBD 2.51