Penggagas sekolah perempuan pertama itu bernama Dewi Sartika

in #history5 years ago

a5hebk.jpg
(Ilustrati foto: Tirto.id)

“Sebelum menjadi guru, saya memang senang mengajar anak-anak perempuan dari kalangan keluarga sendiri yaitu mengajarkan merenda, menyulam, merancang pakaian dan tatakrama.” ucap Dewi Sartika,>> Sebagaimana tercatat juga dalam buku, Raden Dewi Sartika Sang Perintis, karya Yan Daryono.

Pernyataan tersebut merupakan salah satu penggalan pidato Dewi Sartika dalam acara peringatan ulang tahun Sakola Istri ke-7, sekolah yang ia dirikan pada 16 Januari 1904. Melalui dedikasinya dalam pendidikan, Sakola Istri—yang selanjutnya disebut Kautamaan Istri—sebagai bukti nyata atas kepedulian Dewi Sartika terhadap gerakan emansipasi perempuan di Bandung pada awal abad ke-20.

Di samping itu, ia adalah perempuan yang kontroversial pada masanya. Bahkan, WS Rendra menilai jika Dewi Sartika sangat mencerminkan aktivis yang berintegritas. Sementara perjuangannya lebih gigih dibanding pelopor gerakan emansipasi perempuan lain seperti Raden Ajeng Kartini.

Dewi Sartika cenderung lebih berani, tegas, dan berwibawa daripada Kartini yang lebih unggul dalam menulis keberhasilan Uwi (panggilannya sewaktu kecil) dalam mewujudkan pendidikan untuk perempuan berada pada tekadnya.

Selain itu, perempuan kelahiran 4 Desember 1884 itu pun sangat peka pada kenyataan sosial. Sehingga ia bisa menyimpulkan apa yang dibutuhkan untuk kemajuan bangsanya.

Tekad Uwi telah diuji berkali-kali. Contohnya saat pertama-tama ingin membangun Sakola Istri. Mimpinya itu banyak menuai larangan dari sanak saudaranya.

Mereka menganggap bahwa gagasan Dewi Sartika untuk menyediakan sekolah kaum perempuan, dinilai melanggar tradisi keningratan. Lagipula, hal itu tidak pernah dilakukan oleh orang tua terdahulu.

Andai Uwi memusingkan komentar itu kemudan menyerah, mungkin ia tidak akan bertemu dengan Inspektur Pengajaran Hindia-Belanda wilayah Bandung, Den Hammer. Pegawai kolonial itulah yang memberikan dukungan awal di antara bantuan yang datang di kemudian hari. C. A Den Hammer juga yang menarik minat Asisten Residen kala itu terhadap gagasan Dewi Sartika.

Namun usaha Uwi tidak cukup sampai sana. Ia disarankan Hammer agar meminta ijin ke Bupati kala itu, R. A. Martanagara, seorang yang dianggap musuh oleh ayahnya.

Terlepas dari masalah keluarganya, ia memilih untuk tetap berbicara serius pada R.A. Martanegara soal sekolah yang akan ia bangun. Usulannya ditolak, karena akan melanggar adat.

Sementara itu, Uwi terus datang ke Bupati Bandung itu untuk meyakinkan niatnya. Akhirnya ia mengijinkan dan memberinya tempat di dalam Pendopo agar pendidikan itu berlangsung aman.

“Nya atuh Uwi, ari Uwi panteng jeung kekeuh hayang mah, mugi-mugi bae dimakbul ku Allah nu ngawasa sakuliah alam. Urang nyoba-nyoba nyien sakola sakumaha kahayang Uwi. Pikeun nyegah bisi aya ka teu ngeunah di akhir, sakolah teh hade lamun di pendopo wae heula. Lamun katanyaan henteu aya naon-naon, pek bae pindah ka tempat sejen (Ya Uwi, apabila Uwi sudah bulat keinginan, mudah-mudahan dimakbul oleh Allah yang menguasai seluruh alam, kita coba mendirikan sekolah sebagaimana yang dikehendaki oleh Uwi. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kemudian, lebih baik sekolah diselenggarakan di pendopo dahulu. Apabila tidak terjadi apa-apa, boleh pindah ke tempat lain)” ujar sang Bupati sebagaimana ditulis R. Wiriatmadja.

Dewi Sartika tidak pernah mengenyam pendidikan formal dengan tuntas. Bahkan sekolah setingkat SD (Sekolah Dasar) pun tidak tamat. Uwi harus putus sekolah di Sekolah Kelas Satu (Erste Klasse School). Lantaran ayahnya, Raden Rangga Somanagara, didakwa bersalah karena telah terlibat dalam pemberontakan Bandung 1893.

Kejadian itu terjadi saat pelantikan R. A. Martanagara sebagai pengganti Wiranatakusumah IV. Kekisruhan akibat pejabat kolonial memilih Bupati Bandung yang bukan darah Bandung.

Kemudian ayah Uwi mesti menjalani hukuman buangan ke Ternate. Atas hukuman itu keluarganya berantakan, karena sang ibunda—Raden Ayu Rajapermas—tak mampu berbuat banyak. Hingga ia lebih memilih ikut suami dibanding menetap di Bandung bersama anak-anaknya.

Dalam umurnya yang baru 11 tahun kala itu, Dewi Sartika mesti jauh dari orang tua. Ia dititipkan ke saudara ibundanya, Raden Demang Suria Kartahadiningrat yang menjabat sebagai Patih Cicalengka kala itu.

Di sana ia bergabung dengan banyak gadis menak, karena rumah Patih Aria Cicalengka itu dianggap tempat yang dihormati. Sehingga banyak kepala daerah yang menitipkan anaknya di sana, agar anak-anak gadis mereka dididik menjadi perempuan yang hidup berdasarkan tata krama ningrat (Wiriatmaadja, 1985: 46).

Sebagai anak dari ayah yang disebut pemberontak, Uwi dikucilkan di rumah saudaranya tersebut. Ia diperlakukan layaknya pembantu. Jangankan diperhatikan soal pendidikannya, soal makan saja sering diabaikan.

Pernah suatu kali ia kelelahan seraya perut keroncongan, kemudian meminta makan pada Bi Emeh, salah seorang abdi dalem di sana. Bukan makanan yang ia dapat, justru gertakan dan pukulan.

Uwi menjalani kehidupan demikian selama 8 tahun. Menurut Yan Daryono, di sanalah ia mengalami tempaan kehidupan sebelum beranjak dewasa. Ditinggalkan orang tua, kurang kasih sayang, tidak mendapat pendidikan yang layak, hingga untuk menangis pun tak bisa.

Di tengah kehidupan yang tragis tersebut, Uwi justru melihat banyak pelajaran. Ia mengamati berbagai masalah yang dialami para perempuan keturunan ningrat. Misal soal maraknya buta huruf di kalangan gadis bangsawan. Padahal ia menganggap kemampuan baca-tulis adalah krusial.

Uwi heran, darah bangsawan sebetulnya bisa mengakses pendidikan Barat seperti yang Uwi dapatkan. Dari berbagai masalah yang ia lihat, akhirnya ia paham bahwa tradisi kolot keningratan telah membuat masa depan perempuan suram: mereka tidak dibolehkan sekolah.

Tak hanya masalah perempuan di kalangan ningrat, ia juga tidak menutup mata pada keadaan perempuan yang tergolong tidak mampu. Pada kaum kebanyakan ini, ia tidak melihat sama sekali akses pendidikan untuk mereka.

Uwi hanya melihat masa depan gadis keluarga miskin berakhir pada kemiskinan itu sendiri. Orang tua mereka akan mewariskan kemiskinannya pada anak-anaknya. Atas kenyataan tersebut, Uwi menawarkan pendidikan untuk mengubah nasib perempuan. Baik dari kalangan menak maupun bukan.

Pendidikan yang ditawarkan itu pada intinya untuk membuat perempuan mandiri. Akan tetapi tidak murni diarahkan pada dunia karier semata. Uwi tidak melupakan pelajaran keseharian sebagaimana yang diajarkan oleh keluarga bangsawan.

xm39fj.jpg
Dewi Sartika dan suaminya. (Foto: liputan6.com)

Dalam artian, sekolah yang dibangun Uwi tidak menjauhkan perempuan dari “dapur, sumur, kasur”. Tetapi bukan juga ingin membentuk perempuan agar menjadi ibu rumah tangga saja.

Di samping pelajaran memasak, mencuci, mengurus rumah, dan pekerjaan rumah lainnya, Dewi Sartika juga mengajarkan para gadis itu bahasa Belanda, Inggris, Ilmu Bumi, sejarah, dan ilmu modern lainnya. Singkat kata, Dewi Sartika ingin perempuan jadi manusia yang serba bisa.

Misi pendidikan tersebut berdasarkan apa yang ia renungkan. Soal ketergantungan perempuan pada suaminya ia lihat dari ibunya, yang kala itu tidak punya keterampilan untuk hidup mandiri saat ditinggal suami.

Ketergantungan pada suami dilihatnya sangat berbahaya. Dampaknya bisa sampai pada prostitusi. Dalam keadaan yang mendesak, perempuan yang tak punya keterampilan tertentu tak punya pilihan lagi selain menjual kehormatannya.

Perhatian Uwi pada perempuan perlu dipahami juga bagaimana ia memandang perempuan. Ia menilai semua perempuan adalah calon ibu bagi anak-anaknya. Maka untuk melahirkan anak yang cemerlang, ibunya harus mendapat pendidikan yang layak lebih dulu.

Uwi percaya, perluasan pengetahuan dapat menentukan moral kaum perempuan bumi putera, dan pengetahuan tersebut hanya ada di sekolah (Daryono, 2008: 50)

Pemikiran dan tindakan Dewi Sartika banyak mendapat pujian, meski pada awal lebih banyak cacian. Ia mendapat penghargaan Bintang Perak pada 1922 dari Pemerintah Hindia Belanda. 17 tahun kemudian ia memperoleh penghargaan yang lebih bergengsi, yakni Bintang Emas.

Namun perjuangannya mulai redup pasca wafat suaminya, Raden Agah Kanduruan. Di samping itu, Hindia Belanda juga sedang diekspansi Jepang. Hingga terjadi banyak kerusuhan sebelum masa kemerdekaan.

Dewi Sartika tutup usia pada 11 September 1947 di Ciamis. Sekolah yang dibangunnya raib karena berbagai kerusuhan.

Sementara gagasannya dilestarikan oleh kaum ibu di Bandung dengan pendirian Yayasan Dewi Sartika pada tahun 1951. Sampai kapanpun, jasa Dewi Sartika tak akan pernah mati.

*Tulisan ini pertama kali terbit di situmang.com

Sort:  

Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq

Coin Marketplace

STEEM 0.21
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 66751.68
ETH 3487.34
USDT 1.00
SBD 3.03