The Post (Universal Pictures, 2017) : Pergulatan Pers Melawan Kebohongan Pemerintah

in #indonesia6 years ago (edited)

Filem, Korporasi Berita, dan Politik

Minggu lalu saya menonton thriller politik sejarah terbaru yang dibintangi Tom Hanks, berjudul The Post (Universal Pictures, 2017), di mana dia berbagi layar utama dengan Meryl Streep. Filem arahan Steven Spielberg ini bersetting pada awal dekade 1970an bercerita tentang dibongkarnya dokumen-dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat terkait isyu perang di Vietnam. Pembocoran dokumen-dokumen rahasia yang membongkar kebohongan-kebohongan pemerintah Amerika Serikat terkait perang di Vietnam yang pertama kali dilakukan oleh The Times (nama populer untuk New York Times), mungkin menjadi kesuksesan pertama pers menegaskan posisinya sebagai penyeimbang kondisi politik. Tetapi hal itu mungkin saja tidak akan pernah berhasil, sebab setelah membocorkan sedikit dokumen, The Times terpaksa menghadapi tekanan pemerintah lewat jalur hukum, dan pers -secara umum- mungkin saja harus mundur beberapa langkah saat berhadapan dengan kekuasaan, kalau saja sebuah koran kecil yang belum dikenal saat itu dan sedang menghadapi masalah keuangan tidak mengambil keputusan nekad untuk mencari sumber-sumber lanjutan dan mempublikasikannya untuk menunjukkan bahwa betapa pemerintah selama ini terus tersenyum sambil membohongi rakyatnya. Koran tersebut adalah The Washington Post atau lebih dikenal sebagai The Post.

Sumber | CCO Creative Common. Gratis, tidak memerlukan atribut.

Di sini, kita tidak akan berbicara tentang filem The Post (mungkin saya akan melakukannya lain kali) atau korporasi-korporasi berita The Times atau The Post. Saya tertarik melihat bagaimana perjuangan sebuah korporasi berita, dalam hal ini The Post, untuk melakukan hal-hal benar yang diyakininya meskipun dengan taruhan yang sangat besar, pembredelan dan pemiskinan. Kita tentu tidak asing dengan berita-berita pembredelan media massa di negara kita terutama jika kita telah memiliki umur cukup untuk memiliki kesadaran politik minimal pada dekade terakhir pemerintahan Orde Baru yang represif itu. Sebut saja kasus pembredelan majalah Tempo (pada tahun 1982 dan 1994). Pembredelan paling besar skalanya terjadi menyusul kasus Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), dimana 12 surat kabar dan majalah dibredel: Indonesia Raya, Pedoman, Harian KAMI, Nusantara, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Suluh Berita, Mahasiswa Indonesia, Indonesia Pos, dan Ekspress. Menurut saya, sineas-sineas Indonesia juga seharusnya menghadirkan filem-filem bertema ini, sebagai sebuah pengingat akan rentannya penggunaan kekuasaan untuk memberangus kebebasan pers dalam menyampaikan info yang benar, tetapi mereka juga memiliki alur waktunya tersendiri, mungkin lain kali.

Sumber | CCO Creative Common. Gratis, tidak memerlukan atribut.

Yang membedakan antara kasus The Post di Amerika Serikat dan beberapa kasus di Indonesia adalah, bahwa akhirnya The Post, melalui sebuah persidangan, memenangkan perkara melawan pemerintah saat itu dan itu berarti kemenangan pers di Amerika Serikat secara umum dan sebuah babak baru bagi dunia kewartawanan di sana, dengan kata-kata dalam amar putusan Hakim termasuk, "hak setiap warga negara untuk mendapatkan berita yang benar". Di Indonesia masa lalu, selain ancaman pembredelan untuk korporasi, individu wartawan juga bisa dihilangkan dengan sukses jika menulis hal-hal yang mengusik hari dan mimpi-mimpi para bangsawan. Ada nama-nama yang bisa disebutkan, misalnya Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, jurnalis Surat Kabar Harian (SKH) Bernas (Yogyakarta) yang meninggal pada 1996 setelah dianiaya orang tak dikenal, kematiannya dianggap karena Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.

Di Antara Seorang Filsuf Dan Seorang Dosen, Ada Saya

Lukisan minyak atas kanfas potret Montesquieu dari artis yang tidak diketahui. Sumber

Montesquieu (18 Januari 1689 – 10 Februari 1755), seorang Hakim Perancis sekaligus filsuf politik telah membangun teori Pemisahan Kekuasaan atau Trias Politica yang membagi kekuasaan menjalankan negara ke dalam tiga cabang yang independen: legislatif, eksekutif, yudikatif. Seorang dosen Ilmu Politik, dalam sebuah perbincangan dengan saya di sebuah warung kopi di bundaran Simpang Surabaya di Banda Aceh beberapa tahun lalu, pernah berkata, entah itu sebuah kutipan atau pendapatnya pribadi lupa saya tanyakan saat itu, kira-kira, "selain tiga pilar kekuasaan yang disebut Tuan Montesquieu, untuk lebih menjamin sebuah kekuasaan berjalan dengan baik di atas prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan keterbukaan, diperlukan dukungan terhadap pilar ke empat, yaitu pers yang bebas sebagai pengontrol". Saya memahami 'bebas' di dalam kata-katanya sebagai 'independen dari pengaruh tiga pilar lain', dan karenanya ia menjadi pilar ke empat.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini menjadi menarik bagi saya pribadi selaku manusia Indonesia dalam memandang pers Indonesia hari ini:

  • Apakah pers kita saat ini sudah ideal dalam menjalankan fungsi-fungsinya?
  • Apakah aturan-aturan tentang pers dan aturan-aturan yang terkait secara langsung atau tidak langsung telah menjamin dunia pers, para pegiatnya, para konsumennya mendapat manfaat positif dari kegiatan pers?
  • Apakah kecenderungan pers kita hari ini? Memerdekakan dirinya dan dengan itu juga memerdekakan pembacanya? Atau sebaliknya, memanfaatkan kekuatannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu?
  • Bagaimana sikap populer masyarakat saat ini terhadap berita pers?
  • Jenis berita apa yang paling digemari masyarakat Indonesia pembaca berita saat ini?
  • Media apa yang paling populer dan paling tidak populer saat ini dalam hal pola baca berita masyarakat Indonesia?

Kita mungkin bisa mendapatkan gambaran untuk sebagian pertanyaan-pertanyaan itu melalui survey-survey. Dan sebagian lainnya mungkin memiliki jawaban yang lebih tidak pasti, dan lebih mengarah untuk membuka pintu kepada perdebatan-perdebatan.

Sumber Dan Saran Bacaan

Terimakasih

Terimakasih telah singgah.

From Indonesia With L💜VE


@aneukpineung78 | Telegram Saya


Sort:  

Saya hanya mau menjawab poin pertanyaan yg ke enam. Dulu di Aceh, berita yg paling di gemari oleh sebagian masyarakat Aceh, khususnya di pedesaan adalah berita dari koran Prohaba. Alasannya murah, judulnya nyentrik, bisa kirim foto. 😂😂😂

Sepertinya jawaban ini cocoknya untuk pertanyaan ke lima, bukan ke enam.
Ya juga, harga yang murah bisa membeli popularitas tertentu. Hehe.

Iya no. 5 haha. Sory

Benar. Kalau mahal, masyarakat masih berpikir untuk membelinya.

Beda dengan di jkt dan sekitarnya. Media populer tetap tempo, dan kompas.

Menurutku bukan hanya perkara harganya, tetapi koran2 yang lebih mahal memang memiliki muatan yang terlalu tinggi untuk mayoritas pengunjung-pengunjung warung kopi di kampung-kampung kita, ttapi saya yakin, trend akan berganti seiring waktu, atau setidaknya begitulah harapan saya. Haha.

Harapan saya juga begitu. Kompas dan terutama tempo harus masuk kampung. Di media online ada the Jakarta post. Harus masuk ini barang 😂

Tetapi mungkin saja adat membaca koran akan berganti adat bermain games online, mudah-mudahan ada makin ramai yang tertarik ke Steemit.

memang tulisan droeneuh luar biasa😀

Haha.
Terimakasih telah singgah.

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 59479.71
ETH 3174.48
USDT 1.00
SBD 2.44