KONTRIBUSI CHRISTIAN SNOUCK HURGRONJE DALAM STUDI ACEH

bab ini membahas tentang seseorang yang paling sering diucap oleh rakyat Aceh, yaitu Christian Snouck Hurgronje ( 8 februari 1857- 26 juni 1936). Bagi orang Aceh, mengenang perang selama beberapa pulih tahun dengan Belanda, selalu dibarengi dengan kisah Snouck. Demikian orang Aceh memanggil penasehat politik hindia belanda tersebut. Bahkan karena begitu membenci Snouck, orang tua sering menasehati anak-anak mereka, supaya tidak seperti si Snouck. Rasa perlawanan orang Aceh terjadap belanda memang bukan hanya karena persoalan membenci penjajah, tetapi juga orang belanda dianggap sebagai kafir, yang halal darahnya. Karena ideologi perang sabil menjadi instrumen untuk mengusir penjajah.
Upaya penelitian Snouck memang telah dirancang sebagai bagian dari upaya ilmuwan yang berfungsi sebagai mata-mata, didalam mendapatkan deskripsi kehidupan suatu komunitas yang hendak atau sedang dijajah oleh sebuah bangsa. Snouck harus diletakkan, yaitu spirit intelektual, studi agama dan budaya, serta arah kebijakan yang dihasilkan oleh sang peneliti tersebut. Disini fokus utama lebih banyak ingin menggali budaya-budaya ketimuran (orient) untuk kepentingan penjajahan. Adapun materi kebudayaan yang digali, terkadang melalui pintu bahasa masyarakat setempat.
Objek kajian yang mendominasi abad ke-19 adalah studi tentang religi. Karel A. Steebrink memberikan narasi mengenai tren studi religi pada abad tersebut tidak lagi melalui filsafat dan teologi, dan menurutnya, hasilnya selalu sama. Karel menyebutkan bahwa agama dianggap sebagai sesuatu yang negatif, sesuatu yang mestinya tidak ada lagi. Kemudian, materi kebudayaan yang dipelajari oleh Snouck, mulai dari Mekkah hingga ke Aceh, ingin melihat bagaimana fungsi religi di dalam kehidupan masyarakat sosial. Snouck mencari faktor penentu dari budaya orient sebagai bahan untuk meresktrukturisasi kebijakan kolonial.
Memahami konteks keilmuan Snouck akan menggiring kita pada trend studi religi di atas, yang pada tahap tertentu akan mendekatkan pada pemahaman religi yang di pahami oleh Emile Durkheim yang kemudian bisa juga dalam studi oleh Radcliffe-Brown dan Malinowski. Mereka yang kemudian diberikan kategori sebagai pergerak madzhab fungsionalisme dalam ilmu antropologi-sosial. Salah satu dampak dati penelitian Snouck adalah untuk menegaskan kajian orientalis sebagai pihak kolonialis yang ingin melanjutkan teori-teori yang ada sebagai pihak kolonialis yang ingin melanjutkan teori-teori yang ada di Eropa.
Studi-studi keislaman yang dilakukan oleh Snouck memang sangat memberikan pengaruh terhadap kontrol pemerintah bagi masyarakat pribumi di Indonesia. Terkait dengan Aceh, Snouck memberikan beberapa masukan yaitu untuk memilih Letnan Kolonel Van Dealen. Snouck mengatakan bahwa tidak ada seorang perwira menengah pun yang ada saat ini memiliki pengetahuan tentang Aceh yang mendekati pengetahuan yang oleh Letnan Kolonel Van Dealen telah diperoleh dalam keadaan yang sangat langka.
Snouck menguraikan bagaimana tradisi hidup dalam masyarakat Aceh, yang belakangan dijadikan sebagai panduan untuk menyebutkan adanya sistem hukum adat. Semua hal yang bersifat ritual, standar, perilaku kebiasaan rakyat Aceh dari keurija udep hingga keurija mate, di arahkan sebagai bagian otonom yang tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pemegang otoritas religi, yakni ulama. Karena ujung dari kajian Snouck ingin mengelimir peran ulama dan hukun islam melalui ditingkatkan peran tokoh-tokoh di dalam masyarakat Aceh, maka karya ini memberikan petunjuk bagaimana memisahkan inti-inti Islam di dalam poros kehidupan rakyat Aceh. Bahwa Snouck selalu menganggap bahwa Islam yamh membawa dampak politik dan rasa perlawanan terhadap Belanda harus dihabisi.