Pencuri Imajinasi (Bag II, selesai)

in #indonesia6 years ago

images (3).jpeg

Walu menghentikan motor bututnya di depan sebuah rumah makan, lalu melepas helm dari
kepala. Hari ini, ia memakai jaket hijau tentara dan celana berwarna gelap. “Kau tidak turun?” tanya Walu
pada perempuan di belakangnya.

“Aku merasa ada yang aneh dengan rumah makan ini,” ujar Jeumpa tak beranjak dari boncengan.

Lelaki itu juga ikut memerhatikan rumah makan, “Ini kan memang rumah makan langganan kita,
Sayang.”

“Benar, tapi aku juga merasa, jika ini bukan rumah makan langganan kita.”

“Jangan aneh dong, Sayang.” Walu melihat ke arah samping untuk memastikan gadis di
belakannya mendengar ucapannya.

“Lihat! Aku tidak menemukan papan nama rumah makan yang seharusnya tersangkut di sana.”
Jeumpa menunjuk tiang tempat gantungan papan nama yang telah kosong, lalu turun dari motor butut itu.

Salah satu lampu yang bila malam menyorot papan nama telah pecah. Jeumpa melangkah ke bawah tiang
kosong itu. Tak ada serpihan bola lampu yang berhamburan di atas semen tempat dua tiang itu dipasang.
Walu ikut turun dan menyerahkan motornya pada tukang parkir. Rumah makan itu berbentuk
ruko dua pintu yang telah didekorasi dengan hiasan dinding peninggalan Aceh tempo dulu.

“Kita jadi makan atau tidak?” Pertanyaan Walu membuat Jeumpa meninggalkan tiang kosong
papan nama restoran dan melangkah masuk ke dalam. Beberapa orang terlihat sedang menikmati
hidangan dari balik pintu kaca. Tangan Walu mendorong pintu kaca tersebut membiarkan sang kekasih
masuk terlebih dahulu.
Sepasang klewang terpasang di dinding sebelah kiri toko. Selain itu, beberapa kipas kecil
bersulam benang keemasan juga menghiasi dinding rumah makan. Tiga tampi beras berada di dinding
belakang. Sebuah siwah, senjata para ulee balang dimasukkan dalam kaca dan diletakkan di tengah rumah
makan itu. Kursi dari kayu meranti dengan meja marmar menjadi tempat pengunjung duduk menikmati
masakan. Sangat elegan, berbanding terbalik dengan kamar tidur Jeumpa, dimana ia biasa bergelut
dengan leptop.

“Ini tidak seperti rumah makan yang biasa kita kunjungi.” Jeumpa setengah berbisik di telinga
sang kekasih. Beberapa pasang mata melihat sinis ke arah mereka. Seorang lelaki muda berbaju batik dan
perempuan muda bergaun motif senanda—duduk di meja dekat pintu—melirik tidak suka ke arah pasangan yang baru masuk itu, demikian juga dengan ibu paruh baya yang datang bersama anak lelakinya
duduk di meja yang lain. Tapi bukan itu yang membuat Jeumpa jengah, setiap mereka makan di tempat
ini, orang-orang memang menatap aneh ke arah mereka. Pakaian mereka dibeli di los-los pasar, berbeda
degan baju-baju orang lain yang sedang makan di situ. Orang-orang itu bisa membedakan harga pakaian
dengan melihat dari jarak lima puluh meter, mungkin sedikit terganggu dengan sepasang gembel yang
ingin makan di ruang yang sama. Itu sudah biasa, tapi ada hal lain yang mengganjal di hati, Jeumpa juga
tidak tahu itu apa.

“Apa kita cari rumah makan lain saja?”

“Tidak usah,” jawab Jeumpa menuju meja prasmanan. Pelayan berseragam biru muda tersenyum
ramah di depan meja mempersilahkan mereka untuk mengambil makanan yang diinginkan. Jeumpa
Menyendok nasi, kemudian memilih menu asam udang dan sayur lemak.

“Tidak mau ayam kampung goreng, Sayang?” tanya Walu.

Jeumpa menggelengkan kepala, telinganya mendengar suara berisik dari bawah meja prasmanan.
Mata gadis itu menangkap sepasang antena kecoak mengintip dari bawah meja yang disampir kain
berwarna senada dengan seragam pramusaji rumah makan. Dalam hati Jeumpa menjadi geli, ternyata
tempat ini juga diminati hewan lain yang se-kasta dengan dirinya. Bagaimana reaksi Socrates kalau
mengetahui hal ini? Lalu ia memandang Walu yang sedang menyendok kari kambing. Keberadaan sang
filsuf tak pernah ia ceritakan pada lelaki itu. Ia tidak mau ada kesalahpahaman. Walu tak perlu tahu ada
seorang lelaki tua menghuni kamar kekasihnya.

Kedua muda-mudi itu memilih meja yang berada di sudut paling dalam. Jeumpa melihat ke
belakang sambil memegang piring yang dipenuhi makanan.

“Kenapa, Sayang? Kamu terlihat gelisah.”

“Entahlah, seperti ada yang mengikutiku.”

Walu menarik kursi meranti yang berat itu untuk sang pacar. Kemudian ia menarik satu kursi lagi
untuk dirinya sendiri. Jeumpa mendengar lagi suara berisik dari bawah meja. Seekor kecoak menatapnya
marah. Dalam hati, ia menyesal tidak menuruti saran Socrates untuk mandi dulu sebelum pergi. Kecoak
saja sampai tertarik mendekatinya. Gadis itu melirik walu yang sedang meletakkan piring di atas meja. Ia
berharap sang kekasih tidak menyadari kalau perempuan di depannya belum mandi pagi. Jeumpa
meletakkan piring di atas meja marmar, hatinya menjadi sangat tidak tenang. Kemudian ia
menghempaskan pantatnya di kursi meranti lalu kembali melihat ke arah kecoak di bawah meja. Matanya
membulat menatap makhluk hitam kecoklatan itu. Tubuh kecoak telah mengembang menjadi sebesar
anak kambing.

“Kamu kenapa, Jeumpa?”

“Lihat itu.” Telunjuk gadis itu mengarah ke bawah meja.

images (2).jpeg

Reaksi yang sama diperlihatkan Walu, kecoak raksasa sedang berusaha naik ke atas kursi kosong
yang berada di samping kekasihnya. Cepat ia berjalan memutari meja hendak mengusir binatang itu. Jeumpa ketakutan; menutup telinganya dan memejamkan mata. Aroma makhluk di sampingnya benar-
benar tidak enak. Dengan tangannya Walu memukul-mukul makhluk sebesar anak kambing itu. Kulit
binatang itu seperti terbuat dari plat besi yang susah ditembusi. Binatang itu tak bergeming. Jeumpa
benar-benar menyesal tidak mandi sebelum pergi tadi.

“Aku ingin otak wanita itu?” Kecoak raksasa membuka mulut jeleknya, salah satu antena di
kepala binatang itu mengarah ke Jeumpa yang membeku di atas kursi. “ Tapi sebelum itu, aku akan
memakanmu terlebih dahulu.” Makhluk itu berpaling, menantang Walu.

Lelaki itu mundur beberapa langkah. Sementara orang-orang tetap menikmati makanan mereka,
seperti tak terjadi apa-apa di tempat itu. Walu semakin tersudut ke dinding di belakang meja makan yang
mereka tempati. Kecoak sebesar anak kambing itu menggoyang-goyangkan badannya, lalu maju
mendekat, menggigit kaki Walu.

Jeumpa telah benar-benar membeku di atas kursi, ingin menolong sang kekasih, tapi otot-ototnya
lumpuh. Kecoak sudah menelan kaki Walu sampai ke lututnya. Lelaki itu mencoba menarik kakinya, tapi
tenaga kecoak itu lebih kuat. Jeumpa tidak bisa membayangkan binatang sebesar anak kambing mampu
menelan manusia.

“Jeumpa! Jeumpa!!” Panggil Walu ketakutan, suara nya hilang ditelan sendok dan piring
bergesek. Mereka benar-benar telah buta dan tuli, makan dengan santainya seperti tak melihat ada kecoak
yang sedang menelan seorang lelaki di hadapan mereka.

Bunyi krek-krek khas kecoak ditambah bunyi tulang-tulang patah membuat Jeumpa menutup
telinga dengan kuat. Air mata mengalir deras di parasnya. Ia melihat kiri-kanan, menjerit minta tolong,
tapi dinding-dinding batu kapur telah terbentuk antara mereka dengan tamu lain rumah makan itu.
Dinding itu seperti tumbuh dari lantai rumah makan. jeritan Jeumpa menjadi gema yang memantul antara
dinding-dinding kapur. Gadis itu bangkit ingin menolong sang kekasih. Kecoak itu menendang Jeumpa
dengan kaki belakang yang runcing sekuat baja. Gadis itu terbentur dinding yang baru saja muncul.
Kecoak itu telah memakan kedua kaki Walu, tak berhenti, terus menggigit badan lelaki itu.

Ketika mencapai leher, Walu menatap Jeumpa dan berujar lemah, “Maaf.”

Kemudian kecoak melahap
mulut dan kepala lelaki yang dicintai Jeumpa itu.

“Aku yang minta maaf. Aku tak mandi tadi. Tidakk! Seharusnya aku yang dimakan. Bukan
kamu,” ratap Jeumpa lemah kemudian mencoba bangkit melihat kecoak itu mulai berjalan ke arahnya.

“Kau pikir karena kau tak mandi?” mata kecoak runcing menatap Jeumpa.

“Apa maumu?”

“Sudah kubilang, aku mau otakmu.”
Jeumpa mundur ke belakang, tertahan dinding kapur. Kecoak itu semakin dekat. Gadis itu
memejamkan mata bersiap dengan kemungkinan terburuk. Sebuah tangan menyeretnya dengan cepat.
Saat ia membuka mata, kain putih menghalangi penglihatannya.

“Kau?” ujar Jeumpa setelah menyibak kain putih yang menghalangi pandangannya.

“Cepatlah! Jangan manja,” ujar lelaki tua yang selama ini menghuni kamar Jeumpa itu. Mereka
sudah tiba di jalan depan rumah makan.

“Bagaimana kau menerobos dinding kapur itu?”

“Tak ada waktu menjelaskannya sekarang. Kita harus jauh dari Kecoak Zaman dulu.”

“Kau tahu makhluk itu?” Jeumpa kesusahan mngimbangi kecepatan lari Socrates, cukup cepat
untuk lelaki sepuh berjanggut putih.

Mereka terus berlari di jalan-jalan kota.
“Aku sudah lahir lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Nak.” Lelaki itu menatap perempuan yang
terlihat berkeringat di sebelahnya. Kemudian Jeumpa kembali tertinggal di belakang Socrates. Lalu ia
berhenti berlari sama sekali.

“Tunggu! Aku lelah.”

Socrates berlari kembali ke tempat Jeumpa tertinggal. “Kamu payah untuk umurmu.”

Jeumpa mengumpat di dalam hati. “Kita kemana?” tanyanya kemudian.

“Ini kotamu, Nak. Kenapa bertanya padaku?”

“Kau yang di depan tadi.” Jeumpa mulai berjalan lagi di trotoar kota.

“Bukan berarti aku mengenal kota ini, kan? Apa yang diinginkan kecoak itu?” tanya Socrates
mengikuti Jeumpa.

“Otakku.”

“Ini gawat. Kupikir kita harus segera menemukan imajinasimu. Kalau sampai otakmu dimakan,
kamu akan kehilangan banyak hal.”

“Aku sudah kehilangan orang yang kucintai.”

“Bagaimana perasaanmu sekarang?”

“Entahlah,” jawab Jeumpa tanpa melihat ke arah Socrates.

Mobil berhenti berjejeran di samping mereka. Lampu lalu lintas di persimpang depan menyala
merah. Jeumpa menyeberang di tempat penyeberanga, Socrates masih mengikutinya.

“Kupikir, aku tahu harus kemana,” ujar Jeumpa saat tiba di seberang. Kali ini ia menatap lelaki
tua di sampingnya. Tanpa ekspresi gadis itu menyetop kenderaan yang menuju ke rumahnya. “Aku bisa
membuat Walu kembali.” Sebuah labi-labi berhenti di depan mereka.

“Kamu tidak ikut pulang?” tanya Jeumpa pada Socrates yang masih berdiri di trotoar.

Lelaki itu tersenyum sambil melambaikan tangan, “Aku rasa kamu sudah tahu apa yang harus
kamu lakukan, Nak!”

“Iya, Pak Tua. Aku akan menulis ulang kisah ini.”

Selesai

Tentang penulis,
Ida Fitri lahir di Bireuen, 25 Agustus. Cerpen cerpennya ada di Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dan lain-lain. Kumcernya Air Mata Shakespeare (2016), Cemong (2017)

Sort:  

nah ini lebih produktif

Sudah ada di leptop ini, Bang. Kalau posting sekalian sepertinya kepanjangan tadi.

Coin Marketplace

STEEM 0.20
TRX 0.13
JST 0.029
BTC 61388.83
ETH 3379.71
USDT 1.00
SBD 2.49