Berani (Elegi Sepotong Roti)
Cukup dengan satu tarikan nafas aku telah tiba diseberang. Arus kuat sungai kedengkian tak membuatku hanyut dan mati dalam kebodohan. Dari tanah seberang, pohon-pohon kebencian terus berayun meratap. "Coba kau pikirkan lagi, tanah ini cukup untuk menampung segala nafsu dan kegilaanmu. Tanah ini akan kita jadikan ladang subur bagi benih-benih kedengkianmu!" Seperti rayuan pelacur cantik yang bertahtakan kenikmatan, suara itu terlintas di otakku.
Luka bekas perkelahian semalam masih mengeluarkan darah. Punggung dan pinggangku mulai terasa ngilu. "Ini akibat yang sempurna untuk sebuah keberanian, " bisik batinku. Orang-orang berkoar tentang harga diri, bagiku ini hanya sekadar pengabdian. Untuk apa harga diri jika untuk satu kekalahan tak sanggup kunikmati. Dimana harga diri, saat satu kesalahan harus ditutupi dengan api amarah yang menghancurkan. Ada juga yang berkoar tentang marwah sambil membetulkan resleting celana disisi selingkuhan yang tak terpuaskan nafsunya. Bagiku diri sebatas pinjaman yang tak patut dilabeli harga. Jikapun harus diukur, seberapa berguna itu lebih tepatnya.
Nun dikejauhan, aku melihat arakan panji-panji. Harum wewangian sesekali terasa. Udara dingin menyergap. Barisan arakan tertib berbaris tanpa suara. Hening. Perlahan aku membuka baju yang kukenakan. Aku tak ingin menyela keheningan ini. Dingin terasa mengganggu. Dalam bingungku, tanpa sadar aku menelungkup pada tanah. Naluri mengajarkan untuk tidak gegabah menyikapi sesuatu yang tak begitu kupahami. Aku terus mengawasi arakan sepi itu. Seiring pudarnnya kabut, pandanganku semakin jelas. Panji-panji yang diusung hanya kain putih polos yang dipotong serampangan. "Siapakah mereka?" Batinku bicara.
"Duhai jiwa yang resah. Duhai hati yang gelisah. Duhai tubuh yang tak kuasa tersiksa. Bangkitlah!" Nyanyian terdengar keras, memecah keheningan. Aku tertunduk pada tanah. Bau tanah basah kini begitu terasa. Aku tak berani menerka. Telungkup. Hanya ini cara yang kuanggap tepat, sebelum aku memastikan itu nyanyian untuk siapa.
"Mengapa ragu pada yang kita punya. Mengapa pula harus percaya pada apa yang dikatakan mereka. Tak cukupkah ilmu dan akal kita?" Nyanyian itu kembali terdengar, malah kini terdengar seperti teriakan.
"Kita?" Batinku. Aku belum membuat keputusan. Telungkup, ini kuanggap masih yang paling aman.
Tapunya. Seorang karibku yang nasibnya tragis, mendadak terlintas dilini ingatanku. Dia tewas dengan luka yang menganga nyaris disekujur tubuhnya. Berpuluh-puluh senjata yang masih bersimbah darah, tergeletak disekitar jasadnya saat aku menemukannya. Tapunya percaya bahwa keberanian adalah harta paling berharga yang dimilikinya. Saat beranjak remaja aku pernah menayakan padanya mengapa namanya Tapunya. Jawabnya, "Ayahku ingin aku selalu mengingat sesuatu."
"Apa itu?" Sergahku
"Bahwa kami, aku memang tak punya apa-apa."
"Maksudmu?"
"Ayah ingin aku selalu menjadi manusia. Bukankah manusia sebenarnya tak memiliki apa-apa. Dan kemiskinan yang membelenggu keluargaku, semakin menegaskan itu." Sejenak Tapunya terdiam. Aku tak pula hendak menyela.
"Aku masih ingat bagaimana semua kesulitan yang kami hadapi. Aku masih ingat bagaimana perlakuan orang-orang yang menganggap kami ini seperti komoditi. Terkadang ketika melihat anjing kurap yang lahap memakan bangkai aku merasa iri." Batinku mencegah aku untuk mengganggunya. Kubiarkan dia menikmati penderitaannya.
"Sebagai anak tunggal aku dipersiapkan untuk mewarisi kemiskinan yang kami miliki. Ayahku bukan seorang yang mudah putus asa. Dia lelaki yang cerdas. Hanya saja keadaan membuat kecerdasannya saja tak cukup. Sehingga dia harus memilih untuk membunuh dan akhirnya terbunuh. Dia cerdas, memilih menyelamatkanku yang masih lugu. Daripada menanggung derita melihatku mati diinjak-injak hanya karena rasa lapar yang tak sanggup kutahan. Aku yang salah. Seharusnya aku tak mencuri sepotong roti itu. Aku pikir, umurku yang belum genap tujuh tahun, bisa menawarkan kemarahan tuan tanah pemilik roti kering itu. Tapi kematian Ayahku itu kuanggap sepadan dengan perjuangannya melindungi tubuhku dari pijakan dan hantaman orang-orang yang mengeroyokku. Dalam dekapannya yang semakin melemah, dia berbisik ditelingaku. Kau mau tahu apa yang dibisikkannya?" Aku diam. Rasa ingin tahuku terbenam dengan rasa sesak yang memenuhi rongga dadaku. Dia melanjutkan ceritanya.
"Bagiku, kau lebih berharga dari sepotong roti yang kau curi itu." Aku meliriknya, kembali senyum bahagia tersungging dibibirnya.
"Perlahan pelukannya terlepas, tubuhnya rebah menimpaku. Wajahku dipenuhi darah yang mengucur dari hidung dan mulutnya. Sekelebat aku melihat centeng yang bertubuh besar mengayunkan kayu kearahku. Setelahnya aku terbangun diranjang reot nek Karti."
Aku beranjak kearah dangau. Kuambil dua gelas air dan kembali duduk disebelahnya. Gelas itu diambilnya.
"Untuk keberanian." Tapunya berteriak sembari mengangkat gelasnya ke arah langit. Aku diam. Dia menyikutku, melihatku dan tersenyum.
"Untuk keberanian." Teriakku.
Ingatan itu membuatku berani menengadahkan kepala. Perlahan aku berdiri, menatap kearah arakan. Tak ada arakan yang tadi. Orang-orang dan panji-panji hilang, seakan ditelan bumi. Deru sungai kembali jelas terdengar. Aku menoleh kebelakang. Di seberang sungai pohon godaan masih melambai ditingkahi angin semilir. Nyanyian terdengar dari seberang sungai. "Kembalilah pulang. Tanah ini cukup untuk menumbuhkan kebencian."
"Aku telah membunuhmu. Jasad Tapunya akan mensucikan tanah keburukanmu." Benakku berkata dan tak terganggu nyanyian bujuk rayu itu.
"Untuk keberanian." Sayup-sayup aku mendengar teriakan itu menghampiri telingaku.
gak pernah nulis lagi kok bang? sibuk yaa
Iya ci,, sibuk dikit.
tulis lagi lah.. tentang si cinta, kasih dan andrew
Congratulations @gadinghs! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
You got a First Reply
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Do not miss the last announcement from @steemitboard!
Congratulations @gadinghs! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!