Menavigasi Badai
Berbicara tentang cara keluar dari belenggu gangguan mental tidak semudah memilih pakaian yang akan dikenakan untuk kencan besok. Seandainya memang semudah itu, mungkin kita hanya perlu tidur siang selama sejam lalu tiba-tiba kepala terasa lebih ringan.
Sebagai seorang yang punya pengalaman menghadapi orang dengan gangguan mental (dan sedikit pengalaman pribadi), saya akan membawa Anda dalam penjelasan kenapa “mereset” masalah mental tidak sesederhana yang dibayangkan. Sama sekali tidak seperti menyalakan komputer yang baru di-restart.
Berbeda dengan komputer yang hanya perlu direstart, otak manusia adalah perpaduan perangkat lunak dan perangkat keras yang luar biasa rumit. Hal yang lucu dari gangguan mental adalah kekacauan tersebut berakar dari keteraturan.
Contoh, ada bagian otak yang disebut prefrontal cortex. Dalam kondisi normal, bagian ini berfungsi seakan ia seorang CEO sebuah perusahaan. Fungsinya adalah mengambil keputusan penting, menentukan prioritas, dan menjaga emosi Anda tetap terkendali.
Ketika gangguan mental menyerang, CEO ini bisa tiba-tiba tersandung. Apa jadinya kalau CEO itu tiba-tiba kehilangan kendali? Mungkin dia akan jadi sibuk mengatur rapat-rapat fiktif yang sebenarnya tidak ada yang menghadiri atau parahnya tergoda untuk membuka meme kucing di aplikasi 9gag saat perusahaan tengah krisis.
Dalam kasus ini, gangguan kecemasan atau depresi bisa diibaratkan seperti staf-staf bawahan yang mogok kerja. Artinya kecemasan maupun depresi adalah output dari ketidaknormalan kinerja prefrontal cortex sebagaimana mestinya.
Namun jangan salah. Gangguan mental tidak semata-mata terjadi karena satu bagian otak ‘mogok’. Biasanya, ini adalah hasil dari interaksi rumit antara berbagai faktor—biologis, psikologis, hingga sosial. Kita ini, kalau meminjam istilah keren dari seminar-seminar psikologi, adalah makhluk bio-psycho-social. Artinya, gangguan mental ibarat gulungan benang kusut yang melibatkan tubuh (bio), pikiran (psycho), dan lingkungan sosial (social).
Bingung? Tenang. Saya di sini bukan untuk membuat Anda kebingungan (meskipun saya juga sering bingung mencari sandal di pagi hari).
Labirin pikiran adalah sebuah metafora yang sering digunakan untuk menggambarkan betapa rumitnya navigasi batin kita. Ini dikarenakan gangguan mental sering terasa seperti tersesat di labirin. Tanpa peta dan tanpa cahaya.
Ketika kecemasan menyerang, pasti rasanya seperti berjalan di koridor yang semakin menyempit. Suara-suara kecil di kepala semakin lama semakin keras bak suara pintu yang berderit di kegelapan. Atau depresi yang terasa seperti duduk di ruangan gelap, menunggu seberkas cahaya yang tak kunjung datang.
Pada dasarnya otak memiliki kemampuan untuk berubah dan beradaptasi dan ini adalah kabar baik. Otak kita tidak sekaku batu yang tak bisa diubah melainkan adalah “materi” lentur yang bisa dibentuk ulang. Namun tentu saja proses pembentukan ini tidak semudah mencetak kue nastar. Butuh waktu, energi, dan (sayangnya) kesabaran yang sering kali terasa hilang ketika kita sedang berjuang melawan gangguan mental.
Tapi tunggu dulu, ada kabar baik lainnya yang mungkin bisa membuat Anda lebih bersemangat. Sains telah menunjukkan bahwa perubahan positif dalam otak bisa dicapai melalui terapi dan intervensi lainnya. Apakah itu terapi bicara, meditasi, atau deep breathing yang selalu dianjurkan oleh instruktur pilates (olahrraga yang kerap diikuti ibu-ibu sosialita muda atau istri direktur di kota metropolis).
Semua itu bertujuan mengurai jalur-jalur buntu di otak menjadi jalan keluar yang lebih terang.
Beban kognitif ini sebagai jumlah informasi dan tekanan yang harus dihadapi otak kita setiap hari bisa terus bertambah seperti hujan badai yang tak pernah berhenti. Akibatnya adalah banjir yang bukan hanya menggenangi pikiran kita, tapi juga membawa lumpur berupa kecemasan, kebingungan, dan rasa tak berdaya. Saat hujan badai di kepala kita tak kunjung berhenti, di sinilah gangguan mental menjadi sesuatu yang melampaui sekadar suasana hati yang buruk.
Gangguan kecemasan dan depresi bisa terasa seperti banjir besar yang tak hanya mengubah aliran sungai, tetapi juga menghancurkan jalan setapak yang dulu kita kenal.
Beberapa orang terjebak dalam pola pikir yang salah dalam menghadapi badai besar tersebut. Seolah-olah mereka mampu menghentikan hujan bermodal payung kecil atau berlindung di bawah pohon (spoiler: itu tidak akan membantu saat tsunami datang, ya). Mencoba menahan badai sendirian dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Betapa kelirunya.
Keluar dari belenggu gangguan mental bukanlah tentang menemukan cara tercepat untuk sampai ke tujuan. Namun lebih kepada bagaimana kita belajar berlayar di tengah badai itu. Setiap orang punya mekanisme koping (copying mechanism) yang pada dasarnya ini adalah cara-cara kecil yang kita gunakan untuk bertahan hidup di tengah badai.
Tentu saj mekanisme ini berbeda bagi setiap orang. Bagi sebagian orang mungkin berarti berbicara dengan terapis berlisensi, yang tidak hanya menghentikan hujan (dengan bantuan obat, jika perlu), tetapi juga membantu kita membangun perahu yang lebih kuat. Bagi yang lain, ini bisa berarti melatih diri untuk menerima bahwa badai mungkin tidak akan segera reda, tetapi kita bisa belajar hidup lebih baik di tengah goncangan ombak.
Muuuuuuah!! Tetaplah tersenyum, sekalipun dalam badai.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.