Matinya Praka Petroes Pada Upacara Peringatan Hari Pahlawan

in #indonesia7 years ago (edited)

image

Di satu rumah dalam komplek kantor Koramil sebuah kecamatan, pagi mulai lebih awal dari biasanya. Itu rumah dinas Praka Petroes. Seorang prajurit kepala yang tahun ini terpilih jadi komandan upacara peringatan hari pahlawan, 10 November 2017 di lapangan sepakbola kecamatan. Sebelum azan subuh Praka Petroes sudah bangun. Dibangunkannya pula istrinya, untuk menyiapkan sarapan dan seragam beserta atribut lain yang harus dikenakannya nanti di upacara.

Sebenarnya, untuk tetek bengek persiapan pagi ini sudah diwanti-wantinya sejak sepekan lewat. Untuk dirinya sendiri ia sudah melatih teriak-teriak agar suaranya terdengar lantang pas hari H, sejak dua minggu sebelumnya. Hampir tiap pagi dan sore ia berlari ke pantai yang jauhnya sekira 15 km dari kantornya. Di sana ia berteriak sekuat tenaga sekadar menjaga pita suaranya untuk terus dalam keadaan siaga satu. Ia tidak mau loreng tentara yang jadi seragam seluruh kesatuan militer di negeri ini jadi terkesan pinky sekira di upacara nanti suaranya secempreng banci saat kena razia Satpol PP. Sepasang sepatu lars baru dibelinya pada hari pertama gaji bulan ini turun, dengan konsekuensi uang belanja bulanan yang biasa disetor pada istrinya dipangkas tanpa aba-aba.

"Seragamku sudah siap, Nah?" Tanya Praka Petroes pada Minah, istrinya, yang dikawininya di daerah Poso saat ia di BKO kan di sana.

"Sudah, sayang. Itu dalam lemari. Semuanya ada di situ kok. Sepatunya juga."

Meski ayam jago belum selesai benar dengan ritual kokok paginya, dan bintang kejora pun belum surut di ufuk timur sana, Praka Petroes sudah mulai ngaca di depan cermin. Baju seragam militer yang gahar itu telah nyangkut dengan pas di badannya yang tegap. Meski belum memakai celana--masih dengan kolor putih merk Hings--dengan cekatan ia memasang atribut-atribut seragam, seperti baret, kacu, tanda pangkat, dan pelbagai tetek bengek lainnya.

Pokoknya saat mematut-matut diri seperti itu, semua berlaku sebagaimana adanya, sesuai rencana. Tapi bencana tiba tepat ketika ia memakai celana. Resletingnya rusak. Minah, si istri lupa memperbaikinya. Hari-hari sebelumnya ia terlalu sibuk mendengar celotehan-celotehan suaminya untuk menyiapkan ini itu demi kelancaran upacara peringatan pahlawan. Tapi yang paling membuatnya lupa adalah pemotongan uang belanja bulanan, sementara ia sudah tak mungkin hutang sembako di kedai langganan.

"Naaaah. Minaaahhh." Teriak Praka Petroes. Demikian membahana teriakan itu. Sepertinya gladi upacara sekecamatan kemarin sore berlanjut juga di rumah dinasnya sepagi ini.

Minah berlari dari dapur dengan saring kopi masih dipegangnya di tangan kanan. Daster yang dipakainya awut-awutan. Rambutnya juga. Jika mau ditilik, penampilan keduanya di kamar rumah dinas itu, sangat-sangat bertolak belakang. Praka Petroes, meski celana belum dipakainya dengan benar sudah sangat klimis dan gagah. Sementara Minah, si istri, bahkan belum sempat cuci muka setelah bangun tadi, sebab sudah mendapat perintah ini itu oleh sang suami.

"Ada apa sayang. Kok teriak-teriak gitu sih?"

"Teriak-teriak jidat kau! Sudah kuwanti-wanti dari kemarin-kemarin. Seragamku mesti kau siapkan dengan baik. Nah, ini. Celana malah rusak resletingnya. Kamu gimana sih? Ga becus banget!"

Plak. Satu tamparan mendarat di pipi bening Minah. Tidak semua tentara main tangan. Tapi hampir rata-rata tentara suka turun tangan. Bukankah emosi tentara suka terhubung langsung dengan kekerasan?

Minah, pada pagi yang baik itu merasakan lagi pipinya dingin-dingin nyeri. Ia sudah tak bisa berkata, pula tak hendak mengeluarkan air mata. Praka Petroes masih kalap. Tapi sekali tampar, ia rasa, cukuplah menyadarkan istrinya agar tidak melulu lupa. Dan dengan gegas ia tanggalkan celana cacat itu, sembari dengan terburu-buru ia keluar kamar.

"Sayang, mau ..." pertanyaan Minah terpotong dengan bentakan yang lain.

Sembari masih memaki si istri, Praka Petroes melewati ruang tamu, buka pintu depan, lantas meloncati tembok pembatas rumah dan dengan sigap sudah berada di depan pintu rumah dinas sebelahnya milik Pratu Gepeng. Ia gedor pintu rumah tetangganya itu seperti sedang dalam operasi penggeladahan. Teriakannya membahana. Sementara Minah yang kini sudah berdiri di ambang pintu rumah mereka, tampak ingin sekali mengatakan sesuatu. Tapi suaminya itu adalah jenis suami keras kepala, tak mau dengar apa pun, dan suka pekak telinga ketika tengah kalap begitu rupa. Ia hanya bisa memandang sang suami tanpa bisa berkata sepatah kata.

Pintu yang digedor berulangkali oleh Praka Petroes terbuka juga akhirnya. Nimah, istri Pratu Gepeng yang membukanya, dan tepat ketika daun pintu melebar secercah cahaya masuk ke rumahnya, tertimpa ke bola matanya. Ini cercah cahaya pagi. Bercampur dengan cercah cahaya putih dari kolor Hings milik Praka Petroes yang berbinar tepat di depan matanya. Nimah terkesima, tapi lebih tepatnya durjana. Emosinya naik ke ubun-ubun, dan menganggap Praka Petroes yang menggedor rumahnya dengan berkolor ria begitu rupa adalah pelecehan yang tak pernah bisa diterimanya.

"Heh, kambing bandot. Ngapain kau gedor pintu rumahku dengan pakai kolor gitu, hah? Maksud kau apa? Mau kupotong biji peler kau ya? Bandot tengik! Cuih."

Praka Petroes jadi patung untuk sekian detik. Ia baru sadar, dan mendapati tenggorokannya tercekat. Maksud hati ingin pinjam celana loreng yang bagus resletingnya sama Pratu Gepeng, ia malah ketiban aib sekaligus caci maki dari seorang perempuan. Seumur-umurnya, khusus sejak ia jadi tentara, Praka Petroes terbilang sangat berkuasa ketika menghadapi perempuan. Lebih-lebih dengan Minah istrinya. Tapi pagi ini, ia benar-benar kecele. Dan seperti pencuri ayam yang hampir ketangkap basah, dengan sigap ia melesat kembali ke dalam rumahnya.

Entah bagaimana cara Praka Petroes sudah berdamai dengan Minah. Si istri dengan patuh memperbaiki resleting celana sang suami. Upacara hari peringatan pahlawan akan mulai sejam ke depan. Masih punya waktu bagi Minah menyelesaikan tugasnya. Praka Petroes termangu. Ia menyesal telah menampar istrinya, tapi hal yang paling mengganggunya kini adalah tenggorokannya. Saat tercekat tadi oleh makian Nimah di rumah sebelah, ia seperti merasakan ada yang menyempit di pita suaranya.

"Kok suaramu jadi cempreng begitu, sayang?" tanya Minah mengomentari suara suaminya ketika memulai berbasa-basi lagi.

"Hah? Benarkah?"

"Tuh kan. Cempreng lagi."

Praka Petroes menggigil. Ia tidak mau suaranya yang kini berubah cempreng mencoreng loreng tentara, seragam kebanggaan kesatuannya. Keringat dingin mengucur deras di keningnya.

Sampai ia sudah berada di tengah-tengah peserta upacara yang jumlahnya mencapai seribuan orang, Praka Petroes masih tetap menggigil dan keringat dingin makin menderas saja. Tiba gilirannya memberikan aba-aba dan berteriak hormat gerak atau hormat senjata, mulut Praka Petroes terbuka. Tak bersuara kecuali mengeluarkan busa. Lantas ia terkapar dan menggelepar barang beberapa detik seperti ayam barusan kena sembelih. Lalu terdiam. Upacara ngawur. Peserta upacara yang kebanyakan di antaranya adalah pelajar sekolahan dan pegawai negeri kocar-kacir, berteriak ngeri melihat pemandangan ganjil itu. Anggota palang merah berlari ke tengah lapangan dengan sigap, tapi secepat apa pun mereka berlari tentu akan kalah cepat dengan malaikat ajal dalam beraksi.

Praka Petroes dinyatakan meninggal di tempat, tanpa sebab yang jelas. Keesokan harinya, Praka Petroes dinobatkan sebagai pahlawan paling mutakhir senasional sebab meninggal ketika bertugas sebagai komandan upacara peringatan hari pahlawan. Kena serangan jantung, begitu kata berita.

Minah, istri mendiang yang kini telah jadi janda membaca berita itu sambil memendam isak, sembari tangan kanannya membelai pipinya yang kena plak kemarin pagi. Itu plak terakhir dari suaminya yang mati sebagai pahlawan bangsa. Nimah menemani Minah pada hari-hari penuh haru itu, tapi ketika seorang diri, ia tidak bisa menahan geli. Ia tertawa sendiri.[]

Sort:  

nice picture friend

Thank you veri much, buddy.

welcome my friend

Kiban cap pahlawan nasional, that geupap. Hahaha

Tunu kuh. Hahaha

Aih, pandai benar kau mengarang cerita ini, Dek-ku! Keren abis lah ini!
I love this story to the max! Bagus banget, sih?

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63211.44
ETH 2631.43
USDT 1.00
SBD 2.71