Menengok Tujuh Mata Air di Kampung Air Sialang Aceh Selatan
CERITA tentang tujuh mata air atau telaga di Kampung Air Sialang Hilir di Aceh Selatan sudah sering saya dengar dari mulut sahabat saya Yelli Sustarina. Perawat yang juga blogger ini pernah secara khusus menuliskan di blog pribadinya. Saat workshop pertama serial Perempuan Peduli Leuser di Gayo Lues pertangahan Oktober lalu, Yelli kembali mengangkat cerita tersebut.
Sejauh ini cerita dari mulut Yelli sukses membuatku penasaran. Namun rasa penasaran itu hanya tersimpan di hati, sebab belum ada rencana khusus untuk menjejakkan kaki di Negeri Pala itu. Namun siapa sangka untuk workshop PPL yang kedua ternyata dibuat di Aceh Selatan. Plusi live in di sejumlah desa yang ada di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, yang menjadi buffer zone atau kawasan penyanggan Kawasan Ekosistem Leuser. Saat melihat jadwal yang dikirimkan panitia, aku langsung melonjak kegirangan. Uhuy...!!!
Sehari sebelum workshop dimulai pada 13 November, kami peserta dari Banda Aceh berangkat sehari lebih cepat. Tujuannya cuma satu, bisa jalan-jalan dulu. Dari Banda Aceh selain aku juga ada Yelli, Ayu, dan Seila. Tiba dari Banda Aceh kami turun di rumah Yelli dan baru check in hotel menjelang magrib.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, sembari menunggu ibunya Yelli memasak gulai taleh sebagai menu hidangan makan siang, kami sempatkan untuk jalan-jalan di seputar Kampung Air Sialang Hilir. Ini kampungnya Yelli yang ada tujuh telaganya itu. Membayangkan telaga aku teringat pada cerita-cerita bidadari yang senang mandi di telaga he he he. Oh ya, Air Sialang Hilir ini juga kampungnya senator Rafly Kande, lho. Menurut penjelasan Yelly, Rafly punya kenangan tersendiri terhadap telaga-telaga itu.
Lumut yang tumbuh di sekitar mata air
Mata air pertama yang kami kunjungi ada di dekat rumah Yelli, hanya perlu turun sedikit dari halaman. Begitu melihat mata air ini, kami yang dari Banda Aceh langsung girang bukan kepalang. Selain di kolam Mata Ie, air menjadi barang mewah di Banda Aceh. Air PDAM sering kali macet, tak jarang mandi hanya dengan modal siraman beberapa gayung air. Jadi wajar dong kalai kami agak-agak kemarok hehehe. Bahkan Ayu langsung mencicipi airnya dan menurutnya rasanya sangat enak.
Di mata air kedua yang kondisinya cukup terjaga privasinya karena sudah berdinding beton, kami melihat warga sedang membilas pakaian dan membersihkan ikan. Duh... ini pemandangan yang indah dan menakjubkan, mereka mencuci dengan air berlimpah langsung dari mata air.
Dua mata air berikutnya yang terletak di dekat surau dan meunasah, dipisahkan untuk pria dan perempuan. Kolam untuk perempuan lebih dangkal dan kecil, letaknya berdekatan dengan surau yang biasa digunakan kaum ibu untuk mengaji dan wiridan. Sementara kolam yang untuk pria yang ada di depan meunasah, ukurannya lebih luas dan dalam. Ada tulisan menarik yang sempat tercuri pandang olehku di sini. Yaitu tulisan yang mengingatkan agar tak boleh mandi hanya menggunakan celana dalam saja.
Pakis-pakisan yang tumbuh di dekat mata air
Kami mengunjungi hingga ketujuh sumber mata air di desa tersebut. Saat melewati rumah-rumah warga, kami juga mampir untuk melihat proses pembuatan kasab yang menjadi ciri khas di Aceh Selatan ini. Ketujuh mata air itu mengalir ke Sungai Gadang yang berhulu ke Gunung Sikabu di Dsn Ketek di Kecamatan Samadua.
Melihat sumber air yang melimpah di kampung ini, jujur saja, ada rasa cemburu yang menyelinap di hati. Jadi berandai-andai, seandainya ini, seandainya itu. Tapi apalah gunanya berandai-andai ya kan? Di Banda Aceh tetap saja harus beli air. Harusnya dengan sumber air yang melimpah di Aceh, kita tidak perlu beli air bersih, seperti halnya di Aceh Selatan ini. Bahkan kata Yelli, di sini tidak ada PDAM. Duh... keren kan?
Tapi, kata Yelli, ada kekhawatiran yang membelit pikirannya. Mungkin karena euforia melimpahnya sumber air, warga jadi serampangan dan tidak menjaga sumber air tersebut. Misalnya membuang sampah sembarangan, bahkan ada bagian sungai di dekat telaga yang sudah membentuk delta. Jika kebiasaan buruk ini dijadikan 'warisan' turunan, bukan tidak mungkin satu persatu sumber mata air ini akan menjadi kering. Semoga saja tidak!
Dilema memang karena manusia seringkali lupa bersyukur dan lalu seenaknya saja.
Betul Kak @mariska.lubis, miris sebab sampah-sampah itu akan diangkut ke sungai oleh arus air.
Ngga sekalian nyuci baju di situ kak?
siapa kami? maunya berenang sih.....
@ihansunrise ini hampir sama dengan mata air yg ada di Jenanga Pidie Jaya..saya sempat berkunjung saat pemulihan bencana gempa hari itu :-) semoga tetap terjaga dengan baik
Jenanga itu di kecamatan apa @tarmizitar?
Kecamatan ule glee..masuk ke dalam arah selatan..sekarang dalam tahapan renovasi oleh PMI
Untuk itu, yuk, Yelli, dkk lainnya, kita ikut HPSN, untuk mengedukasikan kepada masyarakat bahwa buang sampah semabarangan itu sangat merugikan.