Bertapa Di Kedai Kopi Tengah Kota

in Indonesia3 years ago

KK.jpeg

AKU MENEPI KE SEBUAH KEDAI KOPI. Di sini aku nongkrong seorang diri sambil menyeruput kopi, mengudut rokok dan memamah satu dua juadah yang tersedia. Kukira apa yang kulakukan ini adalah cara terbaik merehatkan lidah, nula, gigi, pita suara dan segala organ tubuh lainnya yang aktif ketika berbicara—kesibukan yang terus-terusan kujalani dalam semingguan ini.

Bicara. Ya, begitulah. Kecuali ketika tidur, mulutku seperti tak pernah berhenti melakukan kegiatan ini dalam semingguan lewat. Pelbagai orang yang kutemui mengharuskan mulutku bergerak-gerak tak menentu. Entah itu dalam ajang mem-bully, ber-ghibah, menanggapi curhat teman, mengomentari hasil pekerjaan atau bahkan dandanan istri, berkenalan dengan orang baru, ketawa, mendongengi anak, juga cuap-cuap saat memaparkan temuan-temuan lapangan dalam ajang diskusi dengan orang-orang sepekerjaan.

Akhir pekan begini. Saat merenungi kembali apa saja yang telah kulakukan sebelumnya dan menemukan aku telah begitu banyak bicara—perlu, tapi kebanyakannya bullshit semua, aku malah jadi terbengong-bengong sendiri. Persis seperti seseorang yang baru kena ghosting si calon pujaan hati. Yang ketika keterbengongan itu memuncak, aku yang seperti korban ghosting berubah jadi semacam kambing congek; dungu, tengik, sumbat nalar, dan sama sekali tak mampu menggunakan pikiran sebagaimana adanya.

KK2.jpeg

Sadar akan kedunguan yang kupunya, aku berinisiatif menepi. Seperti yang kukata tadi, aku mendamparkan diri di sebuah kedai kopi tengah kota. Yang ketika kutakar-takar dari jarak tinggal beberapa sejawat perkopian, mereka tak akan pernah menginjakkan kakinya kesini. Setidaknya untuk hari ini.

Aku mengambil tempat di sudut. Tempat paling asyik mengudut dan menyeruput. Juga sudut paling tepat menyimak-amati segala petingkah yang ada. Entah itu petingkah pelayan saat melayani pelanggan, atau sebaliknya. Atas nama menepi dari lawan bicara, aku benar-benar bergeming di kedai kopi ini. Mulutku terkatup dari segala hal yang bisa menggetarkan pita suara. Yang kufungsikan dalam 'pertapaan' ini hanyalah telinga dan mata, terutama dalam hal mendengar dan mengamati seisi kedai kopi.

Sejak pertama masuk, aku mendapati kedai kopi ini adalah jenis kedai kopi kebanyakan. Interior dalamnya jauh dari kesan bling-bling layaknya cafe-cafe kekinian. Tidak instragamable. Tidak ada daftar menu. Tidak menyediakan closet duduk di toilet. Dan yang sepenuhnya mengepul di seantero langit-langit kedai ini adalah asap rokok dan asap kompor di balik meja saring kopi.

Inilah kedai kopi yang barangkali paling dijauhi hampir semua perempuan. Perihal yang menjadikannya seakan-akan hanya boleh disinggahi kaum laki-laki saja. Dan memang, sejak dua jam lebih aku menyudut di sini, perempuan yang masuk hanyalah empat orang gadis penjual rokok. Yang meski keberadaan mereka di sini begitu singkat. Hanya berkeliling dari satu meja ke meja lainnya untuk kemudian bergegas keluar. Cukup bisa membuat kedai kopi ini terasa sedikit lebih harum dan membuyarkan segala unsur maskulinitas yang ada. Sampai pada temuan ini. Aku sadar. Aku sudah berhasil diam tiga jam lamanya.

Sort:  

@burong7 adalah prototip makhluk yang hemat bitjara. Ia punya waktu banyak bicara pada diri sendiri.

sekarang bertapa nggak mesti di goa-goa, ya? hahhaa...

Bertapa ala 4.0, ihan. 😀😀

Ada pascadom dan ihan rupanya. Hai, bi tausiah dile bacut, kiban cara beu sukses lam dunia pertulisan nyoe? Soe yg harus ta stel? Pue na big paus yg harus tasembah lage periode jameun? 🤣 Bookrak han ibi trik dan tips. Hek kurayu

Kembalikan bang good, laen hana cara.

Goodkarma hana daya lee.

@burong7. Steemit ka meu sekte2. Lon tetap blah sekte #indonesia harga mati

🤣 long hna meupat dong lom

Yaya. Na sidroe teuk, Bang levicrot, aleh mntong aktif 🤣

Ka pake sesajen plus..

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 61852.61
ETH 3084.08
USDT 1.00
SBD 3.83