100 Hari Bersteemit: Menghargai Perbedaan, Merawat Keindonesiaan

in #indonesia6 years ago (edited)

Jumat, 6 April 2014 -- menurut catatan Steemd.com/@musismail -- tepat 100 hari saya mempunyai akun Steemit. Sebetulnya ini waktu yang singkat. Sangat singkat. Tidak terasa. Usia 100 hati tentu saja masih bayi merah. Usia Steemit sendiri masih balita. Ia lahir pada 2016. Ya usia Steemit baru sekitar dua tahun. Kita doakan semoga panjang umur.

P_20150513_084955.jpg

Dalam 100 hari perjalanan saya bergabung di Steemit ada banyak hal terjadi. Saya mulai semuanya sendiri. Tidak kenal siapa-siapa. Tidak kenal Steemian. Tidak kenal leader. Tidak kenal kurator. Tidak berteman dengan satu pun dengan Steemian. Selain jurnalis (berpangkat editor) di sebuah media nasional, sejatinya saya adalah penulis sastra dan pegiat kebudayaan.

TITIK TOLAK

peluncuran-puisi-bandaaceh4-foto-doelcp.jpg

Seniman Aceh bersama Wali Kota Banda Aceh (era 1990-am) Baharuddin Yahya dalam jamuan makan siang pelucuan buku puisi "Banda Aceh". | Foto: loleksi ASA

Sebagai penulis, saya memulainya dari nol. Saya mulai menulis puisi saat duduk di bangku SMP di Trienggadeng, Kabupaten Pidie (kini Pidie Jaya). Saya adalah pembaca yang lahap. Saya banyak meminjam buku di perpustakaan sekolah sejak SD. Orang tua saya yang pegawai negeri golongan rendah juga peduli pada minat saya membaca sehingga kerap membawa pulang buku, koran dan majalah. Abu (begitu saya memangil ayah saya), Ismail Aly, juga senang membaca.

Kegiatan menulis saya berlanjut hingga melanjutkan sekolah di Banda Aceh, tepatnya di SMEA Negeri Banda Aceh, di Lampineung. Tapi semua tulisan itu saya simpan menjadi catatan pribadi saya. Suatu kali, ada seorang ustad lulusan Gontor yang mengajar di sebuah pesantren modern di Pidie bertandang ke rumah sahabat ayah saya, M Thaib Ali, tempat saya tinggal selama saya bersekolah di SMEA Negeri Banda Aceh. Dia menganjurkan agar puisi-puisi saya dikirim ke koran dan majalah.

Singkat cerita saya pun mengirimnya. Puisi saya pertama kali dimuat di Serambi Indonesia pada 1990. Judul puisi itu "Tanah Kelahiran". Selanjutnya, saya juga mulai mengirim cerpen, lalu berlanjut ke esai dan opini. Kemudian saya tak hanya mengirim cerpen ke koran-koran di Aceh seperti Serambi Indonesia, Aceh Post, Peristiwa dan sejumlah media kampus dan departemen. Saya juga kemudian mengirim karya ke berbagai media di Medan dan Jakarta pada saat itu. Sebagian besar dimuat.

IMG_20180331_003710.jpg

Menjadi pemateri workshop menulis bagi siswa se-Aceh di Saree Aceh Besar.

Saya pun menjadi seperti "selebritas" kampung (mungkin sekaligus kampungan) pada saat itu -- meskipun saya tidak pernah merasa sebagai seleb. Sejak itu saya jadi bergaul luas dengan banyak kalangan, mulai dari kalangan seniman dan sastrawan, hingga aktivis dan intelektual serta para pemikir Aceh pada era 1990-an. Saya banyak terlibat dalam banyak kegiatan diskusi bersama mereka. Saya juga kerap menjadi pembicara/pemateri diskusi, seminar dan workshop menulis di banyak tempat di Aceh. Kemudian saya aktif di NGO alias LSM, termasuk menjadi salah seorang presidium KIPP Aceh.

P_20150514_095953.jpg

Bersama seniman, aktiivs dan politisi Aceh

Kala itu, tiap pekan ada saja tulisan saya yang dimuat di koran, entah koran Aceh, Medan maupun Jakarta. Sehingga setelah selesai kuliah S1 jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan di STIEI Banda Aceh pada 1995, praktis biaya hidup saya dari hasil menulis di berbagai media itu. Saya menulis tidak hanya soal seni dan sastra, juga masalah sosial, kebudayaan hingga politik. Tulisan-tulisan opini sosial, budaya dan politik itu banyak dimuat di Serambi Indonesia. Adapun puisi dan cerpen menyebar ke berbagai koran dan majalah di Aceh, Medan dan Jakarta.

Menembus media, ketika awal-awal menulis, tentulah tak mudah. Tapi saya tidak pernah lelah untuk terus mencoba, belajar dan belajar. Beda dengan media sosial, termasuk Steemit, tulisan seburuk apa pun bisa kita masukkan. Jika di koran dan majalah tulisan buruk akan dilempat ke tong sampah. Seorang sastrawan terkemua Aceh yang menjadi budaya di Serambi Indonesia, Hasyim KS, punya cara karikatural untuk menggambarkan jika tulisan kami buruk dan tidak bisa dimuat. "Saya sudah masukkan ke komputer, saya paksa-paksa, tapi tidak bisa masuk juga," katanya.

Kami berteman baik dengan Bang Hasyim KS. Kami suka ngopi bareng di kantin seniman di Taman Budaya Aceh atau Warung Kopi Siang Malam di depan Masjid Raya Banda Aceh. Tapi ia bersikap sangat objektif, tidak akan memuat tulisan buruk. Sederhananya, jika diibaratkan di Steemit: tulisan jelek tak akan mendapatkan "vote" dari Bang Hasyim. Tidak akan pernah. Bahkan tulisan kita yang kualitas turun, meskipun masih layak muat, tidak akan dimuat oleh Bang Hasyim. Ia melecut kami agar mempertahankan kualitas dan meningkatkannya.

DSC00231.JPG

Kliping cerpen

Saya juga kenal baik dengan redaktur opini Serambi Indonesia kala itu (paling lama dipegang Yarmen Dinamika, pernah pula Teuku Dadek dan Ampuh Devayan) -- ketiganya kini ada di Steemit dengan akun @yarmen-dinamika, @teukudadek dan @ampuhdevayan. Tapi mereka tidak akan memuat tulisan di bawah standar, apalagi buruk. Mereka tidak akan memberi "vote". Kami sering bertemu di banyak tempat dan kegiatan. Tapi mereka tetap objektif sebagai editor dalam mengkurasi (memilih) tulisan yang layak muat.

DSCN5703.JPG

Besama para sastrawan Aceh di sela-sela kegiatan Sastrawan Masuk Sekolah di seluruh Aceh pada 2006. Lokasi foto di Langsa, Aceh Timur.

Inilah bedanya dengan media sosial, termasuk Facebook dan Steemit -- tak ada penilai yang baik sehingga tulisan apa pun dilike dan diberi vote. Di media sosial memang tak ada editor yang menyeleksi tulisan bagus. Namun pembaca harusnya bisa menjadi "editor" (kurator) yang baik untuk mereka. Caranya dengan "menyukai" (memilih) atau "tidak" terhadap sebuah tulisan dengan rujukan utamanya adalah kualitas. Apalagi bagi tulisan atau konten dengan standar yang telah menjadi bagian dari ilmu pengetahuan seperti cerpen, esai, puisi, fotografi, musik, multimedia dan seterusnya. Setidak-tidaknya, kita bisa memakai ukuran "menarik" atau "tidak menarik" dari sisi estetika dan cita rasa yang baik, "penting" atau "tidak penting" menurut standar utilitas, dan 'inspiratif" dan "tidak inspiratif" menurut persepsi umum.

Harusnya kita tidak sembarang menekan tombol vote jika sebuah tulisan tak memenuhi standar - setidaknya tidak menarik menurut kita. Tapi faktanya berbeda. Masalahnya pertama, sebagian dari kita tidak mengerti mana konten bagus. Lalu memberi vote tanpa ukuran. Kedua, kita hanya memakai ukuran teman, jejaring dan komunitas. Kita suka sembarangan memberi like atau vote terhadap tulisan apa pun, terutama jika itu teman kita. Akibatnya, orang tidak dorongan untuk belajar meningkatkan kemampuan diri. Istilahnya, ngapain nulis bagus kalau tulisan seadanya pun akan dapat vote. Istilahnya kalau sampah pun divote, lalu ngapain kita menciptakan berlian? Ini logika yang masuk akal saja. Sehingga, sekali lagi, tidak ada proses pembelajaran yang baik di Steemit.

Sebetulnya ini "merusak" Steemit sendiri. Jadinya nanti Steemit sama saja dengan medsos lain dari sisi konten. Bedanya Steemit ada reward, medsos lain tidak. Tapi hidup kan tidak melulu urusan "uang". Hidup juga perlu belajar dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan diri untuk menjadi lebih baik. Sistem komunitas dan jejaring (saling mendukung) jangan sampai mengorbankan semangat untuk menghasilkan karya bagus. Namun, dengan sistem berkomunitas di Steemit -- apa pun divote - tidak mendorong orang untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas karya. Itu terjadi, sekali lagi, karena karya seburuk apa pun akan mendapatkan vote.

IMG_20180403_190659.jpg

Bersama Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri dan kawan-kawan seniman lain usai memenuhi undangan baca puisi Bupati Purwakarta beberapa tahun lalu.

Saya sepakat mengajak orang sebanyak-banyaknya bergabung. Tapi bukan berarti kita cuma bertumpu pada kuantitas dan melupakan urusan kualitas. Lazimnya dalam sebuah dunia yang sehat: hanya karya berkualitas yang akan mendapatkan reward. Lalu bagaimana dengan karya tak berkualitas? Inilah tugas para pemimpin atau pengelola komunitas untuk mengedukasi anggota kumunitasnya agar kualitas karya mereka meningkat. Jadi membuat komunitas bukan saja mengumpulkan orang, tapi juga mengajak mereka memahami platform yang digunakan sekaligus mendorong mereka untuk belajar. Inilah yang seharusnya berbeda dengan komunitas di Facebook. Meskipun banyak komunitas di Facebook yang terus mendorong anggotanya untuk terus maju. Bedanya kalau komunitas di Facebook mereka didorong untuk menulis di koran lalu mendapatkan reward dari sana. Adapun komunitas di Steemit didorong untuk menulis bagus sehingga mendapatkan vote (reward) dari sesama pengguna Steemit.

JAKARTA

Menulis membawa saya ke mana, tampil membaca puisi di banyak tempat, serta menjadi pembicara diskusi, seminar dan workshop tentang sastra, budaya dan penulisan kreatif. Pada 1996, saya mendapat undangan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 dan membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Kegiatan ini menghadirkan sekitar 60 penyair muda dari seluruh Indonesia.

22789001_10212306650113830_4154755423057307913_n.jpg

Peserta dan panitia MPA21 di GBB TIM

Panitia bukan mengundang karena kedekatan atau jejaring (komunitas). Sama sekali bukan. Saya tidak kenal secara pribadi dengan panitia. Pemilihan penyair yang diundang dilakukan oleh tim kurator yang terdiri dari para penyair terkemuka Indonesia. Mereka melakukan riset dan mengamati karya-karya para penyair Indonesia di koran, majalah dan antologi puisi yang terbit di berbagai provinsi maupun Jakarta. Seleksinya ketat sekali. Dari ratusan penyair muda, hanya dipilih 62 orang.

Dari situlah saya mulai menempuh dan menjelajah Jakarta. Padahal kala itu saya sedang mengadu nasib di PT Arun. Nah, dua tiga minggu saya di Jakarta, datang telegram dari ayah saya bahwa saya diterima bekerja di Arun. Saya harus mulai melapor (semacam daftar ulang) seminggu sebelumnya. Lemaslah saya. Waktunya sudah lewat. Setelah itu saya putuskan tinggal di Jakarta. Sambil menulis. Dan praktis hidup dari honor menulis. Saya kemudian benar-benar menjadi urbanis yang tinggal dan bekerja di Jakarta.

Bahkan kemudian, saya melanjutkan kuliah pascasarjana (S2) di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kebetulan saya bersama beberapa seniman Aceh lainya seperti @fikarweda, Mahdi Abdullah dan Deddy Kalee mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi Aceh pada 2010. Saya lalu menulis tesis tentang seni tutur PMTOH di bawah bimbingan Prof Sapardi Djoko Damono (yang juga dikenal sebagai sastrawan) dan Merwan Yusuf (akademisi dan seniman senirupa). Menulis tentang PMTOH salah satu cara saya mempromosikan budaya Aceh.

STEEMIT

Seperti sudah saya cerita sebelumnya, saya mengenal dan menggunakan Steemit lewat penjelajahan sendiri, bukan dari Steemian lain. Dari situ saya mengajak sejumlah teman baik untuk bergabung. Selanjutnya saya membuat grup Steemit Budaya dengan anggota belasan orang. Nah, dalam perjalanan jumlah orang yang bergabung kian bertambah. Sebagian besar adalah "jejaring saya" yang mengenal Steemit dari saya, entah promosi langsung maupun lewat media sosial lainnya. Kini jumlah anggota grup Steemit Budaya lebih dari 100 orang.

IMG_20160915_194547.jpg

Bersama Rida K Liamsi @ridakliamsi, sastrawan/budayawan dan pengusaha media serta DR Dani (Dosen UI).

Saya tetap fokus ingin mendorong teman-teman yang saya ajak bergabung untuk memberi warna dengan konten-konten bagus di Steemit. Tanpa memikirkan vote dan reward. Saya akan terus menekankan kepada teman-teman agar menyingkirkan jauh-jauh mimpi indah tentang reward dari Steemit. Ada reward syukur, tak ada pun tak perlu kecewa. Menulis di Steemit adalah bagian dari ibadah kreatif menebar kebaikan dan semangat menulis, berkesenian dan berkebudayaan. Inilah salah satu ruang kita bersenang-senang, belajar, berekspresi dan berkreasi. Inilah cara kita memberi warna dan merawat Indonesia yang begitu bhinneka.

JAKARTA-BANJARMASIN,
6-7 April 2018.
MUSTAFA ISMAIL
@musismail

Sort:  

Tulisan panjang dengan wacana yang luar biasa. Bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan cara mencermini diri sendiri.

Banyak point yang didapat ketika menelusuri liku perjalanan hidup manusia. Begitu pula butir-butir pikiran dan pendapat yang dikandung oleh wacananya.

Memang, kemajuan teknologi semakin mengajarkan bagaimanan kemudahan didapat. Dan jaringan semakin memperkaya pertemanan.

Dari Semua itu, dapat diambil keberuntungan yang berarti dari semuanya. Amat diperlukan sikap yang tepat dalam menjalaninya.

Terimakasih @musismail yang telah bebagi.

Salam Steemian
Irman Syah | @mpugondrong

ya @mpugondrong ini bagian dari refleksi perjalanan saya. Perjalanan selalu ada suka-duka, sedih dan gembira. Satu hal yang ingin saya tekankan: tidak pernah ada sukses instan. Keberhasilan selalu diwarnai dengan perjuangan. Selain itu, pengharhagaan selalu dibeikan kepada karya terbaik. Lalu, kita berkewajiban mendorong semua orang agar menghasilkan karya terbaik agar layak mendapatkan penghargaan. Saleuem

Bnag mustafa ismail abang kelas pesantren dan smp ku dulu sejak tamat smp beliau g pernah aku ketemu lagi, walaupun aku juga di kota banda aceh, tahun 1996,aku merantau keluar Aceh, waktu aku di salah satu hotel di Riau tempat aku menginap (saat urusan kerja) aku membaca koran terlihat kolom halaman ada puisi mustafa ismail di salah satu koran di Riau, aku ingat bahwa mustafa ismail adalah sekampung ku, pada tahun 2016 aku sambil ngopi di kopi pancong milik morenk @beladro kalibata Jakarta. Teman ku adalah sahabat budaya nya mustafa ismail, dia perkenalkan nama mustafa ismail sama aku, langsung aku bilang bahwa beliau adalah kakak kelas ku dulu, dapat molor bnag mus aku menelepon by hand phone, aku salam sapa perkenalkan diri, akhirnya kami sering ketemu dan suatu waktu aku juga di undang ke pelataran TIM, bahwa ada pembahasan steemit, dari bnag mus juga saya kenal steemit...
Salam hormat saya utk bnag mu
Kita putra trienggadeng pijay

kadang memang pertemuan tak kita duga. Insya Allah dengan silaturahmi jalan hidup kita makin indah, apalagi ketika saling berbagi, termasuk berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Maaf pak, mau tanya. Memangnya di steemit punya editor ataupun redaktur khusus ya, Pak? Terima kasih. :)
#HanyaBertanya #InginTahu

Selamat berbahagia Pak Mus.

berbahagia untuk kita semua

Semoga Bang @musimail tetap bersteemit sampai seribu tahun lagi...

Insya Allah @ayijufridar. Semoga Allah memudahkan jalan kita semua. Sukses untuk kita semua.

Selamat sudah sampai ke 100 hari, semoga tetap memotivasi bang @musismail. Semangat menulis !

makasih @willyana. Insya Allah. Insya Allah kita tetap semangat. semoga jalan kita mudah, lancar dan suksea

Sangat bernas. Semoga terus ikut mewarnai. Oia aduen ijin lon simpan foto MI cocok that ngon nan ulon.hehe

makasih. silakan tgk. Sukses sabe beh

Trimong geunaseh

Selamat! Artikel anda masuk peringkat 2 kategori Tulisan Dengan Upvote Terbanyak, di 10 Besar Tulisan Hari Ini di https://steemit.com/peringkat/@puncakbukit/10-besar-tulisan-hari-ini-jumat-13-april-2018 ..

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.12
JST 0.029
BTC 61533.72
ETH 3447.25
USDT 1.00
SBD 2.51