Pencuri Imajinasi (Bag 1)

in #indonesia6 years ago

unnamed.jpg

Enam puluh menit lebih Jeumpa duduk di depan leptop. Tiga bulan berhenti menulis, tidak
membuatnya bisa memulai dengan mudah. Tempat tidur acak-acakan—tidak dibenahi sejak bangun tidur
—lima jam yang lalu. Kipas angin yang berada tidak jauh dari tempat tidur berbunyi krekk, krekk,
menandakaan kesepuhan usia. Sebuah lemari kecil berdiri di sudut kamar. Tong sampah dari botol air
mineral yang dipotong bagian atasnya teronggok di dekat lemari dengan isi juga berupa botol air mineral
berukuran lebih kecil, namun sudah kosong. Tak ada meja yang bisa dijadikan sebagai alas leptop
sembari duduk menulis di depannya. Jeumpa malah berbaring terlentang. Leptop diletakkan di atas kaki
kanan yang disangkutkan ke kaki kiri, posisi menulis yang paling dibenci para dokter. Lagi perempuan itu
mendesah lirih, hendak menemukan bagian dari otaknya yang bisa mengahadirkan cerita seperti biasa,
buntu, sel-sel otaknya telah mati imajinasi.

Socrates yang sejak tadi duduk di samping kepala tempat tidur berusaha memberi sebuah kode
pada gadis ikal yang belum mandi itu. Sang lelaki berjenggot putih memonyong-monyongkan mulutnya
sambil menunjuk langit-langit. Ruman Jeumpa merona bingung menatap lelaki berkain putih tanpa dijahit
itu. Kain lebih dari lilitan pinggang disampirkan ke bahu kiri. Jika dilihat sekilas, seperti orang-orang
yang sedang duduk di kemah-kemah sambil menyebut nama Tuhan dalam aroma gurun. Pusar sang filsuf
yang menantang, membuyarkan lamunan tentang orang-orang yang sedang melakukan ritual agama.
Merasa tidak nyaman, tangan orang tua itu menutup pusarnya, kain yang dikaitkan ke pundak terjatuh.

Jeumpa membetulkan dua bantal yang ditindih di bawah kepala, tanpa semangat, kembali
menatap layar monitor. Lembaran word itu masih melompong seperti satu jam yang lalu. Kemana
imajinasinya raib? Adakah yang telah mencuri darinya? Ibarat perompak hujan mencuri dari buntalan
Mikail. Siapa gerangan yang sangat mungkin mencuri darinya? Ia ambil telepon genggam, menghubungi
tiga angka yang dibuat khusus untuk pengaduan kehilangan. Konon terakhir kali, nomor itu berhasil
menelususri memori sebuah kota yang hilang. Baru saja jemari Jeumpa hendak menekan tiga nomor
tersebut, terdengar bentakan dari sisi kiri.

“Bodoh! Kenapa kamu menjadi begitu bodoh?”Suara itu keluar dari mulut Socrates. Jeumpa
memaki orang tua itu dalam hati. Sang filsuf mengaitkan kain putih yang terjatuh ke bahunya. Lima buku
dibiarkan berserakan di lantai.

“Kenapa kau bilang aku bodoh, Orang tua?”

“Kamu pikir, tiga angka itu bisa membantumu?”

Jeumpa mendelik, ia tidak suka si tua itu membaca pikirannya. Setiap orang memiliki wilayah
pribadi yang tak ingin dimasuki orang lain.

Sebenarnya kedatangan Socrates ke dalam kamarnya juga menyimpan teka-teki tersendiri. Jeumpa
terkejut, tiga bulan lalu, sekembali dari kamar mandi, ada lelaki tua duduk di dekat tempat tidurnya.
Lelaki tua yang memakai kain tak berjahit memberi isyarat dengan menempelkan telunjuk ke bibir, berharap gadis yang masih memakai handuk itu tidak berteriak. Terlambat, suara gadis itu membahana ke
delapan arah mata angin. Para tetangga pun berdatangan.

“Ada apa, ada apa, Jeumpa?” tanya Pak Dolah yang rumahnya di sebelah kanan rumah
gadis itu sembari menggedor pintu depan.

“Tidak ada apa-apa, Pak Dolah,” jawab Jeumpa dari balik pintu ruang tamu. Ia masih
menggunakan handuk, tak mungkin keluar menemui para tetangga yang berdatangan.

“Kalau tidak apa-apa, kenapa pula menjerit, Nyak?” tanya Wa Ti yang rumahnya berada di
samping kiri rumah Jeumpa.

“Ini, ada cacing kecil di kamar mandi, Wa. Jeumpa terkejut saja.”

Terdengar desah kelegaan dari balik pintu. ”Makanya, rumpun pandan di belakang kamar mandi
dipangkas saja,” ujar Wa Ti yang di-iyakan Pak Dolah.

“Iya, Wa. Tapi maaf, Jeumpa baru dari kamar mandi ini. Tak bisa keluar menemui kalian.

“Tak apa, asal kau tidak kenapa-napa,” ujar Pak Dolah. Lalu terdengar langkah-langkah kaki
meninggalkan pintu rumah gadis penulis itu.

“Kamu pikir, aku ini cacing kecil?” Paras Socrates memerah, menatap Jeumpa yang kembali
memasuki kamar. Tak menjawab, gadis kurus itu menuju lemari pakaian dan mengambil sepasang baju
tanpa memedulikan protes sang filsuf.

“Kamu tidak punya mulut untuk menjawab?” tanya Socrates sambil mengikuti Jeumpa yang
ingin keluar dari kamar itu.

Perempuan berambut ikal sepinggang itu berbalik, terlihat kobaran api di matanya. “Jangan ikut!
Aku mau pakai baju.”

“Hei, aku ini Sokrates.”

“Oi siapa pun itu, kau pikir boleh melihat seorang gadis berpakaian?”

“Bukan itu maksudku. Tidakkah kamu bisa sedikit lebih ramah?”

“Tidak!” ucap Jeumpa melengking. Kemudian berbalik menuju kamar kosong di sebelah kamar
tidurnya. Tak berapa lama berselang terdengar pintu dibanting keras.
Lima menit berlalu, seorang perempuan bermuka sangar kembali membuka pintu kamar pertama.
Sokrates duduk bersila di atas tempat tidur sambil membaca sebuah buku.

“Kau? Duduk di atas tempat tidurku? Beraninya!”

Lelaki tua itu berpindah ke lantai, duduk bersila dan membaca buku kembali.
“Itu bukuku,” protes Jeumpa lagi.

Tak ada jawaban, Socrates telah larut dalam buku bersampul putih dengan lingkaran benang kusut di sampulnya.

“Kau mengaku Socrates kepadaku tadi ….”

“Iya, aku memang dia.”

“Socrates telah lama mati.”

“Dunia memang mencatat, aku telah mati.”

“Jadi kau semacam arwah?”

Lelaki itu menatap Jeumpa sejenak, “Tidak juga,” jawabnya pendek.

“Untuk apa kau berada di kamar seorang gadis?”

“Tenang, Nak. Aku juga tidak benar-benar hidup,” jawab si tua itu dengan ketenangan yang
meluluhlantakkan gunung.

Semenjak saat itu, Socrates menjadi penghuni tetap kamar Jeumpa. Ia tidak mau disuruh pindah ke
kamar sebelah. Kerjaannya hanya membaca buku saja. Gadis berlesung pipit itu pernah berpikir untuk
pindah ke kamar sebelah saja. Rumah kecil peninggalan orang tuanya terdiri dari dua kamar tidur, satu
kamar mandi, sebuah ruang tamu dan dapur yang sama-sama sempit. Hanya ia khawatir pria tua itu akan
mencuri buku-bukunya. Buku saja harta berharga yang ia miliki. Pekerjaan sebagai penulis memang tidak
menjanjikan.

Lama-lama Jeumpa mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki tua itu. Toh ia tak pernah
mengganggu gadis itu, hanya duduk bersila dan membaca. Setelah hari kedatangannya, Socrates tak
pernah banyak bicara lagi. Mereka seperti berada dalam dunia yang berbeda. Pernah sekali waktu Jeumpa
ingin bertanya kekurangan bukunya yang sedang dibaca pria itu. Lelaki itu menunjukkan kelemahan
karangan gadis itu, tanpa sempat ia membuka mulut. Sejak saat itu, Jeumpa paham, sang filsuf mampu
membaca pikirannya.

Penampilan pria itu tidak membuat Jeumpa ragu seperti keraguaan Murakami, ketika seekor
katak yang ingin menyelamatkan Tokyo datang menemui penulis itu di rumahnya. Pernah terlintas di
kepala, Socrates datang untuk menyelamatkan hidupnya yang miskin.


Kembali ke bagian ketika Jeumpa duduk di depan leptop dan tidak kunjung mendapatkan ide.

“Jadi siapa yang bisa membantuku?” tanya Jeumpa seraya meletakkan kembali telepon genggamnya.

Terdengar suara tertawa dari bibir yang mulai mengeriput.

“Jangan menertawaiku.” Jeumpa mendelik ke arah lelaki yang janggutnya telah memutih itu.

“Mau kuceritakan sistim kerja tiga angka itu?” tanya pria tua itu masih terpingkal- pingkal.

Jeumpa meletakkan leptopnya di samping, kemudian duduk berselonjor menghadap Socrates.

“Sistim tiga angka itu adalah labirin pencurian yang tidak berujung.”

“Maksudnya?” Jeumpa tidak mengerti wejangan sang filsuf. Kamar benderang diterang sinar
matahari yang masuk lewat jendela kayu yang dibuka bagian atasnya. Jendela sireng, begitu orang-orang
menyebutnya.

Socrates menutup buku bersampul coklat yang sedang dibacanya. “Misalnya, kamu jadi menekan
angka itu tadi, mereka akan mencuri imajinasi orang lain untuk diberikan padamu, kemudian mereka akan
mengambil hal berharga lain darimu untuk diberikan pada orang lain yang melaporkan kehilangan yang
lain. Itu dapat berupa kenangan masa kecilmu yang bahagia, cintamu atau apa saja yang positif darimu.”

“Saat menyadari kehilangan itu, aku pasti akan menelepon mereka lagi.”

“Itulah yang mereka inginkan, mereka hanya perlu mengambil kenangan masa kecil orang lain
untuk diberikan padamu.”

“Hmm. Kenangan masa kecil dan imajinasi setiap orang pasti berbeda. Tidak mungkin ada hal
seperti itu.”

“Kamu akan menyadarinya saat mereka mencuri dirimu sendiri. Dan itu sudah sangat terlambat
untukmu.” Socrates bangkit berjalan ke jendela. Ia mengintip ke halaman rumah.

Bunga liar dibiarkan
tumbuh begitu saja di bawah jendela.
Terdengar bunyi telepon genggam berdering, Jeumpa mencoba mengabaikan panggilan itu. Sudah
tiga bulan ia tidak menulis apa pun. Ia harus fokus untuk menulis.
“Apa yang harus kulakukan untuk menemukan imajinasiku kembali?”

“Angkat teleponmu terlebih dulu, Nak.” Socrates sepertinya terganggu dengan dering telepon
ibarat lonceng berdentang itu. Ia menatap gadis yang acuh tak acuh pada telepon genggamnya.

Jeumpa menatap layar handphone-nya. “Tidak mau. Ini Walu, pacarku. Pasti ingin mengajakku
keluar.”

“Siapa tahu di sana kau bisa menemukan imajinasimu.”

“Walu tak mungkin mencuri imajinasiku,” Suara Jeumpa terdengar putus asa.

“Terserah kamu.” Socrates mengangkat bahu, kemudian duduk tepat di bawah jendela dan
membuka kembali buku yang berada di tangannya.

Telepon genggam terus berbunyi sampai gadis itu memilih mengangkat benda itu. Dugaannya
benar, Walu mengajak makan siang di luar. Putus asa, gadis itu beranjak ke lemari pakaian dan
mengambil rok celana dan kaos kasual, kemudian mulai melepas baju rumahnya. Socrates tak beranjak
dari buku yang dibacanya. Jeumpa sendiri sudah tidak merisaukan keberadaan lelaki tua itu. Toh lelaki itu
tidak benar-benar hidup, dan dunia telah mencatatnya mati.

“Kamu tidak mandi dulu?”

“Apa pedulimu? tanya Jeumpa sambil memasukkan tangan ke lengan baju kasual bermotif abtrak
itu.

“Kamu tidak terlihat seperti seorang gadis yang akan menemui kekasihnya.” Socrates menatap
gadis penulis itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Jeumpa memasukkan kakinya ke dalam rok celana berwarna senada. Ia tidak merasa terganggu
dengan ucapan pria tua yang kembali menekuri buku. Imajinasinya yang tak kunjung ditemukan lebih
merisaukan hati.

Bersambung

Sort:  

Bak na meusambong roh. Hana mangat sagai bak tabaca ahahahahahaa.

11 halaman, Bang. Kepanjangan. Kritik dunk. Besok kuposting sambungannya.

Sudah saya Follow Da, dan sudah pula saya Vote. Salam @KSI

Sudah itu, Bro. Mohon kritiknya untuk cerpen ini dunk.

alahh ka bersambung cerita,,

Sudah ada sambungannya kok... ini 11 halaman semua, makanya saya posting di sini. Di koran juga ngak muat.

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 65702.61
ETH 3485.24
USDT 1.00
SBD 2.51