Menunggu Ayah

in #fiction6 years ago (edited)

Konflik Aceh telah membuat banyak anak kehilangan ayah. Cerpen ini mengangkat drama seorang anak yang terus menunggu ayahnya. Cerpen ini saya sertakan dalam buku cerpen "Lelaki yang Ditelan Gerimis" (2017).

ilustrasi ayah - anah pixabay dot com - silhouette-1082129_960_720.jpg

Foto: Pixabay.com

RAHMAN terbangun tiba-tiba dari mimpi yang sangat menyentak. Dalam mimpi itu ia melihat ayah datang, minta dijemput di Dermaga. "Datanglah ke Dermaga, ayah menunggumu di sana."

CERPEN MUSTAFA ISMAIL

Dermaga? Bulu kuduk Rahman merinding. Ia pernah mendengar cerita-cerita seram di tempat itu. Ada suara orang menangis dan menjerit-jerit minta tolong. Ada suara tangis anak kecil yang memanggil emaknya. Ada suara orang tua berzikir. Kalau malam, tidak ada orang yang berani ke bekas pelabuhan tempat kapal-kapal kecil milik kompeni itu merapat.

Bahkan siang pun, jarang yang pergi ke sana. Apalagi tempatnya memang jauh, terasing dari keramaian. Letaknya sekitar lima ratus meter dari tempat para nelayan merapat. Kalau dari rumah Rahman, jaraknya sekitar satu kilo meter. Ia harus ke kuala dulu, lalu menuju ke arah timur.

Tetapi ayah minta dijemput di tempat itu. Ngapain ayah ke sana? Apakah perahu motor ayah mau merapat di situ. Itu sangat di luar kebiasaan.
Ayah memang sudah lama pergi. Tetapi ia tidak tahu ke mana ayah pergi. Ayah maupun ibu tidak mau mengatakannya. Suatu kali, sore-sore, sepulang mengaji ia melihat sejumlah tetangga di rumah. Kata ibu, mereka habis mengantar ayah pergi.

"Pergi ke mana?"

"Ayah merantau, mencari uang yang banyak untuk kita, supaya kamu bisa sekolah tinggi, bisa jadi menteri, bahkan bisa menjadi presiden," Ibu menjelaskan. Tetapi Rahman masih penasaran.

"Kenapa ayah tidak pamit kepadaku."

"Ayahmu tidak sempat pamit. Ia buru-buru dijemput oleh temannya. Nanti, setelah mendapat uang banyak ayahmu akan pulang. Kamu tidak usah cemas."
Rahman menarik nafas mendengar penjelasan ibu. Ia tidak habis mengerti kenapa ayah tidak mengatakan kepergiannya. Padahal ia adalah anak satu-satunya. Rahman memang masih kecil, masih berumur lima tahun waktu itu. Tetapi sebagai anak, ia merasa punya hak untuk tahu ke mana pun orangtuanya pergi. Ia tidak ingin dianggap sebagai anak kecil.

Ia merasa sangat kehilangan. Selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, ia tidak dapat menyembunyikan rasa kehilangan itu. Kadang tengah malam ia terbangun, seperti mendengar suara ayah memanggilnya. Ia juga kerap bermimpi tentang ayahnya, tetapi ia tidak bisa bertemu secara langsung. Dalam mimpi-mimpi itu ia hanya bisa melihat ayahnya dari jauh.

Rahman sendiri tidak mengerti kenapa bisa terjadi begitu. Beberapa kali Rahman sempat mempertanyakan itu kepada Ibu. Namun jawaban itu selalu sama dan tidak memuaskannya. "Mimpi itu kan bunga tidur," kata ibu.
"Rahman tidak mengerti maksud ibu."

"Kalau sudah besar nanti, kamu akan tahu sendiri."
Selalu begitu jawaban ibu. Tidak pernah sekali pun ia memberi jawaban yang memuaskan. Rasa penasaran itu terpaksa dipendam Rahman selama bertahun-tahun.

Sekarang sudah empat tahun ayah pergi. Kali ini ayah datang lagi dalam mimpinya. Meski minta dijemput, ia tetap merasa jauh dengan ayah.
Ia menarik nafas. Rasanya tidak mungkin untuk ke Dermaga saat ini juga. Sekarang ada kesepakatan tidak tertulis di kampung agar tidak seorang pun berkeliaran di luar rumah pada malam hari.

Kampungnya memang sedang gonjang-ganjing. Sebentar-sebentar terdengar ada orang yang mati tertembak, terbunuh, dan tidak pernah tahu siapa yang membunuhnya. Kejahatan merajalela, pemerasan dan perampokan bersenjata hampir tiap hari terjadi.

Rahman tidak dapat menyembunyikan rasa kuatir terhadap apa yang terjadi di kampungnya. Ia juga jadi merinding mengingat cerita-cerita serem di Dermaga itu. Namun, rasa kangen terus mendesaknya untuk berangkat menjemput ayah.

Ia sempat berpikir untuk membangunkan dan memberitahukan ibu. Tetapi bagaimana kalau ibu mencegahnya untuk berangkat -- padahal Ayah minta dijemput segera? Serba salah memang. Ia sandarkan tubuhnya ke dinding. Kakinya dibujurkan. Matanya menerawang. Pelan-pelan rasa kantuk menyerang. Mulutnya beberapa kali menguap. Pelan-pelan matanya pun terpejam. Ia tertidur kembali.

Rahman tersadar ketika ibunya memanggilnya untuk shalat subuh. Ia menghela nafas. Rahman merasa bersalah kenapa semalam sampai tertidur sehingga tidak sempat menjemput ayah. Atau jangan-jangan ayah sudah berada di rumah. Ia bangkit dan berlari keluar menemui ibunya.
"Ayah sudah pulang ya bu. Mana ayah?"

Ibu yang sedang menjerang air di dapur mengernyit kening mendapatkan pertanyaan seperti itu. "Ayah? Siapa bilang ayahmu sudah pulang."

"Tadi malam Rahman bermimpi, ayah minta dijemput di Dermaga."

"Apa?" Ibu tampak kaget mendengarnya.

"Iya ayah minta dijemput di Dermaga?"

"Rahman, berapa kali sudah ibu bilang. Mimpi itu bunga tidur. Kalau ayahmu mau pulang, ia pasti kirim surat dulu. Sudah, kamu cepat wudhuk dan shalat subuh. Hampir telat ini."

Usai shalat subuh, Rahman segera pergi ke Dermaga. Siapa tahu ayah masih menunggu di sana. Tetapi, ia tidak melihat siapa-siapa. Sepi. Rahman pulang dengan kecewa, sekaligus rasa bersalah. Ia masih percaya bahwa tadi malam ayahnya memang menunggu dan pergi lagi karena Rahman tidak datang menjemput.

Berhari-hari rasa kecewa dan penyesalan itu dipendam. Rahman jadi tidak bersemangat untuk melakukan apa pun. Namun ia tidak menampakkan hal itu kepada ibunya. Ia takut ibu jadi mengkhawatirkannya, sekaligus akan menambah beban ibu. Padahal ibu sudah cukup lelah, harus bangun pagi-pagi menjaga warung seharian. Rahman sendiri kalau pagi sekolah dan sore pergi mengaji ke meunasah. Ia sangat jarang bisa membantu menjaga warung, kecuali hari Minggu.

Sekitar sebulan kemudian, ia kembali bermimpi ayah. Ia melihat ayah kedinginan karena disiram hujan. Ayah mencoba berteduh di bawah pohon bakau pinggir Dermaga, namun hujan begitu deras dan membuatnya basah kuyup. Rahman ingin sekali membantu ayah, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Ia seperti berada jauh dari sana, tetapi tidak tahu berada di mana.
Tiba-tiba ia menjerit. "Ibu tolong ayah. Tolong ayah. Ayah kehujanan."

Rahman tersentak. Nafasnya terengah-rengah. Ibu yang tiba-tiba sudah berada di situ segera merangkulnya. Rahman merapatkan tubuhnya pada rangkulan ibu. Ia lalu bercerita dengan detil apa yang tampak dalam mimpinya. Ibu menghela nafas dan menghembuskannya perlahan, seperti ada beban berat yang ingin dilepaskan.

"Itu hanya bunga tidur, Rahman. Ayahmu sedang tidur enak di hotel. Ia sedang mencari uang buat kita," ibu berucap.

"Kenapa ayah tidak pulang-pulang? Apakah ayah tidak sayang lagi sama Rahman."

"Ayahmu sayang sama Rahman, sayang sama Ibu. Tetapi ayah belum punya waktu untuk pulang. Di rantau, pagi ayah kerja, malam istirahat. Bahkan hari minggu pun ayahmu bekerja. Kapan sempat pulang."

"Kenapa ayah tidak kerja di kampung saja, menjadi nelayan seperti dulu."

"Rahman kan tahu sendiri. Nelayan di kampung tidak bebas lagi kalau mau pergi ke laut. Mereka takut dengan suasana yang gonjang-ganjing ini. Karena itu ayahmu lebih baik mencari pekerjaan lain di kota, yang jauh dari kampung. Supaya ia bisa tenang mencari uang."

"Rahman pingin ketemu sama ayah, Bu."

"Sabar saja. Nanti juga ketemu. Sekarang lebih baik kamu tidur lagi, tidak usah mikir macam-macam. Supaya besok bisa bangun cepat dan sekolah," kata ibu.

Rahman menatap ibu sejenak, lalu merebahkan diri. Ia memejamkan mata. Tetapi rasa kantuk sangat jauh. Pemandangan yang dilihat dalam mimpi tadi terus mengisi pikirannya. Ia tidak tahu pukul berapa ia baru bisa tertidur. Yang jelas, ketika bangun pagi-pagi, ia merasa sangat lelah. Sampai-sampai, ia ingin membolos sekolah. Tetapi ibu melarangnya.

Namun setelah itu, Rahman menjadi sangat jarang bermimpi tentang ayah. Kalau rasa kangen terhadap ayah muncul, biasanya mimpinya selalu dalam suasana yang membuatnya bahagia, bukan mimpi-mimpi yang membuatnya sedih, memilukan atau mengkhawatirkan.

Suatu hari, sepuluh tahun kemudian, ibu bercerita. Rupanya ibu juga bermimpi yang sama dengan Rahman.

"Ayahmu minta tolong karena basah kuyup kehujanan. Besok paginya, setelah kamu berangkat ke sekolah, ibu ke Dermaga. Ibu menemukan rangka manusia yang terkikis oleh air laut dan ombak. Ibu yakin itu adalah rangka almarhum ayahmu. Kemudian Ibu mengajak Teungku Imum dan Keuchik untuk membantu pemindahan dan penguburan ayahmu secara layak di kuburan umum. Seterusnya, tidur ibu juga jadi tenang."

Rahman menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Matanya menerawang jauh. Ia tidak mengerti kenapa orang-orang itu tega membunuh ayah. Apa salah ayah? Kalau pun ayah punya kesalahan, kenapa dia tidak diberi hukuman yang sebanding oleh sebuah pengadilan? Kenapa senjata yang menjadi panglima? ***

Depok, 05012002

COVER LYDG 13 Mei 2017 PRINT DAMI.jpg

Kata dalam bahasa Aceh
Meunasah --- ----- surau
Teungku Imum---- imam
Keuchik ---------- kepala desa

Sort:  

Saya jadi teringat ayah di Aceh sana.

ya. semoga ayah selalu sehat.

Aamiin. Terima Kasih doanya Bang

Teringat ketika merantau. Ingin pulang. Mak dan ayah melarang pulang. Negeri kita sedang serba salah.

nah, kala itu kondisinya juga sama. Saya berkali-kali gagal atau dilarang pulang ke kampung gara-gara kondisi yang tidak memungkinkan.

Tragedi sejarah bangsa yang tak boleh dilupakan dan tugas dan kewajiban budayawan seperti bang @musismail untuk terus mengingatkan kita semua agar tak terulang lagi, meski, l’histoire se répète.

kita, para penulis, adalah para pencatat pernak-pernik dari sejarah. Setidaknya itu akan menjadi cermin bagi masa depan. Cermin bagi diri kita sendiri, cermin bagi pembaca tulisan kita.

Realitas kampong yang menyerikan jiwa
Ah!

sungguh bikin nyeri bang. bekas-bekasnya masih bisa kita lihat kini, di kampung-kampung.

Seperti menunggu Godot

Menunggu yang tak pasti @teukukemalfasya. Kita semua paham: itulah yang banyak terjadi ketika konflik di Aceh. Banyak "ayah" yang "disekolahkan" dan tak pernah kembali. Alfatihah untuk mereka semua.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 58450.19
ETH 2652.63
USDT 1.00
SBD 2.43